Home » Archives for 2012
INTUISI DALAM MATEMATIKA
SEKOLAH
Refleksi dari
Perkuliahan Filsafat Ilmu Prof. Dr. Marsigit dan pembelajaran dari Elegi Pemberontakan
Pendidikan Matematika pada http://powermathematics.blogspot.com/
Matematika, menurut Imanuel Kant,
akan menjadi ilmu jika dia dibangun atas dasar intuisi ruang dan waktu. Jadi,
menurutnya, matematika sebagai pure logic
belumlah menjadi ilmu karena baru dipandang sebagai a priori saja, masih bersifat
analitik, dan belum sintetik.
Pure logic/knowledge itu hukumnya subjek sama dengan predikat. Dan ini
hanya ada dalam pikiran manusia, karena sebenarnya tidak ada yang sama di dunia
ini (relatif terhadap ruang dan waktu). Pure
logic merupakan pengandaian dalam pikiran manusia.
Sedangkan dalam sintetik,
predikat tidak sepenuhnya termuat dalam subjek. Dengan kata lain ini adalah empirical knowledge, lebih kepada
pengalaman. Kebenaran dalam empirical
knowledge lebih bersifat korespondensi dan selalu kontradiktif secara
filsafat karena dibangun atas dasar kerangka ruang dan waktu.
Maka menurut Kant, matematika
akan menjadi ilmu dan bermanfaat jika jika dia bersifat sintetik a priori. Matematika sebagai pure logic yang bersifat analitik, dikorespondensikan ke dunia
nyata dalam ruang dan waktu berdasarkan pengalaman atau intuisi, inilah
matematika sebagai suatu ilmu.
Andaikan kita sepaham dengan
Imanuel Kant dalam memandang matematika sebagai suatu ilmu yang bersifat
sintetik a priori, maka penanaman konsep matematika yang bersifat formal pada
anak (siswa) haruslah dibangun dalam kerangka ruang dan waktu, berdasarkan
pengalaman dan intuisi siswa. Siswa harus mampu membangun pengalaman mereka
sendiri, mampu membangun intuisi mereka sendiri, dan mampu membangun
pengetahuan mereka sendiri, dan kemudian difasilitasi oleh pendidiknya ke dalam
bentuk matematika yang lebih formal (matematika konsep). Inilah yang disebut
sebagai Architectonic Mathematics.
Sejalan dengan hal ini, Ebutt dan
Straker (1995) mendefinisikan matematika
sekolah sebagai kegiatan mencari pola, kegiatan problem solving, kegiatan
investigasi dan kegiatan berkomunikasi. Inilah yang membedakan pembelajaran matematika
pada orang dewasa dan pada anak-anak (siswa). Matematika sekolah dalam
pengertian Ebbutt dan Straker, lebih merupakan kegiatan dalam membangun
pengetahuan tentang matematika itu sendiri. Lebih mengedepankan intuisi dan
pengalaman dalam proses pembelajaran karena menggunakan intuisi dan pengalaman yang
dimiliki siswa sebelumnya untuk menemukan pengetahuan baru yang nantinya akan
menjadi intuisi bagi mereka. Hal ini akan terus berkembang dan membentuk
matematika formal dalam pikiran siswa, yang membantu mereka dalam proses
pembelajaran orang dewasa nantinya.
Apakah siswa tidak bisa diajarkan
pure knowledge? Tentu saja bisa, dan
hal ini telah dan tengah berlangsung pada proses pembelajaran di
sekolah-sekolah, termasuk pada Sekolah Dasar. Apa yang terjadi? Ada dua
kemungkinan. Siswa akan kehilangan intuisi mereka. Pengalaman mereka menjadi
tidak berarti dan hanya mengejar nilai. Atau bahkan yang terjadi adalah siswa
lebih menyukai pengalaman mereka dan menganggap matematika sebagai ilmu yang
membosankan dan tidak menarik sehingga siswa semakin menjauh dari matematika.
Sungguh sangat disayangkan, jika
para matematikawan merasa matematika sebagai suatu ilmu yang wajib dipahami dan
dipelajari oleh setiap manusia karena manfaat dan ketergunaannya dalam
kehidupan, tapi kenyataannya matematika semakin menjadi momok bagi siswa karena
paradigma dari para guru dan pembuat kebijakan bahwa matematika itu adalah
sebatas konsep dan aksioma. Perubahan paradigma sangat diperlukan saat ini
untuk merubah perilaku kita terhadap matematika sekolah, terhadap proses
pembelajaran, dan terhadap siswa (harapannya).
Intuisi dan pengalaman akan lebih
bermakna pada seorang anak atau siswa karena pengalaman itulah yang mereka
alami, intuisilah yang mereka bentuk sendiri dalam pikiran mereka. Pengalaman lebih
dekat dengan siswa dibandingkan sederetan definisi dan teori yang menggunakan
bahasa yang mungkin belum mereka pahami sepenuhnya. Ketakutan terbesar seorang
pendidik seharusnya adalah ketika ilmu yang dia ajarkan pada siswa dapat
dikenal oleh siswa namun siswanya tidak paham untuk apa ilmu ini. Apa kegunaan
dan kapan harus saya gunakan. Pertanyaan lain akan muncul, yaitu untuk apa kita
pelajari hal ini??
Ini telah menjadi bahan renungan
pribadi. Semoga bermanfaat. Amienn..
Yandri Soeyono
NIM : 12709251058
Pendidikan Matematika
Kelas C
Yandri Soeyono 2:18 PM Indonesia
Intuisi dalam Matematika Sekolah
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
2:18 PM
Filsafat dan Pendidikan
Mempelajari filsafat tidak bisa
lepas dari mempelajari perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno dengan
tokoh-tokoh besarnya hingga sekarang ini. Tentu, pada awalnya manusia melakukan
sesuatu dengan tanpa mengerti apa sebenarnya yang dia lakukan, layaknya seorang
anak kecil. Masih menggunakan nalurinya. Inilah yang dinamakan mitos.
Pada zaman Yunani kuno masih terdapat
banyak mitos karena mereka sudah mengenal dewa-dewa pada zaman itu. Hingga lahir
filsuf-filsuf besar yang berkarya menghasilkan banyak pemikirannya, termasuk pemikiran
dalam cara berinteraksi dan berbudaya. Misal Plato, yang telah mampu membuat buku
Republik, yang di dalamnya telah mengatur tentang cara-cara berinteraksi.
Namun, sejak abad I, yang ditandai
dengan lahirnya Jesus Kristus, peradaban pada zaman Yunani kuno mulai berkiblat
pada gereja. Dapat dikatakan bahwa kiblat kebenaran dan segala aturan ada pada
gereja. Sehingga, jika ada penyimpangan pendapat oleh masyarakat terhadap
pendapat gereja, maka akan mendapat pertentangan yang sangat besar. Terlihat dari
apa yang terjadi pada Galileo dan Copernicus.
