Home » Archives for October 2012
HOTS
Higher Order Thinking
Skills
Kemampuan Berpikir
Tingkat Tinggi
Berpikir merupakan suatu upaya kompleks dan
reflektif dan juga pengalaman kreatif. Berpikir merupakan faktor penting dalam proses
pembelajaran siswa. Kemampuan
berpikir ini dimungkinkan untuk berkembang karena manusia memiliki rasa ingin
tahu yang selalu terus berkembang. Ini memiliki arti bahwa keterampilan berpikir setiap orang akan selalu
berkembang dan dapat dipelajari. Sehingga salah satu kecakapan hidup (life skill)
yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan adalah keterampilan berpikir.
Berpikir, menurut Taylor,
merupakan proses penarikan kesimpulan. Menurut Edward de Bono, berpikir
merupakan suatu proses kompleks kompleks
yang berlaku dalam pikiran seseorang apabila orang itu menceritakan
pengalamannya secara terperinci untuk mencapai sesuatu tujuan. Menurut
Ruch, berpikir itu sendiri
merupakan manipulasi atau organisasi unsur lingkungan dengan menggunakan
lambang sehingga tidak perlu langsung melakukan kegiatan yang tampak. Berpikir
merujuk pada pelbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan lambang dan konsep,
sebagai pengganti objek dan peristiwa.
Secara umum, terdapat empat
tingkat berpikir, yaitu :
- Recall Thinking (menghafal), merupakan tingkat berpikir paling rendah yang terdiri atas keterampilan hampir otomatis atau refleksif.
- Basic thinking (dasar), merupakan keterampilan dasar yang meliputi memahami konsep-konsep seperti penjumlahan, perkalian, dan sebagainya termasuk aplikasinya dalam soal-soal.
- Critical thinking (berpikir kritis), merupakan berpikir yang memeriksa, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek.
- Creatif thinking (berpikir kreatif), merupakan kegiatan menyatukan ide, mencipta ide baru, dan mampu menentukan keefektifannya.
Terdapat perbedaan proses
pembelajaran sebelum abad 21 dan setelahnya. Berikut ini adalah beberapa
perbedaan yang menonjol dari 2 kondisi tersebut :
Sebelum abad 21
|
Tuntutan pembelajaran setelah abad 21
|
·
Berpusat pada guru
·
Pembelajaran langsung
·
Menekankan Pengetahuan
·
Berorientasi pada Isi/materi
·
Berkaitan dengan Ketrampilan dasar
·
Penekanan pada Teori
·
Akademik
·
Individual
·
Berlangsung di Ruang kelas
·
Penilaian sumatif
·
Belajar demi sekolah
|
·
Berpusat pada siswa
·
Pembelajaran kolaboratif
·
Menekankan ketrampilan
·
Berorientasi pada proses
·
Berpikir tingkat tinggi
·
Menekankan Praktik
·
Life Skills
·
Kelompok
·
Berlangsung dalam komunitas
·
Penilaian formatif
·
Belajar demi hidup
|
Tingkat
kemampuan berpikir menurut Bloom (Anderson dan Krat-hohl, 2001) dengan
mengelompokkan proses yang digunakan siswa untuk memperoleh pengetahuan terdiri
atas dimensi pengetahuan dan proses. Dimensi pengetahuan mencakup pengetahuan
faktual, konseptual, prosedural, dan pengetahuan metakognitif. Proses terdiri
atas kategori mengingat, memahami, aplikasikan, analisis, evaluasi, dan
menciptakan.
Dari keenam proses kognitif menurut
Bloom yang terkenal dengan nama Bloom’s Taxonomy, Analisis, evaluasi dan
menciptakan merupakan tingkat berpikir yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tiga proses lainnya. Kemampuan berikir
tingkat tinggi (higher order thinking skills) termasuk di dalamnya berpikir
kritis, logis, kreatif, reflektif, dan metakognitif (FJ King, Ludwika, Faranak
Rohani).
Berpikir kritis, menurut Ennis, adalah berpikir secara beralasan dan
reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus
dipercayai atau dilakukan.
Menurut
Paul dan Elder (2006), berpikir kritis menunjukkan beberapa karakter :
- Skeptis (skeptycal)
- Aktif, tidak pasif. Selalu bertanya dan menganalisis. Dan mampu mengkomunikasikan argumen.
- Tidak egois, terbuka terhadap ide dan hal-hal baru dan memiliki keinginan untuk saling adu argumen.
Menurut Coleman &
Hammen (1974) berpikir kreatif merupakan cara berpikir yang menghasilkan
sesuatu yang baru dalam bentuk konsep, penemuan maupun karya seni. Salah satu
cara untuk mengembangkan dan menguatkan kemampuan kita untuk berpikir kreatif
adalah percaya bahwa sesuatu itu dapat dilakukan. Sehingga akan muncul adanya
suatu dorongan untuk menggerakkan pikiran untuk mencari dan melaksanakan
sesuatu yang diinginkan.
Menurut de Bono dan Perkins, ciri-ciri orang yang berpikir kreatif antara
lain memiliki ide atau gagasan-gagasan baru, berani tampil beda atau melawan
arus, memunculkan pemikiran yang tidak atau belum popular, optimistik, tidak takut mencoba, tidak takut gagal,
berani menanggung resiko
Kemampuan berpikir untuk menilai kemampuan sendiri disebut dengan
metakognisi. Metakognisi meliputi kesadaran proses berpikir seseorang,
self-monitoring, dan penerapan pengetahuan dan langkah-langkah untuk berpikir.
Bagaimana mengembangkan HOTS? Dalam presentasinya, Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Pertama memberikan beberapa strategi pembelajaran untuk
meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, yaitu:
- Membuat peta konseP
- Mengajukan pertanyaan
- Menyusun buku harian/jurnal pembelajaran
- Pembelajaran kolaboratif berbasis TI
- Menggunakan analogi
- Eksperimen berbasis inkuiri
- Metode proyek
- Latihan –latihan membuat keputusan
- Pemecahan masalah
Sebagai contoh, akan dicoba membahas salah satu Standar Kompetensi pada
kelas X, yaitu memecahkan masalah yang berkaitan dengan bentuk pangkat, akar,
dan logaritma. Sesuai dengan Bloom’s Taxonomy, maka kegiatan mengingat dapat berupa mengingat kembali
beberapa konsep dasar tentang perkalian. Misal 2 x 2 x 2 = 8.