Sejak abad V, lahirlah Islam. Dan
dominasi gereja pun sudah mulai berkurang pada saat itu. Kebenaran bukan hanya
milik gereja dan kebenaran adalah hak prerogatif dari tiap individu. Islam memiliki
peran sebagai peradaban yang menyelamatkan karya-karya besar filsuf pada zaman Yunani
kuno hingga pada zaman Islam itu juga, seperti karya-karya Imam Ghazali,
sehingga dapat dipelajari hingga sekarang.
Setelah itu dimulailah zaman
modern. Di mana setiap individu memiliki hak untuk berpikir. Pada zaman ini
juga dimulailah era industri di Inggris yang ditandai dengan ditemukannya mesin
uap. Perkembangan dari era industri ini memunculkan
kapitalisme. Jadi dapat dikatakan bahwa Sang Powernow pun sebenarnya dimulai
sejak era ini.
Dan dalam dunia pendidikan pun, terdapat
pengaruh dari industrialisasi dan kapitalisme. Paul Ernest memetakan dunia
pendidikan dalam 5 dunia, yaitu dunia industrialis
(mengedepankan industri, kapitalis dan teknologi), konservatif (yang masih mempertahankan dengan nilai-nilai lama), old-humanis (berpusat pada manusia,
komunis termasuk di dalamnya), progresif
(berorientasi ada hasil), dan sosio-konstruk
(berorientasi pada sosial dan perkembangan siswa).
Bagaimana dengan pendidikan di
Indonesia? Secara umum Indonesia masih terpengaruh oleh kapitalis dan
industrialis. Budaya kapitalis menjadi kiblat dari paradigma anak bangsa dan
keluarga Indonesia. Saat ini isu tentang sosio-konstruk dalam pendidikan sangat
marak dibicarakan, namun sosialisasi dan keinginan berubah dari masyarakat
Indonesia sangat kurang. Hal baru dianggap sebagai masalah dan beban karena
harus berinovasi lagi dalam proses pembelajaran.
Bentuk pembelajaran tradisional
yang lebih berpusat pada guru dianggap masih merupakan pembelajaran yang terbaik.
Jadi siswa hanya menerima ilmu dari guru, kemudian melatihnya dengan soal-soal
latihan. Proses seperti ini telah merenggut intuisi dari siswa. Hal ini tidak
boleh terus berlanjut. Dalam kuliah Filsafat Ilmu, Prof. Dr. Marsigit selalu
menyarankan kepada mahasiswa, guru dan calon guru, agar rebut kembali intuisi. Karena
anak kecil belajar menggunakan intuisi.
Yandri Soeyono
NIM : 12709251058
Pendidikan Matematika
Kelas C
Yandri Soeyono
3:22 PM
Indonesia
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
3:22 PM
MENGAJAR, MENGEJAR
INTUISI
Sebagai refleksi dari kuliah Filsafat Ilmu pada tanggal 8 November 2012,
yang diampu oleh Prof. Dr. Marsigit, saya ingin mengutarakan bahasan tentang
intuisi. Karena selain mendapatkan pengertian dan ilmu tentang intuisi, beliau
pun menganjurkan untuk menggunakan intuisi dalam pembelajaran matematika.
Tidak perlu menjelaskan bilangan 2 (dua) menggunakan definisi konsep yang
kadang atau bahkan sering semakin menyulitkan siswa. Tetapi menggunakan
pengalaman siswa yang telah terkonstruk di pikirannya entah secara sadar
ataupun tidak. Hal ini bersesuaian dengan pandangan konstruktivisme dalam teori
pendidikan.
Ada pengalaman saya tentang siswa SD yang tidak mampu melakukan operasi
penjumlahan dan penguruangan untuk bilangan yang kurang dari 100. Akan tetapi,
mampu melakukan perhitungan dengan cepat untuk bilangan yang jauh lebih besar.
Dia dengan cepat mampu menjawab kembalian sebesar Rp. 1.225,00 jika total harga
barang adalah Rp. 3.775,00 dengan uang konsumen sebesar Rp. 5.000,00. Berbeda
halnya ketika guru bertanya “berapa hasil dari 50-37?”.
Siswa, dengan pengalamannya sendiri, memiliki ilmu dan cara pandang
sendiri terkait sesuatu ilmu. Dan matematika cukup erat kaitannya dengan
hal-hal yang konkrit maupun nyata yang ada dalam kehidupan sehari. Seharusnya,
guru mampu mengkoneksikan antara kedua hal tersebut, yaitu antara pengalaman
yang mungkin dimiliki siswa dan konsep matematika itu sendiri.
“jika engkau ingin menjadi guru matematika yang baik,
sadarlah, kembangkan intuisimu”, demikian ajuran dari Prof. Dr. Marsigit pada
kuliah Filsafat Ilmu pada Program Pascasarjana UNY. Merujuk pada contoh di
atas, tentu ini bukan anjuran kosong. Siswa tersebut tentunya akan mampu untuk
paham dan lebih cepat menjawab sebuah masalah konsep matematika ketika guru
mampu menjelaskan konsep matematika kepada hal-hal yang dekat dengan siswa.
Sangatlah tidak logis ketika siswa mampu melakukan perhitungan dengan bilangan
besar akan tetapi tidak mampu melakukan perhitungan dengan bilangan yang lebih
kecil. Padahal, sistem perhitungan dan metode penyelesaiannya sama. Inilah
tantangan guru untuk dapat mengkoneksikan kedua hal tersebut. Ketika hal sulit
tersebut terlewati, maka kemudahan akan diperoleh sang guru dalam upaya
mencerdaskan bangsa, dalam hal ini adalah siswa-siswa yang dia ajar.
Yandri Soeyono 6:57 PM Indonesia
Menggapai Intuisi
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
6:57 PM
HOTS
Higher Order Thinking
Skills
Kemampuan Berpikir
Tingkat Tinggi
Berpikir merupakan suatu upaya kompleks dan
reflektif dan juga pengalaman kreatif. Berpikir merupakan faktor penting dalam proses
pembelajaran siswa. Kemampuan
berpikir ini dimungkinkan untuk berkembang karena manusia memiliki rasa ingin
tahu yang selalu terus berkembang. Ini memiliki arti bahwa keterampilan berpikir setiap orang akan selalu
berkembang dan dapat dipelajari. Sehingga salah satu kecakapan hidup (life skill)
yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan adalah keterampilan berpikir.
Berpikir, menurut Taylor,
merupakan proses penarikan kesimpulan. Menurut Edward de Bono, berpikir
merupakan suatu proses kompleks kompleks
yang berlaku dalam pikiran seseorang apabila orang itu menceritakan
pengalamannya secara terperinci untuk mencapai sesuatu tujuan. Menurut
Ruch, berpikir itu sendiri
merupakan manipulasi atau organisasi unsur lingkungan dengan menggunakan
lambang sehingga tidak perlu langsung melakukan kegiatan yang tampak. Berpikir
merujuk pada pelbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan lambang dan konsep,
sebagai pengganti objek dan peristiwa.
Secara umum, terdapat empat
tingkat berpikir, yaitu :
- Recall Thinking (menghafal), merupakan tingkat berpikir paling rendah yang terdiri atas keterampilan hampir otomatis atau refleksif.
- Basic thinking (dasar), merupakan keterampilan dasar yang meliputi memahami konsep-konsep seperti penjumlahan, perkalian, dan sebagainya termasuk aplikasinya dalam soal-soal.
- Critical thinking (berpikir kritis), merupakan berpikir yang memeriksa, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek.
- Creatif thinking (berpikir kreatif), merupakan kegiatan menyatukan ide, mencipta ide baru, dan mampu menentukan keefektifannya.
Terdapat perbedaan proses
pembelajaran sebelum abad 21 dan setelahnya. Berikut ini adalah beberapa
perbedaan yang menonjol dari 2 kondisi tersebut :
Sebelum abad 21
|
Tuntutan pembelajaran setelah abad 21
|
·
Berpusat pada guru
·
Pembelajaran langsung
·
Menekankan Pengetahuan
·
Berorientasi pada Isi/materi
·
Berkaitan dengan Ketrampilan dasar
·
Penekanan pada Teori
·
Akademik
·
Individual
·
Berlangsung di Ruang kelas
·
Penilaian sumatif
·
Belajar demi sekolah
|
·
Berpusat pada siswa
·
Pembelajaran kolaboratif
·
Menekankan ketrampilan
·
Berorientasi pada proses
·
Berpikir tingkat tinggi
·
Menekankan Praktik
·
Life Skills
·
Kelompok
·
Berlangsung dalam komunitas
·
Penilaian formatif
·
Belajar demi hidup
|
Tingkat
kemampuan berpikir menurut Bloom (Anderson dan Krat-hohl, 2001) dengan
mengelompokkan proses yang digunakan siswa untuk memperoleh pengetahuan terdiri
atas dimensi pengetahuan dan proses. Dimensi pengetahuan mencakup pengetahuan
faktual, konseptual, prosedural, dan pengetahuan metakognitif. Proses terdiri
atas kategori mengingat, memahami, aplikasikan, analisis, evaluasi, dan
menciptakan.
Dari keenam proses kognitif menurut
Bloom yang terkenal dengan nama Bloom’s Taxonomy, Analisis, evaluasi dan
menciptakan merupakan tingkat berpikir yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tiga proses lainnya. Kemampuan berikir
tingkat tinggi (higher order thinking skills) termasuk di dalamnya berpikir
kritis, logis, kreatif, reflektif, dan metakognitif (FJ King, Ludwika, Faranak
Rohani).
Berpikir kritis, menurut Ennis, adalah berpikir secara beralasan dan
reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus
dipercayai atau dilakukan.
Menurut
Paul dan Elder (2006), berpikir kritis menunjukkan beberapa karakter :
- Skeptis (skeptycal)
- Aktif, tidak pasif. Selalu bertanya dan menganalisis. Dan mampu mengkomunikasikan argumen.
- Tidak egois, terbuka terhadap ide dan hal-hal baru dan memiliki keinginan untuk saling adu argumen.
Menurut Coleman &
Hammen (1974) berpikir kreatif merupakan cara berpikir yang menghasilkan
sesuatu yang baru dalam bentuk konsep, penemuan maupun karya seni. Salah satu
cara untuk mengembangkan dan menguatkan kemampuan kita untuk berpikir kreatif
adalah percaya bahwa sesuatu itu dapat dilakukan. Sehingga akan muncul adanya
suatu dorongan untuk menggerakkan pikiran untuk mencari dan melaksanakan
sesuatu yang diinginkan.
Menurut de Bono dan Perkins, ciri-ciri orang yang berpikir kreatif antara
lain memiliki ide atau gagasan-gagasan baru, berani tampil beda atau melawan
arus, memunculkan pemikiran yang tidak atau belum popular, optimistik, tidak takut mencoba, tidak takut gagal,
berani menanggung resiko
Kemampuan berpikir untuk menilai kemampuan sendiri disebut dengan
metakognisi. Metakognisi meliputi kesadaran proses berpikir seseorang,
self-monitoring, dan penerapan pengetahuan dan langkah-langkah untuk berpikir.
Bagaimana mengembangkan HOTS? Dalam presentasinya, Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Pertama memberikan beberapa strategi pembelajaran untuk
meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, yaitu:
- Membuat peta konseP
- Mengajukan pertanyaan
- Menyusun buku harian/jurnal pembelajaran
- Pembelajaran kolaboratif berbasis TI
- Menggunakan analogi
- Eksperimen berbasis inkuiri
- Metode proyek
- Latihan –latihan membuat keputusan
- Pemecahan masalah
Sebagai contoh, akan dicoba membahas salah satu Standar Kompetensi pada
kelas X, yaitu memecahkan masalah yang berkaitan dengan bentuk pangkat, akar,
dan logaritma. Sesuai dengan Bloom’s Taxonomy, maka kegiatan mengingat dapat berupa mengingat kembali
beberapa konsep dasar tentang perkalian. Misal 2 x 2 x 2 = 8.
Pada ranah
kognitif selanjutnya, yaitu memahami,
dapat memberikan konsep kepada siswa tentang konsep perkalian. Misal adalah
bentuk pangkat berbentuk ab=c. Dalam bentuk bilangan seperti 23=8.
Dan juga implikasi yang ditimbulkan yang menjadi sifat-sifat dari operasi
bilangan berpangkat. Selanjutnya pada ranah kognitif menerapkan. Dengan memberi soal yang kontekstual dan diselesaikan
menggunakan pengetahuan yang sudah didapatkan. Misal aplikasinya dalam bidang
biologi, Jika amuba dapat membelah diri menjadi 2 dalam 15 menit, terdapat
berapa amuba saat 1 jam kedepan?
Selanjutnya, yang termasuk dalam HOTS berdasarkan Bloom’s Taxonomy, yaitu
menganalisis, mengevaluasi dan membuat. Contoh untuk ranah menganalisis, dengan
memberikan pertanyaan seperti bagaimana jika amuba dapat membelah diri
menjadi 3 dalam waktu 15 menit, terdapat berapa amubakah saat 1 jam berikutnya?
Hal ini telah merangsang siswa untuk berpikir lebih dalam, menganalisis dengan
menggunakan pengetahuan sebelumnya. Biarkan mereka mencari dengan caranya
sendiri, dan tentunya mereka dapat membandingkan dengan soal sebelumnya.