Pada ranah
kognitif selanjutnya, yaitu memahami,
dapat memberikan konsep kepada siswa tentang konsep perkalian. Misal adalah
bentuk pangkat berbentuk ab=c. Dalam bentuk bilangan seperti 23=8.
Dan juga implikasi yang ditimbulkan yang menjadi sifat-sifat dari operasi
bilangan berpangkat. Selanjutnya pada ranah kognitif menerapkan. Dengan memberi soal yang kontekstual dan diselesaikan
menggunakan pengetahuan yang sudah didapatkan. Misal aplikasinya dalam bidang
biologi, Jika amuba dapat membelah diri menjadi 2 dalam 15 menit, terdapat
berapa amuba saat 1 jam kedepan?
Selanjutnya, yang termasuk dalam HOTS berdasarkan Bloom’s Taxonomy, yaitu
menganalisis, mengevaluasi dan membuat. Contoh untuk ranah menganalisis, dengan
memberikan pertanyaan seperti bagaimana jika amuba dapat membelah diri
menjadi 3 dalam waktu 15 menit, terdapat berapa amubakah saat 1 jam berikutnya?
Hal ini telah merangsang siswa untuk berpikir lebih dalam, menganalisis dengan
menggunakan pengetahuan sebelumnya. Biarkan mereka mencari dengan caranya
sendiri, dan tentunya mereka dapat membandingkan dengan soal sebelumnya.
Pertanyaan ini telah melatih siswa untuk berpikir kritis.
Kita misalkan dalam sebuah bisnis MLM, diperkirakan dalam waktu satu
bulan, si A dapat menemukan 3 anggota baru. Apakah benar dalam waktu 1 tahun si
A bisa memperoleh anggota sebanyak 100 orang? Siswa dapat membandingkan soal ini dengan soal sebelumnya dan dengan
menjawab pertanyaan ini, siswa telah diajak untuk mengevaluasi suatu masalah.
Apakah pernyataan di atas benar atau salah? Dan mengapa benar jika mereka
menjawab benar atau mengapa salah jika mereka menjawab salah, juga merupakan
pertanyaan lanjutan yang mengajak siswa berpikir kritis dan kreatif. Dan ini juga
merupakan solusi untuk melatih siswa untuk memecahkan masalah berdasarkan
hal-hal yang kontekstual.
Berpikir tingkat tinggi dimulai dengan bertanya. Maka siswa harus dibiasakan
untuk memiliki kemampuan bertanya, dan paham dengan masalah yang ada.
Referensi
-
Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, Higher Order Thinking Skills.ppt, 2011
-
King,
FJ., Gudson, Ludwika., Rohani, Faranak. Higher Order Thinking Skills,
Assessment and Evaluation Educational Service Program.
Yandri Soeyono
4:09 PM
Indonesia
Suatu malam aku duduk sambil mendengar ikhlas, komitmen dan nilai berbicara..
ikhlas:
hei komitmen dan nilai... apakah kalian memiliki kegundahan hati dan pikiran selayakku??
komitmen: aku tidak punya kegundahan hati selayaknya dirimu..
nilai : aku pun tidak memilikinya..
komitmen dan nilai :
mengapa bisa engkau memiliki kegundahan hati seperti itu?? bukankah kita adalah sama?
ikhlas :
entahlah,, tapi selama ini, kegalauan ini terus men-colekku
aku pun tahu kita adalah satu dan sama.. tapi mengapa hanya aku yang mengalami kegalauan ini?
aku tahu aku pun memiliki dirimu, wahai komitmen..
dan aku tetap setia dengan dirimu, wahai komitmen..
aku juga tahu nilai dari komitmen ini..
dan aku juga setia dengan dirimu, wahai nilaiku..
tapi aku galau atas diriku sendiri..
ilmu baru ini memberikanku elegi, yang entah kapan aku bisa mendapatkan jawaban pasti dan sesuai dengan harapanku..
bagaimana aku harus mengejar ketidakpastian terhadap pertanyaan-pertanyaanku??
bagaimana menjawa semua elegi-elegiku??
hingga aku berpikir, ingin kulepaskan diriku dari semua pertanyaanku..
ingin kulepas diriku dari semua elegiku..
ingin kulepas hingga aku hanya akan ikhlas menjalaninya saja..
tapi ternyata,, untuk melepaskan diriku dari semua pertanyaan pun merupakan ketidakpastian buatku..
melepaskan diriku dari semua elegiku pun tak semudah yang aku harapkan..
bahkan kembali menimbulkan elegi-elegi itu lagi.. pertanyaan-pertanyaan itu lagi..
sejenak aku terhenyak dan sadar seketika setelah mendengar perbincangan mereka
sadarlah aku,, ternyata aku masih hidup
ternyata pertanyaan-pertanyaan itu merupakan seluas-luasnya pikiranku
sedalam-dalamnya niatku
dan setinggi-tingginya keyakinanku..
dan elegi itu, akan selalu berada di depanku untuk membantu mencari ilmu baru yang bermanfaat dunia dan akhirat..
sekian perincangan malam ini..
Yandri Soeyono
8:22 AM
IndonesiaElegi Melepas Elegi
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
8:22 AM
SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT
- FILSAFAT YUNANI KUNO
Secara historis kelahiran dan perkembangan
pemikiran Yunani Kuno(sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat.
Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni
tradisi: (1) Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini), (2) Sejarah
Filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini), dan (3) Sejarah Filsafat Barat
(sekitar 600 SM – dewasa ini). Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas,
tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah basis kelahiran dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain)
sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Pada tradisi Sejarah Filsafat Barat
semenjak periodesasi awalnya (Yunani Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para
pemikir pada masa itu sudah mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché)
yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché,
sedangkan Anaximander (sekitar 610 -540 SM) berpendapat arché adalah
sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat
“udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama penting lain pada
periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) dan Parmenides (515 – 440 SM),
Herakleitos mengemukakan bahwa segala sesuatu itu “mengalir” (“panta rhei”) bahwa
segala sesuatu itu berubah terus-menerus berubah sedangkan Parmenides
menyatakan bahwa segala sesuatu itu justru sebagai sesuatu yang tetap (tidak
berubah).
Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM)
berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur
dasar kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”, dan Pythagoraslah orang
pertama yang menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”, yakni
seseorang yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapai kebenaran melalui berpikir/bermenung
secara kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus.
1. Parmenides, berpendapat bahwa segala sesuatu
“yang ada” tidak berubah. Parmenides tidak mendefinisikan apa yang dimaksud
“yang ada” namun menyebutkan sifat-sifatnya. Menurutnya, “yang ada” itu
bersifat meliputi segala sesuatu, tidak bergerak, tidak berubah, dan tidak
terhancurkan. Selain itu, “yang ada” itu juga tidak tergoyahkan dan tidak dapat
disangkal. Menurut Parmenides, “yang ada” adalah kebenaran yang tidak mungkin
disangkal. Bila ada yang menyangkalnya, maka ia akan jatuh pada kontradiksi.
Hal itu dapat dijelaskan melalui pengandaian yang diberikan oleh Parmenides,
yaitu :
ü
Pertama,
orang dapat mengatakan bahwa "yang ada" itu tidak ada.
ü
Kedua,
orang dapat mengatakan bahwa "yang ada" dan "yang tidak
ada" itu bersama-sama ada.
Kedua pengandaian
ini mustahil. Pengandaian pertama mustahil, sebab "yang tidak
ada" tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibicarakan. "Yang
tidak ada" tidak dapat dipikirkan dan dibicarakan. Pengandaian
kedua merupakan pandangan dari Herakleitos. Pengandaian ini juga mustahil,
sebab pengandaian kedua menerima pengandaian pertama, bahwa "yang tidak
ada" itu ada, padahal pengandaian pertama terbukti mustahil. Dengan
demikian, kesimpulannya adalah "Yang tidak ada" itu tidak ada,
sehingga hanya "yang ada" yang dapat dikatakan ada.
Untuk lebih
memahami pemikiran Parmenides, dapat digunakan contoh berikut ini. Misalnya
saja, seseorang menyatakan “Tuhan itu tidak ada !!”, di sini, Tuhan yang
eksistensinya ditolak orang itu sebenarnya ada, maksudnya harus diterima
sebagai dia "Yang Ada". Hal ini disebabkan bila orang itu
mengatakan "Tuhan itu tidak ada", maka orang itu sudah terlebih dulu
memikirkan suatu konsep tentang Tuhan. Barulah setelah itu, konsep
Tuhan yang dipikirkan orang itu disanggah olehnya sendiri dengan menyatakan
"Tuhan itu tidak ada". Dengan demikian, Tuhan sebagai yang
dipikirkan oleh orang itu "ada" walaupun hanya di dalam pikirannya
sendiri. Sedangkan penolakan terhadap sesuatu, pastilah mengandaikan
bahwa sesuatu itu "ada" sehingga "yang tidak ada" itu
tidaklah mungkin. Oleh karena "yang ada" itu selalu dapat
dikatakan dan dipikirkan, sebenarnya Parmenides menyamakan antara "yang
ada" dengan pemikiran atau akal budi.
Setelah
berargumentasi mengenai "yang ada" sebagai kebenaran, Parmenides juga
menyatakan konsekuensi-konsekuensinya sebagai berikut :
1)
Pertama-tama,
"yang ada" adalah satu dan tak terbagi, sedangkan pluralitas tidak
mungkin. Hal ini dikarenakan tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan “yang
ada”.
2)
Kedua,
"yang ada" tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan. Dengan kata
lain, "yang ada" bersifat kekal dan tak terubahkan. Hal itu merupakan
konsekuensi logis, sebab bila "yang ada" dapat berubah, maka
"yang ada" dapat menjadi tidak ada atau "yang tidak ada"
dapat menjadi ada.
3)
Ketiga, harus
dikatakan pula bahwa "yang ada" itu sempurna, seperti sebuah bola
yang jaraknya dari pusat ke permukaan semuanya sama. Menurut Parmenides,
"yang ada" itu bulat sehingga mengisi semua tempat.
4)
Keempat,
karena "yang ada" mengisi semua tempat, maka disimpulkan bahwa tidak
ada ruang kosong. Jika ada ruang kosong, artinya menerima bahwa di luar
"yang ada" masih ada sesuatu yang lain. Konsekuensi lainnya adalah gerak
menjadi tidak mungkin sebab bila benda bergerak, sebab bila benda bergerak
artinya benda menduduki tempat yang tadinya kosong.
2.
Pemikiran Herakleitos yang paling terkenal adalah
mengenai perubahan-perubahan di alam semesta. Menurut Herakleitos, tidak ada
satu pun hal di alam semesta yang bersifat tetap atau permanen. Tidak ada
sesuatu yang betul-betul ada, semuanya berada di dalam proses menjadi.
Ia terkenal dengan ucapannya panta rhei kai uden menei yang berarti,
"semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap".
Pendapat Heraklietos ini bertentangan dengan Parmenides karena perubahan yang
tidak ada henti-hentinya itu dibayangkan Herakleitos dengan dua cara :
ü Pertama, seluruh kenyataan adalah seperti
aliran sungai yang mengalir. "Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai
yang sama," demikian kata Herakleitos. Maksudnya di sini, air sungai
selalu bergerak sehingga tidak pernah seseorang turun di air sungai yang sama
dengan yang sebelumnya.
ü Kedua, ia menggambarkan seluruh kenyataan
dengan api. Maksud api di sini lain dengan konsep mazhab Miletos yang
menjadikan air atau udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Bagi
Herakleitos, api bukanlah zat yang dapat menerangkan perubahan-perubahan segala
sesuatu, melainkan melambangkan gerak perubahan itu sendiri. Api senantiasa
mengubah apa saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api
yang sama karena itu, api cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan.
Heraklietos juga
penganut Metafisika, yaitu cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di
dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:
Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? dan
lain sebagainya. Cabang utama metafisika adalah Ontologi
yaitu ilmu yang mempelajari tentang hakekat benda-benda di alam dan hubungan
antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas
pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan
sebab akibat, dan kemungkinan.