Pertanyaan ini telah melatih siswa untuk berpikir kritis.
Kita misalkan dalam sebuah bisnis MLM, diperkirakan dalam waktu satu
bulan, si A dapat menemukan 3 anggota baru. Apakah benar dalam waktu 1 tahun si
A bisa memperoleh anggota sebanyak 100 orang? Siswa dapat membandingkan soal ini dengan soal sebelumnya dan dengan
menjawab pertanyaan ini, siswa telah diajak untuk mengevaluasi suatu masalah.
Apakah pernyataan di atas benar atau salah? Dan mengapa benar jika mereka
menjawab benar atau mengapa salah jika mereka menjawab salah, juga merupakan
pertanyaan lanjutan yang mengajak siswa berpikir kritis dan kreatif. Dan ini juga
merupakan solusi untuk melatih siswa untuk memecahkan masalah berdasarkan
hal-hal yang kontekstual.
Berpikir tingkat tinggi dimulai dengan bertanya. Maka siswa harus dibiasakan
untuk memiliki kemampuan bertanya, dan paham dengan masalah yang ada.
Referensi
-
Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, Higher Order Thinking Skills.ppt, 2011
-
King,
FJ., Gudson, Ludwika., Rohani, Faranak. Higher Order Thinking Skills,
Assessment and Evaluation Educational Service Program.
Yandri Soeyono
4:09 PM
Indonesia
Suatu malam aku duduk sambil mendengar ikhlas, komitmen dan nilai berbicara..
ikhlas:
hei komitmen dan nilai... apakah kalian memiliki kegundahan hati dan pikiran selayakku??
komitmen: aku tidak punya kegundahan hati selayaknya dirimu..
nilai : aku pun tidak memilikinya..
komitmen dan nilai :
mengapa bisa engkau memiliki kegundahan hati seperti itu?? bukankah kita adalah sama?
ikhlas :
entahlah,, tapi selama ini, kegalauan ini terus men-colekku
aku pun tahu kita adalah satu dan sama.. tapi mengapa hanya aku yang mengalami kegalauan ini?
aku tahu aku pun memiliki dirimu, wahai komitmen..
dan aku tetap setia dengan dirimu, wahai komitmen..
aku juga tahu nilai dari komitmen ini..
dan aku juga setia dengan dirimu, wahai nilaiku..
tapi aku galau atas diriku sendiri..
ilmu baru ini memberikanku elegi, yang entah kapan aku bisa mendapatkan jawaban pasti dan sesuai dengan harapanku..
bagaimana aku harus mengejar ketidakpastian terhadap pertanyaan-pertanyaanku??
bagaimana menjawa semua elegi-elegiku??
hingga aku berpikir, ingin kulepaskan diriku dari semua pertanyaanku..
ingin kulepas diriku dari semua elegiku..
ingin kulepas hingga aku hanya akan ikhlas menjalaninya saja..
tapi ternyata,, untuk melepaskan diriku dari semua pertanyaan pun merupakan ketidakpastian buatku..
melepaskan diriku dari semua elegiku pun tak semudah yang aku harapkan..
bahkan kembali menimbulkan elegi-elegi itu lagi.. pertanyaan-pertanyaan itu lagi..
sejenak aku terhenyak dan sadar seketika setelah mendengar perbincangan mereka
sadarlah aku,, ternyata aku masih hidup
ternyata pertanyaan-pertanyaan itu merupakan seluas-luasnya pikiranku
sedalam-dalamnya niatku
dan setinggi-tingginya keyakinanku..
dan elegi itu, akan selalu berada di depanku untuk membantu mencari ilmu baru yang bermanfaat dunia dan akhirat..
sekian perincangan malam ini..
Yandri Soeyono
8:22 AM
IndonesiaElegi Melepas Elegi
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
8:22 AM
SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT
- FILSAFAT YUNANI KUNO
Secara historis kelahiran dan perkembangan
pemikiran Yunani Kuno(sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat.
Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni
tradisi: (1) Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini), (2) Sejarah
Filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini), dan (3) Sejarah Filsafat Barat
(sekitar 600 SM – dewasa ini). Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas,
tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah basis kelahiran dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain)
sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Pada tradisi Sejarah Filsafat Barat
semenjak periodesasi awalnya (Yunani Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para
pemikir pada masa itu sudah mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché)
yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché,
sedangkan Anaximander (sekitar 610 -540 SM) berpendapat arché adalah
sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat
“udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama penting lain pada
periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) dan Parmenides (515 – 440 SM),
Herakleitos mengemukakan bahwa segala sesuatu itu “mengalir” (“panta rhei”) bahwa
segala sesuatu itu berubah terus-menerus berubah sedangkan Parmenides
menyatakan bahwa segala sesuatu itu justru sebagai sesuatu yang tetap (tidak
berubah).
Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM)
berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur
dasar kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”, dan Pythagoraslah orang
pertama yang menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”, yakni
seseorang yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapai kebenaran melalui berpikir/bermenung
secara kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus.
1. Parmenides, berpendapat bahwa segala sesuatu
“yang ada” tidak berubah. Parmenides tidak mendefinisikan apa yang dimaksud
“yang ada” namun menyebutkan sifat-sifatnya. Menurutnya, “yang ada” itu
bersifat meliputi segala sesuatu, tidak bergerak, tidak berubah, dan tidak
terhancurkan. Selain itu, “yang ada” itu juga tidak tergoyahkan dan tidak dapat
disangkal. Menurut Parmenides, “yang ada” adalah kebenaran yang tidak mungkin
disangkal. Bila ada yang menyangkalnya, maka ia akan jatuh pada kontradiksi.
Hal itu dapat dijelaskan melalui pengandaian yang diberikan oleh Parmenides,
yaitu :
ü
Pertama,
orang dapat mengatakan bahwa "yang ada" itu tidak ada.
ü
Kedua,
orang dapat mengatakan bahwa "yang ada" dan "yang tidak
ada" itu bersama-sama ada.
Kedua pengandaian
ini mustahil. Pengandaian pertama mustahil, sebab "yang tidak
ada" tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibicarakan. "Yang
tidak ada" tidak dapat dipikirkan dan dibicarakan. Pengandaian
kedua merupakan pandangan dari Herakleitos. Pengandaian ini juga mustahil,
sebab pengandaian kedua menerima pengandaian pertama, bahwa "yang tidak
ada" itu ada, padahal pengandaian pertama terbukti mustahil. Dengan
demikian, kesimpulannya adalah "Yang tidak ada" itu tidak ada,
sehingga hanya "yang ada" yang dapat dikatakan ada.