Zaman keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada masa
Sokrates (± 470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM).
Sokrates sebagai guru dari Plato maupun tidak meninggalkan karya tulis satupun
dari hasil pemikirannya, tetapi pemikiran-pemikirannya secara tidak langsung
banyak dikemukakan dalam tulisan-tulisan para pemikir Yunani lainnya tetapi
terutama ditemukan dalam karya muridnya Plato.
3.
Plato, mendukung ajaran Parmenides, yaitu
menganggap bahwa segala sesuatu itu TETAP. Namun, ia juga memiliki paham Idealisme yaitu paham filsafat yang
memandang mental dan ideal sebagai kunci ke hakikat realitas. Dalam hal
ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau bayang-bayang/bayangan
dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka
dan oleh karena itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri. Dunia “ide” itulah
yang tetap tidak berubah/abadi sedangkan kenyataan yang dapat diobservasi
sebagai sesuatu yang senantiasa berubah. Karya-Karya lainnya dari Plato sangat
dalam dan luas meliputi logika, epistemologi, antropologi (metafisika),
teologi, etika, estetika, politik, ontologi dan filsafat alam.
Paham idealisme
lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan
fisik. Ajaran Plato mengenai ide ada 2, yaitu :
1) Dunia ide-ide yang hanya terbuka bagi
rasio kita (Dunia Rasional/Dunia Rohani)
2) Dunia jasmani yang hanya terbuka bagi
panca indera kita (dunia indrawi)
Dalam dunia
rasional, tidak ada perubahan dan kenisbian. Perubahan dan kenisbian hanya ada
dalam dunia indrawi yang memang memperlihatkan ketidakmantapan tanpa henti.
Misalnya, Singa A atau Singa B itu pasti akan mati. Namun, pada umumnya, yakni
ide singa itu akan tetap ada. Begitu pula gambar segitiga di papan tulis,
meskipun gambar segitiga di papan tulis tersebut dapat dihapus tapi ide
segitiga itu sama sekali tidak akan terhapus dalam pikiran (ide itu abadi
selamanya).
4.
Sedangkan Aristoteles
sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju/berlawanan dengan apa yang diperoleh
dari gurunya (Plato). Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia
“abadi” sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada
kenyataan/benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak
dapat dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”).
Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa “ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan
tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk. Dengan
demikian maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan
kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari materi.
Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi logika, etika, politik, metafisika,
psikologi dan ilmu alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak
menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan
Aristoteles memiliki paham Realis yaitu paham bahwa hakekat suatu
benda itu bukan terletak pada ide/pikiran melainkan pada obyek nyata benda itu
sendiri (pendapat ini sangat berlawanan
dengan Plato). Contoh dari paham Aristoteles : sebelum menjadi sebuah patung
kuda kayu, tentu ada tahapan-tahapan yang mendahuluinya, misalnya sebuah pohon
menghasilkan sepotong kayu utuh lalu kepala kuda diukir pada kayu itu. Setelah
itu, badan kuda juga harus dibuat dan seterusnya sampai pada akhirnya seluruh
patung itu berbentuk penuh seekor kuda. Ajaran Aristoteles juga telah mengarah
pada pengakuan adanya TUHAN. Menurut Aristoteles, suatu gerakan atau proses
perkembangan dalam jagad raya tidak mempunyai awal dan akhir dalam waktu maka
alam semesta abadi sifatnya. Namun, karena sesuatu yang bergerak itu digerakkan
oleh penggerak yang lain, perlu diterima satu Penggerak Pertama yang tidak
digerakkan oleh Penggerak lain, yaitu TUHAN. Selain Metafisika sebagai aliran
dari Aristoteles, Aristoteles juga membagi cabang ilmu menjadi 3 bagian, yaitu
:
a)
Ilmu
Pengetahuan Praktis (Etika dan Ilmu Politik)
b)
Ilmu
Pengetahuan Produktif menyangkut pengetahuan yang sanggup menghasilkan suatu
karya/produk jadi (ilmu teknik, kesenian)
c)
Ilmu
Pengetahuan Teoritis (Fisika, Matematika, dan Metafisika (yang telah disebutkan
di atas)
Namun, di luar ketiga pengetahuan di
atas, masih ada Logika (Penalaran Tepat). Ajaran Logika Aristoteles yang sampai
sekarang masih digunakan adalah ajaran mengenai Induksi, Deduksi, dan
Silogisme. Induksi adalah metode pemikiran yang menghasilkan pengetahuan
tentang yang umum dengan bertolak dari hal-hal khusus, sedangkan Deduksi adalah
sebaliknya yakni metode pemikiran yang khusus dengan bertitik tolak dari hal
umum, Salah satu contoh dari Metode Deduksi adalah Silogisme, yakni pengambilan
kesimpulan berdasarkan dua pernyataan yang telah diberitahukan sebelumnya.
Misalnya :
Premis Mayor : Semua manusia akan mati
Premis Minor : Budi adalah seorang manusia
Kesimpulan : Maka Budi
akan mati
Aristoteles dikenal sebagai Bapak Ilmu
Pengetahuan karena merupakan Filsuf pertama yang mengajarkan tentang
rasionalitas ilmu pengetahuan dan dasar-dasar pemikirannya hingga saat ini
masih terus digunakan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
- Jaman Patristik dan Skolastik: Filsafat Dalam dan Untuk Agama
Pada jaman ini dikenal sebagai Abad
Pertengahan (400-1500 ). Filsafat pada abad ini dikuasai dengan pemikiran
keagamaan (Kristiani). Puncak filsafat Kristiani ini adalah Patristik (Lt. “Patres”/Bapa-bapa
Gereja) dan Skolastik Patristik sendiri dibagi atas Patristik Yunani (atau
Patristik Timur) dan Patristik Latin (atau Patristik Barat). Tokoh-tokoh
Patristik Yunani ini anatara lain Clemens dari Alexandria (150-215), Origenes
(185-254), Gregorius dari Naziane (330-390), Basilius (330-379). Tokoh-tokoh
dari Patristik Latin antara lain Hilarius (315-367), Ambrosius (339-397),
Hieronymus (347-420) dan Augustinus (354-430). Ajaran-ajaran dari para Bapa
Gereja ini adalah falsafi-teologis, yang pada intinya ajaran ini ingin
memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari
manusia. Ajaran-ajaran ini banyak pengaruh dari Plotinos. Pada masa ini dapat
dikatakan era filsafat yang berlandaskan akal-budi “diabdikan” untuk dogma
agama.