Untuk lebih
memahami pemikiran Parmenides, dapat digunakan contoh berikut ini. Misalnya
saja, seseorang menyatakan “Tuhan itu tidak ada !!”, di sini, Tuhan yang
eksistensinya ditolak orang itu sebenarnya ada, maksudnya harus diterima
sebagai dia "Yang Ada". Hal ini disebabkan bila orang itu
mengatakan "Tuhan itu tidak ada", maka orang itu sudah terlebih dulu
memikirkan suatu konsep tentang Tuhan. Barulah setelah itu, konsep
Tuhan yang dipikirkan orang itu disanggah olehnya sendiri dengan menyatakan
"Tuhan itu tidak ada". Dengan demikian, Tuhan sebagai yang
dipikirkan oleh orang itu "ada" walaupun hanya di dalam pikirannya
sendiri. Sedangkan penolakan terhadap sesuatu, pastilah mengandaikan
bahwa sesuatu itu "ada" sehingga "yang tidak ada" itu
tidaklah mungkin. Oleh karena "yang ada" itu selalu dapat
dikatakan dan dipikirkan, sebenarnya Parmenides menyamakan antara "yang
ada" dengan pemikiran atau akal budi.
Setelah
berargumentasi mengenai "yang ada" sebagai kebenaran, Parmenides juga
menyatakan konsekuensi-konsekuensinya sebagai berikut :
1)
Pertama-tama,
"yang ada" adalah satu dan tak terbagi, sedangkan pluralitas tidak
mungkin. Hal ini dikarenakan tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan “yang
ada”.
2)
Kedua,
"yang ada" tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan. Dengan kata
lain, "yang ada" bersifat kekal dan tak terubahkan. Hal itu merupakan
konsekuensi logis, sebab bila "yang ada" dapat berubah, maka
"yang ada" dapat menjadi tidak ada atau "yang tidak ada"
dapat menjadi ada.
3)
Ketiga, harus
dikatakan pula bahwa "yang ada" itu sempurna, seperti sebuah bola
yang jaraknya dari pusat ke permukaan semuanya sama. Menurut Parmenides,
"yang ada" itu bulat sehingga mengisi semua tempat.
4)
Keempat,
karena "yang ada" mengisi semua tempat, maka disimpulkan bahwa tidak
ada ruang kosong. Jika ada ruang kosong, artinya menerima bahwa di luar
"yang ada" masih ada sesuatu yang lain. Konsekuensi lainnya adalah gerak
menjadi tidak mungkin sebab bila benda bergerak, sebab bila benda bergerak
artinya benda menduduki tempat yang tadinya kosong.
2.
Pemikiran Herakleitos yang paling terkenal adalah
mengenai perubahan-perubahan di alam semesta. Menurut Herakleitos, tidak ada
satu pun hal di alam semesta yang bersifat tetap atau permanen. Tidak ada
sesuatu yang betul-betul ada, semuanya berada di dalam proses menjadi.
Ia terkenal dengan ucapannya panta rhei kai uden menei yang berarti,
"semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap".
Pendapat Heraklietos ini bertentangan dengan Parmenides karena perubahan yang
tidak ada henti-hentinya itu dibayangkan Herakleitos dengan dua cara :
ü Pertama, seluruh kenyataan adalah seperti
aliran sungai yang mengalir. "Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai
yang sama," demikian kata Herakleitos. Maksudnya di sini, air sungai
selalu bergerak sehingga tidak pernah seseorang turun di air sungai yang sama
dengan yang sebelumnya.
ü Kedua, ia menggambarkan seluruh kenyataan
dengan api. Maksud api di sini lain dengan konsep mazhab Miletos yang
menjadikan air atau udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Bagi
Herakleitos, api bukanlah zat yang dapat menerangkan perubahan-perubahan segala
sesuatu, melainkan melambangkan gerak perubahan itu sendiri. Api senantiasa
mengubah apa saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api
yang sama karena itu, api cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan.
Heraklietos juga
penganut Metafisika, yaitu cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di
dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:
Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? dan
lain sebagainya. Cabang utama metafisika adalah Ontologi
yaitu ilmu yang mempelajari tentang hakekat benda-benda di alam dan hubungan
antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas
pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan
sebab akibat, dan kemungkinan.
Zaman keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada masa
Sokrates (± 470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM).
Sokrates sebagai guru dari Plato maupun tidak meninggalkan karya tulis satupun
dari hasil pemikirannya, tetapi pemikiran-pemikirannya secara tidak langsung
banyak dikemukakan dalam tulisan-tulisan para pemikir Yunani lainnya tetapi
terutama ditemukan dalam karya muridnya Plato.
3.
Plato, mendukung ajaran Parmenides, yaitu
menganggap bahwa segala sesuatu itu TETAP. Namun, ia juga memiliki paham Idealisme yaitu paham filsafat yang
memandang mental dan ideal sebagai kunci ke hakikat realitas. Dalam hal
ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau bayang-bayang/bayangan
dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka
dan oleh karena itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri. Dunia “ide” itulah
yang tetap tidak berubah/abadi sedangkan kenyataan yang dapat diobservasi
sebagai sesuatu yang senantiasa berubah. Karya-Karya lainnya dari Plato sangat
dalam dan luas meliputi logika, epistemologi, antropologi (metafisika),
teologi, etika, estetika, politik, ontologi dan filsafat alam.
Paham idealisme
lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan
fisik. Ajaran Plato mengenai ide ada 2, yaitu :
1) Dunia ide-ide yang hanya terbuka bagi
rasio kita (Dunia Rasional/Dunia Rohani)
2) Dunia jasmani yang hanya terbuka bagi
panca indera kita (dunia indrawi)
Dalam dunia
rasional, tidak ada perubahan dan kenisbian. Perubahan dan kenisbian hanya ada
dalam dunia indrawi yang memang memperlihatkan ketidakmantapan tanpa henti.
Misalnya, Singa A atau Singa B itu pasti akan mati. Namun, pada umumnya, yakni
ide singa itu akan tetap ada. Begitu pula gambar segitiga di papan tulis,
meskipun gambar segitiga di papan tulis tersebut dapat dihapus tapi ide
segitiga itu sama sekali tidak akan terhapus dalam pikiran (ide itu abadi
selamanya).
4.
Sedangkan Aristoteles
sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju/berlawanan dengan apa yang diperoleh
dari gurunya (Plato). Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia
“abadi” sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada
kenyataan/benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak
dapat dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”).
Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa “ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan
tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk. Dengan
demikian maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan
kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari materi.
Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi logika, etika, politik, metafisika,
psikologi dan ilmu alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak
menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan
Aristoteles memiliki paham Realis yaitu paham bahwa hakekat suatu
benda itu bukan terletak pada ide/pikiran melainkan pada obyek nyata benda itu
sendiri (pendapat ini sangat berlawanan
dengan Plato). Contoh dari paham Aristoteles : sebelum menjadi sebuah patung
kuda kayu, tentu ada tahapan-tahapan yang mendahuluinya, misalnya sebuah pohon
menghasilkan sepotong kayu utuh lalu kepala kuda diukir pada kayu itu. Setelah
itu, badan kuda juga harus dibuat dan seterusnya sampai pada akhirnya seluruh
patung itu berbentuk penuh seekor kuda. Ajaran Aristoteles juga telah mengarah
pada pengakuan adanya TUHAN. Menurut Aristoteles, suatu gerakan atau proses
perkembangan dalam jagad raya tidak mempunyai awal dan akhir dalam waktu maka
alam semesta abadi sifatnya. Namun, karena sesuatu yang bergerak itu digerakkan
oleh penggerak yang lain, perlu diterima satu Penggerak Pertama yang tidak
digerakkan oleh Penggerak lain, yaitu TUHAN. Selain Metafisika sebagai aliran
dari Aristoteles, Aristoteles juga membagi cabang ilmu menjadi 3 bagian, yaitu
:
a)
Ilmu
Pengetahuan Praktis (Etika dan Ilmu Politik)
b)
Ilmu
Pengetahuan Produktif menyangkut pengetahuan yang sanggup menghasilkan suatu
karya/produk jadi (ilmu teknik, kesenian)
c)
Ilmu
Pengetahuan Teoritis (Fisika, Matematika, dan Metafisika (yang telah disebutkan
di atas)
Namun, di luar ketiga pengetahuan di
atas, masih ada Logika (Penalaran Tepat). Ajaran Logika Aristoteles yang sampai
sekarang masih digunakan adalah ajaran mengenai Induksi, Deduksi, dan
Silogisme. Induksi adalah metode pemikiran yang menghasilkan pengetahuan
tentang yang umum dengan bertolak dari hal-hal khusus, sedangkan Deduksi adalah
sebaliknya yakni metode pemikiran yang khusus dengan bertitik tolak dari hal
umum, Salah satu contoh dari Metode Deduksi adalah Silogisme, yakni pengambilan
kesimpulan berdasarkan dua pernyataan yang telah diberitahukan sebelumnya.
Misalnya :
Premis Mayor : Semua manusia akan mati
Premis Minor : Budi adalah seorang manusia
Kesimpulan : Maka Budi
akan mati
Aristoteles dikenal sebagai Bapak Ilmu
Pengetahuan karena merupakan Filsuf pertama yang mengajarkan tentang
rasionalitas ilmu pengetahuan dan dasar-dasar pemikirannya hingga saat ini
masih terus digunakan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
- Jaman Patristik dan Skolastik: Filsafat Dalam dan Untuk Agama
Pada jaman ini dikenal sebagai Abad
Pertengahan (400-1500 ). Filsafat pada abad ini dikuasai dengan pemikiran
keagamaan (Kristiani). Puncak filsafat Kristiani ini adalah Patristik (Lt. “Patres”/Bapa-bapa
Gereja) dan Skolastik Patristik sendiri dibagi atas Patristik Yunani (atau
Patristik Timur) dan Patristik Latin (atau Patristik Barat). Tokoh-tokoh
Patristik Yunani ini anatara lain Clemens dari Alexandria (150-215), Origenes
(185-254), Gregorius dari Naziane (330-390), Basilius (330-379). Tokoh-tokoh
dari Patristik Latin antara lain Hilarius (315-367), Ambrosius (339-397),
Hieronymus (347-420) dan Augustinus (354-430). Ajaran-ajaran dari para Bapa
Gereja ini adalah falsafi-teologis, yang pada intinya ajaran ini ingin
memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari
manusia. Ajaran-ajaran ini banyak pengaruh dari Plotinos. Pada masa ini dapat
dikatakan era filsafat yang berlandaskan akal-budi “diabdikan” untuk dogma
agama.
Jaman Skolastik (sekitar tahun 1000),
pengaruh Plotinus diambil alih oleh Aristoteles. Pemikiran-pemikiran
Ariestoteles kembali dikenal dalam karya beberapa filsuf Yahudi maupun Islam,
terutama melalui Avicena (Ibn. Sina,
980-1037), Averroes (Ibn. Rushd, 1126-1198) dan Maimonides (1135-1204).
Pengaruh Aristoteles demikian besar sehingga ia (Aristoteles) disebut sebagai
“Sang Filsuf” sedangkan Averroes yang banyak membahas karya Aristoteles
dijuluki sebagai “Sang Komentator”. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman
Kristiani menghasilkan filsuf penting sebagian besar dari ordo baru yang lahir
pada masa Abad Pertengahan, yaitu, dari ordo Dominikan dan Fransiskan..
Filsafatnya disebut “Skolastik” (Lt. “scholasticus”, “guru”), karena
pada periode ini filsafat diajarkan dalam sekolahsekolah biara dan
universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang baku dan bersifat
internasional. Inti ajaran ini bertema pokok bahwa ada hubungan antara iman dengan
akal budi. Pada masa ini filsafat mulai ambil jarak dengan agama, dengan melihat
sebagai suatu kesetaraan antara satu dengan yang lain (Agama dengan Filsafat)
bukan yang satu “mengabdi” terhadap yang lain atau sebaliknya.
Sampai dengan di penghujung Abad
Pertengahan sebagai abad yang kurang kondusif terhadap perkembangan ilmu,
dapatlah diingat dengan nasib seorang astronom berkebangsaan Polandia N. Copernicus
yang dihukum kurungan seumur hidup oleh otoritas Gereja, ketika mengemukakan
temuannya tentang pusat peredaran benda-benda angkasa adalah matahari (Heleosentrisme).
Teori ini dianggap oleh otoritas Gereja sebagai bertentangan dengan teori geosentrisme
(Bumi sebagai pusat peredaran benda-benda angkasa) yang dikemukakan oleh
Ptolomeus semenjak jaman Yunani yang justru telah mendapat “mandat” dari
otoritas Gereja. Oleh karena itu dianggap menjatuhkan kewibawaan Gereja.
- Jaman Modern: Lahir dan Berkembangan Tradisi Ilmu Pengetahuan
Setelah Renesanse mulailah jaman Barok,
pada jaman ini tradisi rasionalisme ditumbuh-kembangkan oleh filsuf-filsuf
antara lain; R. Descartes (1596-1650), B. Spinoza (1632-1677) dan G. Leibniz
(1646-1710). Para Filsuf tersebut di atas menekankan pentingnya
kemungkinan-kemungkinan akal-budi (“ratio”) didalam mengembangkan pengetahuan
manusia.
1. R.
Descartes, pahamnya yang
terkenal adalah Analytic Apriori
dengan unsur dasarnya Konsisten dan
dasar hukumnya adalah Identitas. Karya
filsafat Descrates dapat dipahami dalam bingkai konteks pemikiran pada masanya,
yakni adanya pertentangan antara Scholasticism
dengan keilmuan baru Galilean - Copernican. Atas dasar tersebut ia dengan misi
filsafatnya berusaha mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat diragukan.
Metodenya ialah dengan meragukan semua pengetahuan yang ada, yang kemudian
mengantarkannya pada kesimpulan bahwa pengetahuan yang ia kategorikan ke dalam
tiga bagian dapat diragukan, yaitu :
a. Pengetahuan yang berasal dari pengalaman
inderawi dapat diragukan, semisal kita memasukan kayu lurus kedalam air maka
akan nampak bengkok
b. Fakta umum tentang dunia semisal api itu
panas dan benda yang berat akan jatuh juga dapat diragukan. Descrates
menyatakan bagaimana jika kita mengalami mimpi yang sama berkali-kali dan dari
situ kita mendapatkan pengetahuan umum tersebut
c. Logika dan Matematika, prinsip-prinsip
logika dan matematika juga ia ragukan. Ia menyatakan bagaimana jika ada suatu
mahluk yang berkuasa memasukan ilusi dalam pikiran kita, dengan kata lain kita
berada dalam suatu matrix.
Dari keraguan tersebut, Descrates hendak
mencari pengetahuan apa yang tidak dapat diragukan. Yang akhirnya mengantarkan
pada premisnya Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada). Baginya
eksistensi pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut dan tidak dapat
diragukan. Sebab meskipun pemikirannya tentang sesuatu salah, pikirannya
tertipu oleh suatu matriks, ia ragu akan segalanya, tidak dapat diragukan lagi
bahwa pikiran itu sendiri eksis/ada. Pikiran sendiri bagi Descrates ialah suatu
benda berpikir yang bersifat mental ( res cogitans ) bukan bersifat
fisik atau material. Dari prinsip awal bahwa pikiran itu eksis descrates
melanjutkan filsafatnya untuk membuktikan bahwa Tuhan dan benda-benda itu ada.
Berangkat dari pembuktiannya bahwa pikiran
itu eksis, filsafatnya membuktikan bahwa Tuhan ada dan kemudian membuktikan
bahwa benda material ada. Descrates mendasarkan akan adanya Tuhan pada prinsip
bahwa sebab harus lebih besar, sempurna, baik dari akibat. Dalam pikiran
Descrates ia memiliki suatu gagasan tentang Tuhan adalah suatu mahluk sempurna
yang tak terhingga. Gagasan tersebut tidak mungkin muncul/disebabkan oleh
pengalaman dan pikiran diri sendiri, karena kedua hal tersebut merupakan
sesuatu yang tidak sempurna dan dapat diragukan sehingga tidak memenuhi prinsip
sebab lebih sempurna dari akibat. Gagasan tentang Tuhan yang ada dalam kepala
(sebagai akibat) hanya bisa disebabkan oleh sebuah mahluk sempurna yang
menaruhnya dalam pikiran saya, yakni Tuhan.
Setelah membuktikan adanya Tuhan,
Descrates membuktikan bahwa benda material itu eksis. Ia menyatakan bahwa Tuhan
menciptakan manusia dengan ketidakmampuan untuk membuktikan bahwa benda
material itu sejatinya tidak ada. Bahkan Tuhan menciptakan manusia untuk
memiliki kecenderungan pemahaman bahwa benda material itu eksis. Apabila
pemahaman benda material eksis hanya merupakan sebuah matriks kompleks yang menipu
pikiran manusia, itu berarti Tuhan adalah penipu, dan bagi Descrates penipu
ialah ketidaksempurnaan. Padahal Tuhan ialah mahluk yang sempurna, oleh karena
itu Tuhan tidak mungkin menipu, sehingga benda material itu pastilah ada.
Pada abad kedelapan belas mulai memasuki
perkembangan baru. Setelah reformasi, renesanse dan setelah rasionalisme jaman
Barok, pemikiran manusia mulai dianggap telah “dewasa”. Periode sejarah
perkembangan pemikiran filsafat disebut sebagai “Jaman Pencerahan” atau “Fajar
Budi” (Ing. “Enlightenment”, Jrm. “Aufklärung”. Filsuf-filsuf
pada jaman ini disebut sebagai para “empirikus”, yang ajarannya lebih
menekankan bahwa suatu pengetahuan adalah mungkin karena adanya pengalaman
indrawi manusia (Lt. “empeira”, “pengalaman”). Para empirikus besar
Inggris antara lain J. Locke (1632-1704), G. Berkeley (1684-1753) dan D. Hume
(1711-1776). Di Perancis JJ. Rousseau (1712-1778) dan di Jerman Immanuel Kant
(1724-1804).
2. Inti ajaran David Hume pada dasarnya sama dengan Aristoteles yaitu menekankan
pada Berpikir (ide). Akan tetapi, teori
Berpikir ala David Hume berdasarkan pada suatu pengalaman seseorang yang
disebut teori Empiricism dengan unsur
dasar Synthetic Aposteriori (bisa
berpikir kalau sudah melihat). Synthetic
Aposteriori berlawanan arah dengan Analytic
Apriori atau bisa dikatakan bahwa pendapat David Hume berlawanan dengan
Rene Descartes.
Aliran Empiris adalah aliran yang
berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan/parsial didasarkan kepada
pengalaman yang menggunakan indera. Secara terminologis, Empirisme adalah
doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman,
pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami, pengalaman indrawi adalah satu-satunya sumber
pengetahuan, dan bukan akal. Aliran ini memegang teguh prinsip bahwa
pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman, misalnya : “Mengapa kita
takut jika masuk ke dalam kandang Harimau?” karena Harimau adalah binatang buas
dan berbahaya (pengalaman menurut seseorang yang pernah diterkam Harimau atau
pengalaman seseorang yang pernah bertemu dengan Harimau).
David Hume juga sebagai penggagas
Ruang dan Waktu dalam Filsafat. Gagasan mengenai waktu berasal dari urutan
kesan terhadap suatu hal. Misalnya kita melihat buah mangga jatuh dari pohon
yang asalnya berada pada dahan, lalu buah itu jatuh di atas tanah. Pada saat
itu kita melihat ada urutan kesan waktu mengenai buah mangga (pada mulanya) dan
kemudian berada di atas tanah. Pada saat itulah gagasan mengenai waktu
terbentuk dalam imajinasi kita. Gagasan mengenai ruang berkaitan dengan luas
(ukuran). Ide ruang dihasilkan oleh indra penglihatan dan penyentuh. Ketika
kamu melihat mangga jatuh dibawah pohon sana, kesan kamu mengatakan bahwa
mangga itu benar-benar ada. Pada saat itulah imajinasi kita menemukan gagasan
mengenai ada di sana itulah ruang. Lewat dua pendapat di atas, Hume menentang
semua pikiran dan gagasan yang tidak dapat dilacak dengan persepsi indera.