Jaman Skolastik (sekitar tahun 1000),
pengaruh Plotinus diambil alih oleh Aristoteles. Pemikiran-pemikiran
Ariestoteles kembali dikenal dalam karya beberapa filsuf Yahudi maupun Islam,
terutama melalui Avicena (Ibn. Sina,
980-1037), Averroes (Ibn. Rushd, 1126-1198) dan Maimonides (1135-1204).
Pengaruh Aristoteles demikian besar sehingga ia (Aristoteles) disebut sebagai
“Sang Filsuf” sedangkan Averroes yang banyak membahas karya Aristoteles
dijuluki sebagai “Sang Komentator”. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman
Kristiani menghasilkan filsuf penting sebagian besar dari ordo baru yang lahir
pada masa Abad Pertengahan, yaitu, dari ordo Dominikan dan Fransiskan..
Filsafatnya disebut “Skolastik” (Lt. “scholasticus”, “guru”), karena
pada periode ini filsafat diajarkan dalam sekolahsekolah biara dan
universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang baku dan bersifat
internasional. Inti ajaran ini bertema pokok bahwa ada hubungan antara iman dengan
akal budi. Pada masa ini filsafat mulai ambil jarak dengan agama, dengan melihat
sebagai suatu kesetaraan antara satu dengan yang lain (Agama dengan Filsafat)
bukan yang satu “mengabdi” terhadap yang lain atau sebaliknya.
Sampai dengan di penghujung Abad
Pertengahan sebagai abad yang kurang kondusif terhadap perkembangan ilmu,
dapatlah diingat dengan nasib seorang astronom berkebangsaan Polandia N. Copernicus
yang dihukum kurungan seumur hidup oleh otoritas Gereja, ketika mengemukakan
temuannya tentang pusat peredaran benda-benda angkasa adalah matahari (Heleosentrisme).
Teori ini dianggap oleh otoritas Gereja sebagai bertentangan dengan teori geosentrisme
(Bumi sebagai pusat peredaran benda-benda angkasa) yang dikemukakan oleh
Ptolomeus semenjak jaman Yunani yang justru telah mendapat “mandat” dari
otoritas Gereja. Oleh karena itu dianggap menjatuhkan kewibawaan Gereja.
- Jaman Modern: Lahir dan Berkembangan Tradisi Ilmu Pengetahuan
Setelah Renesanse mulailah jaman Barok,
pada jaman ini tradisi rasionalisme ditumbuh-kembangkan oleh filsuf-filsuf
antara lain; R. Descartes (1596-1650), B. Spinoza (1632-1677) dan G. Leibniz
(1646-1710). Para Filsuf tersebut di atas menekankan pentingnya
kemungkinan-kemungkinan akal-budi (“ratio”) didalam mengembangkan pengetahuan
manusia.
1. R.
Descartes, pahamnya yang
terkenal adalah Analytic Apriori
dengan unsur dasarnya Konsisten dan
dasar hukumnya adalah Identitas. Karya
filsafat Descrates dapat dipahami dalam bingkai konteks pemikiran pada masanya,
yakni adanya pertentangan antara Scholasticism
dengan keilmuan baru Galilean - Copernican. Atas dasar tersebut ia dengan misi
filsafatnya berusaha mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat diragukan.
Metodenya ialah dengan meragukan semua pengetahuan yang ada, yang kemudian
mengantarkannya pada kesimpulan bahwa pengetahuan yang ia kategorikan ke dalam
tiga bagian dapat diragukan, yaitu :
a. Pengetahuan yang berasal dari pengalaman
inderawi dapat diragukan, semisal kita memasukan kayu lurus kedalam air maka
akan nampak bengkok
b. Fakta umum tentang dunia semisal api itu
panas dan benda yang berat akan jatuh juga dapat diragukan. Descrates
menyatakan bagaimana jika kita mengalami mimpi yang sama berkali-kali dan dari
situ kita mendapatkan pengetahuan umum tersebut
c. Logika dan Matematika, prinsip-prinsip
logika dan matematika juga ia ragukan. Ia menyatakan bagaimana jika ada suatu
mahluk yang berkuasa memasukan ilusi dalam pikiran kita, dengan kata lain kita
berada dalam suatu matrix.
Dari keraguan tersebut, Descrates hendak
mencari pengetahuan apa yang tidak dapat diragukan. Yang akhirnya mengantarkan
pada premisnya Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada). Baginya
eksistensi pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut dan tidak dapat
diragukan. Sebab meskipun pemikirannya tentang sesuatu salah, pikirannya
tertipu oleh suatu matriks, ia ragu akan segalanya, tidak dapat diragukan lagi
bahwa pikiran itu sendiri eksis/ada. Pikiran sendiri bagi Descrates ialah suatu
benda berpikir yang bersifat mental ( res cogitans ) bukan bersifat
fisik atau material. Dari prinsip awal bahwa pikiran itu eksis descrates
melanjutkan filsafatnya untuk membuktikan bahwa Tuhan dan benda-benda itu ada.
Berangkat dari pembuktiannya bahwa pikiran
itu eksis, filsafatnya membuktikan bahwa Tuhan ada dan kemudian membuktikan
bahwa benda material ada. Descrates mendasarkan akan adanya Tuhan pada prinsip
bahwa sebab harus lebih besar, sempurna, baik dari akibat. Dalam pikiran
Descrates ia memiliki suatu gagasan tentang Tuhan adalah suatu mahluk sempurna
yang tak terhingga. Gagasan tersebut tidak mungkin muncul/disebabkan oleh
pengalaman dan pikiran diri sendiri, karena kedua hal tersebut merupakan
sesuatu yang tidak sempurna dan dapat diragukan sehingga tidak memenuhi prinsip
sebab lebih sempurna dari akibat. Gagasan tentang Tuhan yang ada dalam kepala
(sebagai akibat) hanya bisa disebabkan oleh sebuah mahluk sempurna yang
menaruhnya dalam pikiran saya, yakni Tuhan.