Dari pertentangan antara paham Rene
Descartes dan David Hume yang terlihat dari filsafat aliran tetap dan aliran
berubah di atas, Immanuel Kant
mencoba untuk mensintesiskan keduanya sehingga membentuk suatu paham Synthetic Apriori yaitu Filsafat Lengkap
berdasarkan gabungan antara Synthetic
Aposteriori dengan Analytic Apriori. Inti
paham Immanuel Kant dikenal dengan Kritisisme
atau Filsafat Kritis, suatu nama
yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai
perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan
batas-batasnya. Kritisisme terdiri atas 3 bagian, yaitu :
1) Kritik atas Rasio Murni
Dalam kritik ini,
antara lain Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum,
mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan
adanya tiga macam putusan. Pertama,
putusan analitis a priori; di mana predikat tidak menambah sesuatu yang
baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda
menempati ruang). Kedua, putusan
sintesis aposteriori,
misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan
dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah mempunyai
pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui. Ketiga, putusan
sintesis a
priori: di sini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang
kendati bersifat sintetis, namun bersifat a priori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala
kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori),
namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “kejadian”
belum dengan sendirinya tersirat pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal
maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika, dan ilmu
pengetahuan alam disusun atas putusan sisntetis yang bersifat a priori
ini. Menurut Kant, putusan jenis ketiga
inilah syarat dasar bagi apa yang disebut pengetahuan (ilmiah) dipenuhi, yakni
bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru. Persoalannya adalah
bagaimana terjadinya pengetahuan yang demikian itu?. Menjawab pertanyaan ini
Kant menjelaskan bahwa pengetahuan itu merupakan sintesis dari unsur-unsur
yang ada sebelum pengalaman yakni unsur-unsur a priori dengan
unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yakni unsur-unsur aposteriori.
Proses sintesis itu, menurut Kant terjadi dalam tiga tingkatan pengetahuan
manusia yaitu pencerahan indrawi (sinneswahrnehmung), lalu tingkat akal budi (verstand),
dan tingkat tertinggi adalah tingkat rasio/intelek (Versnunft).
2) Kritik atas Rasio Praktis
Apabila kritik atas
rasio murni memberikan penjelasan tentang syarat-syarat umum dan
mutlak bagi pengetahuan manusia, maka dalam “kritik atas rasio praktis”
yang dipersoalkan adalah syarat-syarat umum dan mutlak bagi perbuatan
susila. Kant coba memperlihatkan bahwa syarat-syarat umum yang berupa bentuk (form)
perbuatan dalam kesadaran itu tampil dalam perintah (imperatif). Kesadaran
demikian ini disebut dengan “otonomi rasio praktis” (yang dilawankan dengan
heteronomi). Perintah tersebut dapat tampil dalam kesadaran dengan dua cara,
subyektif dan obyektif. Maxime (aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi
perbuatan orang perseorang (individu), sedangkan imperatif (perintah)
merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan
perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan
bersyarat (hepotetik) atau dapat juga tanpa syarat (kategorik). Imperatif
kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal.
Menurut Kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber pada kewajiban
dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat
(achtung). Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
3)
Kritik atas Daya Pertimbangan
Konsekuensi dari “kritik atas
rasio murni” dan “kritik atas rasio praktis” menimbulkan adanya dua kawasan
tersendiri, yaitu kawasan kaperluan mutlak di bidang alam dan kawasan kebebasan
di bidang tingkah laku manusia. Adanya dua kawasan itu, tidak berarti
bertentangan atau dalam tingkatan. Kritik atas Daya Pertimbangan (Kritik der
Urteilskraft), dimaksukkan oleh Kant, adalah mengerti persesuaian
kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas
(tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas
bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah
yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang
bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.
- Masa Kini
Pada abad ketujuh belas dan kedelapan
belas perkembangan pemikiran filsafat pengetahuan memperlihatkan aliran-aliran
besar: rasionalisme, empirisme dan idealisme dengan mempertahankan
wilayah-wilayah yang luas. Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh belas dan
abad kedelapan belas, filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh
banyak bermunculan aliran-aliran baru dalam filsafat tetapi wilayah pengaruhnya
lebih tertentu. Akan tetapi justru menemukan bentuknya (format) yang lebih
bebas dari corak spekulasi filsafati dan otonom. Aliran-aliran tersebut antara
laian: positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme, neokantianisme,
neo-tomisme dan fenomenologi.
Tokohnya adalah Augusta Comte dengan aliran
Positivisme. Aliran ini sebagai antitesis Filsafat Yunani yaitu mengembangkan
keilmuan yang telah ada sebelumnya. Penjelasan Comte tentang filosofi yang
positif memperkenalkan hubungan yang penting antara teori, praktik dan
pemahaman manusia dunia. Comte merumuskan Hukum Tiga Fase, yaitu : Teologi,
Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut "tahap
ilmiah").
Fase Teologi dilihat dari
prespektif abad ke-19 sebagai permulaan abad pencerahan, dimana kedudukan
seorang manusia dalam masyarakat dan pembatasan norma dan nilai manusia
didapatkan didasari pada perintah Tuhan. Meskipun memiliki sebutan yang sama,
fase Metafisika Comte sangat berbeda dengan teori Metafisika yang dikemukakan
oleh Aristoteles atau ilmuwan Yunani kuno lainnya; pemikiran Comte berakar pada
permasalahan masyarakat
Perancis pasca Revolusi Perancis. Fase Metafisika ini merupakan
justifikasi dari "hak universal" sebagai hak pada suatu wahana yang
lebih tinggi dibanding otoritas tentang segala penguasa manusia untuk
membatalkan perintah lalu hak/ kebenaran tidaklah disesuaikan kepada yang suci
di luar semata-mata kiasan. Apa yang ia mengumumkan dengan istilah nya. Tahap
yang ilmiah, Comte mengembangkan ilmu sosiologi (pasca revolusi perancis).
Sumber :
- Acton,
HB., Kant’s
Moral Philosophy, London, MacMillan, 1970
- Bertens,
K., Ringkasan
Sejarah filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1998/v
- Copleston,
Frederick, A
History of Philosophy, Vol. VI, London, Search Press, 1960
- Mudyahardjo,
Drs.Redja. 2002. Filsafat Ilmu Pendidikan
(Suatu Pengantar). Bandung : Remaja Rosdakarya
- Setiawan, Budi, Sejarah Perkembangan Pemikiran Filsafat.
Yandri Soeyono
3:12 PM
IndonesiaSejarah Filsafat
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
3:12 PM