Setelah membuktikan adanya Tuhan,
Descrates membuktikan bahwa benda material itu eksis. Ia menyatakan bahwa Tuhan
menciptakan manusia dengan ketidakmampuan untuk membuktikan bahwa benda
material itu sejatinya tidak ada. Bahkan Tuhan menciptakan manusia untuk
memiliki kecenderungan pemahaman bahwa benda material itu eksis. Apabila
pemahaman benda material eksis hanya merupakan sebuah matriks kompleks yang menipu
pikiran manusia, itu berarti Tuhan adalah penipu, dan bagi Descrates penipu
ialah ketidaksempurnaan. Padahal Tuhan ialah mahluk yang sempurna, oleh karena
itu Tuhan tidak mungkin menipu, sehingga benda material itu pastilah ada.
Pada abad kedelapan belas mulai memasuki
perkembangan baru. Setelah reformasi, renesanse dan setelah rasionalisme jaman
Barok, pemikiran manusia mulai dianggap telah “dewasa”. Periode sejarah
perkembangan pemikiran filsafat disebut sebagai “Jaman Pencerahan” atau “Fajar
Budi” (Ing. “Enlightenment”, Jrm. “Aufklärung”. Filsuf-filsuf
pada jaman ini disebut sebagai para “empirikus”, yang ajarannya lebih
menekankan bahwa suatu pengetahuan adalah mungkin karena adanya pengalaman
indrawi manusia (Lt. “empeira”, “pengalaman”). Para empirikus besar
Inggris antara lain J. Locke (1632-1704), G. Berkeley (1684-1753) dan D. Hume
(1711-1776). Di Perancis JJ. Rousseau (1712-1778) dan di Jerman Immanuel Kant
(1724-1804).
2. Inti ajaran David Hume pada dasarnya sama dengan Aristoteles yaitu menekankan
pada Berpikir (ide). Akan tetapi, teori
Berpikir ala David Hume berdasarkan pada suatu pengalaman seseorang yang
disebut teori Empiricism dengan unsur
dasar Synthetic Aposteriori (bisa
berpikir kalau sudah melihat). Synthetic
Aposteriori berlawanan arah dengan Analytic
Apriori atau bisa dikatakan bahwa pendapat David Hume berlawanan dengan
Rene Descartes.
Aliran Empiris adalah aliran yang
berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan/parsial didasarkan kepada
pengalaman yang menggunakan indera. Secara terminologis, Empirisme adalah
doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman,
pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami, pengalaman indrawi adalah satu-satunya sumber
pengetahuan, dan bukan akal. Aliran ini memegang teguh prinsip bahwa
pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman, misalnya : “Mengapa kita
takut jika masuk ke dalam kandang Harimau?” karena Harimau adalah binatang buas
dan berbahaya (pengalaman menurut seseorang yang pernah diterkam Harimau atau
pengalaman seseorang yang pernah bertemu dengan Harimau).
David Hume juga sebagai penggagas
Ruang dan Waktu dalam Filsafat. Gagasan mengenai waktu berasal dari urutan
kesan terhadap suatu hal. Misalnya kita melihat buah mangga jatuh dari pohon
yang asalnya berada pada dahan, lalu buah itu jatuh di atas tanah. Pada saat
itu kita melihat ada urutan kesan waktu mengenai buah mangga (pada mulanya) dan
kemudian berada di atas tanah. Pada saat itulah gagasan mengenai waktu
terbentuk dalam imajinasi kita. Gagasan mengenai ruang berkaitan dengan luas
(ukuran). Ide ruang dihasilkan oleh indra penglihatan dan penyentuh. Ketika
kamu melihat mangga jatuh dibawah pohon sana, kesan kamu mengatakan bahwa
mangga itu benar-benar ada. Pada saat itulah imajinasi kita menemukan gagasan
mengenai ada di sana itulah ruang. Lewat dua pendapat di atas, Hume menentang
semua pikiran dan gagasan yang tidak dapat dilacak dengan persepsi indera.
Dari pertentangan antara paham Rene
Descartes dan David Hume yang terlihat dari filsafat aliran tetap dan aliran
berubah di atas, Immanuel Kant
mencoba untuk mensintesiskan keduanya sehingga membentuk suatu paham Synthetic Apriori yaitu Filsafat Lengkap
berdasarkan gabungan antara Synthetic
Aposteriori dengan Analytic Apriori. Inti
paham Immanuel Kant dikenal dengan Kritisisme
atau Filsafat Kritis, suatu nama
yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai
perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan
batas-batasnya. Kritisisme terdiri atas 3 bagian, yaitu :
1) Kritik atas Rasio Murni
Dalam kritik ini,
antara lain Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum,
mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan
adanya tiga macam putusan. Pertama,
putusan analitis a priori; di mana predikat tidak menambah sesuatu yang
baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda
menempati ruang). Kedua, putusan
sintesis aposteriori,
misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan
dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah mempunyai
pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui. Ketiga, putusan
sintesis a
priori: di sini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang
kendati bersifat sintetis, namun bersifat a priori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala
kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori),
namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “kejadian”
belum dengan sendirinya tersirat pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal
maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika, dan ilmu
pengetahuan alam disusun atas putusan sisntetis yang bersifat a priori
ini. Menurut Kant, putusan jenis ketiga
inilah syarat dasar bagi apa yang disebut pengetahuan (ilmiah) dipenuhi, yakni
bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru. Persoalannya adalah
bagaimana terjadinya pengetahuan yang demikian itu?. Menjawab pertanyaan ini
Kant menjelaskan bahwa pengetahuan itu merupakan sintesis dari unsur-unsur
yang ada sebelum pengalaman yakni unsur-unsur a priori dengan
unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yakni unsur-unsur aposteriori.
Proses sintesis itu, menurut Kant terjadi dalam tiga tingkatan pengetahuan
manusia yaitu pencerahan indrawi (sinneswahrnehmung), lalu tingkat akal budi (verstand),
dan tingkat tertinggi adalah tingkat rasio/intelek (Versnunft).
2) Kritik atas Rasio Praktis
Apabila kritik atas
rasio murni memberikan penjelasan tentang syarat-syarat umum dan
mutlak bagi pengetahuan manusia, maka dalam “kritik atas rasio praktis”
yang dipersoalkan adalah syarat-syarat umum dan mutlak bagi perbuatan
susila. Kant coba memperlihatkan bahwa syarat-syarat umum yang berupa bentuk (form)
perbuatan dalam kesadaran itu tampil dalam perintah (imperatif). Kesadaran
demikian ini disebut dengan “otonomi rasio praktis” (yang dilawankan dengan
heteronomi). Perintah tersebut dapat tampil dalam kesadaran dengan dua cara,
subyektif dan obyektif. Maxime (aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi
perbuatan orang perseorang (individu), sedangkan imperatif (perintah)
merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan
perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan
bersyarat (hepotetik) atau dapat juga tanpa syarat (kategorik). Imperatif
kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal.
Menurut Kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber pada kewajiban
dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat
(achtung). Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
3)
Kritik atas Daya Pertimbangan
Konsekuensi dari “kritik atas
rasio murni” dan “kritik atas rasio praktis” menimbulkan adanya dua kawasan
tersendiri, yaitu kawasan kaperluan mutlak di bidang alam dan kawasan kebebasan
di bidang tingkah laku manusia. Adanya dua kawasan itu, tidak berarti
bertentangan atau dalam tingkatan. Kritik atas Daya Pertimbangan (Kritik der
Urteilskraft), dimaksukkan oleh Kant, adalah mengerti persesuaian
kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas
(tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas
bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah
yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang
bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.
- Masa Kini
Pada abad ketujuh belas dan kedelapan
belas perkembangan pemikiran filsafat pengetahuan memperlihatkan aliran-aliran
besar: rasionalisme, empirisme dan idealisme dengan mempertahankan
wilayah-wilayah yang luas. Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh belas dan
abad kedelapan belas, filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh
banyak bermunculan aliran-aliran baru dalam filsafat tetapi wilayah pengaruhnya
lebih tertentu. Akan tetapi justru menemukan bentuknya (format) yang lebih
bebas dari corak spekulasi filsafati dan otonom. Aliran-aliran tersebut antara
laian: positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme, neokantianisme,
neo-tomisme dan fenomenologi.
Tokohnya adalah Augusta Comte dengan aliran
Positivisme. Aliran ini sebagai antitesis Filsafat Yunani yaitu mengembangkan
keilmuan yang telah ada sebelumnya. Penjelasan Comte tentang filosofi yang
positif memperkenalkan hubungan yang penting antara teori, praktik dan
pemahaman manusia dunia. Comte merumuskan Hukum Tiga Fase, yaitu : Teologi,
Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut "tahap
ilmiah").
Fase Teologi dilihat dari
prespektif abad ke-19 sebagai permulaan abad pencerahan, dimana kedudukan
seorang manusia dalam masyarakat dan pembatasan norma dan nilai manusia
didapatkan didasari pada perintah Tuhan. Meskipun memiliki sebutan yang sama,
fase Metafisika Comte sangat berbeda dengan teori Metafisika yang dikemukakan
oleh Aristoteles atau ilmuwan Yunani kuno lainnya; pemikiran Comte berakar pada
permasalahan masyarakat
Perancis pasca Revolusi Perancis. Fase Metafisika ini merupakan
justifikasi dari "hak universal" sebagai hak pada suatu wahana yang
lebih tinggi dibanding otoritas tentang segala penguasa manusia untuk
membatalkan perintah lalu hak/ kebenaran tidaklah disesuaikan kepada yang suci
di luar semata-mata kiasan. Apa yang ia mengumumkan dengan istilah nya. Tahap
yang ilmiah, Comte mengembangkan ilmu sosiologi (pasca revolusi perancis).
Sumber :
- Acton,
HB., Kant’s
Moral Philosophy, London, MacMillan, 1970
- Bertens,
K., Ringkasan
Sejarah filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1998/v
- Copleston,
Frederick, A
History of Philosophy, Vol. VI, London, Search Press, 1960
- Mudyahardjo,
Drs.Redja. 2002. Filsafat Ilmu Pendidikan
(Suatu Pengantar). Bandung : Remaja Rosdakarya
- Setiawan, Budi, Sejarah Perkembangan Pemikiran Filsafat.
Yandri Soeyono
3:12 PM
IndonesiaSejarah Filsafat
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
3:12 PM
Teori Jaringan
Sebuah
Pendekatan untuk Memanfaatkan Keragaman Pendekatan Teoritis
Sriraman, Bharath dan
English, Lyn, 2010, Theories of Mathematics Education, London : Springer Heidelberg
Dordrecht
Pendahuluan
Teori adalah bahan penting pada
setiap studi penelitian pendidikan matematika. Salah satu peran dari teori
adalah untuk memberikan kerangka kerja pada studi penelitianyang datanya
dapat diinterpretasikan dan argumen dari
data tersebut bisa menjadi kesimpulan. Tanpa kerangka teori, interpretasi data
menjadi sembarangan dan akan sulit untuk membuat argumen apalagi untuk diikuti.
Para peneliti dan kelompok
penelitian mengembangkan teori yang sesuai dengan tujuan mereka, ini tidak
hanya menyebabkan keragaman teori, tetapi juga keragaman dari landasan teori,
dan keragaman cara untuk membangun/mengemangkan teori. Sebagai akibatnya, sejumlah
besar teori dengan beragam karakteristik
yang ada dan sedang digunakan, yang lebih global seperti Teori Situasi Didaktik
(TDS; Brousseau,1997) dan lebih lokal yang seperti Abstraksi dalam Konteks
(Schwarz et al 2009);. Beberapa
dikembangkan dengan tujuan eksplisit menjadi dasar teori untuk domain pembelajaran dan mengajar matematika, seperti TDS, dan beberapa lainnya merupakan suatu filosofi pedidikan matematika, seperti Pendidikan Matematika Realistik (Gravemeijer 1994). Memang, tampak bahwa banyak peneliti cenderung memilih mengembangkan kerangka kerja mereka sendiri ketimbang membaca, belajar, memahami, mengadopsi, mengadaptasi dan menerapkan yang sudah ada yang dikembangkan oleh orang lain. Hal ini telah menyebabkan sejumlah teori (Lerman 2006), dan kita mungkin bertanya mengapa situasi ini terjadi dan bagaimana kemajemukan ini dapat berhasil melalui interaksi antara komponen yang berbeda.
dikembangkan dengan tujuan eksplisit menjadi dasar teori untuk domain pembelajaran dan mengajar matematika, seperti TDS, dan beberapa lainnya merupakan suatu filosofi pedidikan matematika, seperti Pendidikan Matematika Realistik (Gravemeijer 1994). Memang, tampak bahwa banyak peneliti cenderung memilih mengembangkan kerangka kerja mereka sendiri ketimbang membaca, belajar, memahami, mengadopsi, mengadaptasi dan menerapkan yang sudah ada yang dikembangkan oleh orang lain. Hal ini telah menyebabkan sejumlah teori (Lerman 2006), dan kita mungkin bertanya mengapa situasi ini terjadi dan bagaimana kemajemukan ini dapat berhasil melalui interaksi antara komponen yang berbeda.
Jaringan Teori-teori - Sebuah
Pendekatan untuk Memanfaatkan Keragaman Pendekatan Teoritis
Angelika Bikner-Ahsbahs
dan Susanne Prediger
Secara internasional, penelitian pendidikan matematika dibentuk oleh keragaman teori-teori.
Kontribusi ini menunjukkan suatu pendekatan untuk memanfaatkan keragaman
ini sebagai sumber untuk kekayaan yang kita sebut Jaringan
Teori. Untuk
dapat mencakup semua perbedaan yang ada, pendekatan ini didasarkan pada pemahaman yang toleran dan dinamis dari teori yang mengkonsepkan
teori-teori pada kerangka dan hasil dari penelitian.
Dengan artikel ini, kami ingin berkontribusi pada "Diskusi
tentang peran penting dari teori-teori untuk masa depan Pendidikan
Matematika" (ibid, hal 451).
Teori-teori dalam pendidikan matematika berevolusi secara independen di berbagai
daerah dunia dan keadaan budaya
yang berbeda, termasuk tradisi budaya dalam kelas
khusus, nilai-nilai yang ada, juga manajemen kelembagaan yang bervariasi. Ini merupakan sumber penting untuk eksistensi keragaman
pendekatan teoritis yang ada.
Alasan kedua untuk eksistensi dari teori-teori
yang berbeda itu dan juga pendekatan teoritisnya adalah kompleksitas dari topik
penelitian itu sendiri. Karena pendidikan dan pembelajaran matematika adalah
sebuah fenomena dalam kelas yang tidak dapat digambarkan, dipahami atau
dijelaskan oleh satu teori monolitik saja, berbagai teori diperlukan agar dapat
berbuat secara adil dalam menghadapi kompleksitas masalah di lapangan/kelas.
Dalam rangka untuk mendukung klaim
keragaman sebagai sumber daya untuk perkembangan ilmiah, artikel ini mencoba
untuk memperjelas pemahaman yang mendasari teori dan menawarkan beberapa
kategori bagaimana mereka dapat dibedakan. Posisi terhadap keanekaragaman kemudian
dijabarkan dalam bagian ‘Strategi untuk Menghubungkan Teori-Menggambarkan suatu
Persepektif ', sebagai dasar untuk membahas strategi yang berbeda untuk
menghubungkan perspektif, pendekatan dan teori.
Apa itu Teori, dan untuk Apa Dibutuhkan?
Apakah kita yakin bahwa kita
berbicara tentang hal yang sama ketika kita menggunakan istilah 'teori' atau 'pendekatan
Teoritis’? Tidak ada definisi unik bersama antara teori dan pendekatan teoritis
oleh para peneliti pendidikan matematika (lihat Assude et al 2008.). Keragaman
yang besar sudah dimulai dengan heterogennya kerangka teoritis atau teori oleh
peneliti yang berbeda dan tradisi ilmiah yang berbeda pula. Beberapa merujuk pada
paradigma-paradigma penelitian yg bersifat dasar (seperti pendekatan
interpretatif dalam interaksi sosial), beberapa membahas teori umum secara
menyeluruh (seperti teori pembelajaran) dan beberapa juga membahas cara atau
model yang bersifat lokal (misal siklus pemodelan). Perbedaan bukan hanya dari cara
untuk mengkonsep, bertanya dalam matematika, proses pembelajaran dan hasil pembelajaran
yang mereka dapatkan, tetapi juga lingkup dan latar belakang mereka.
Cara pandang Statik dan Dinamis pada Teori
Mason dan Waywood membedakan antara perbedaan
karakter dari teori:
-
teori foreground
adalah teori-teori lokal dalam pendidikan matematika, misal "tentang apa
yang dilakukan dan dapat terjadi di dalam dan di luar lembaga pendidikan”.
"(Mason dan Waywood 1996, h. 1056).
-
Sebaliknya,
teori background adalah (kebanyakan) teori yg membahas filosofi dari atau
tentang pendidikan matematika, misal "memainkan peran penting dalam pencerdasan
dan mendefinisikan apa jenis objek yang
akan dipelajari, dan memang, teori konstruksi akan banyak digunakan" (Mason
dan Waywood 1996, h. 1058). Teori background dapat terdiri dari bagian-bagian
implisit yang merujuk pada ide-ide tentang pengetahuan atau metodologi misalnya
ide-ide tentang sifat dan tujuan pendidikan, sifat-sifat matematika dan
pendidikan matematika.
Teori foreground dan background menawarkan
relatifitas, fleksibel, bukan perbedaan yang mutlak, mereka dapat membantu
untuk mengklasifikasikan pandangan yang berbeda tentang teori.
Keragaman karakteristik dari 'teori'
tidak hanya dapat dibedakan menurut fokus pada teori foreground atau background,
tetapi juga menurut pandangan umum tentang 'teori'. Untuk alasan analitis, dapat
dibedakan menjadi :
-
Cara pandang Statik, yang menganggap teori sebagai konstruksi manusia
untuk menampilkan, mengatur dan mengsistemasi hasil-hasil dari bagian kecil, yang
kemudian menjadi alat yang akan digunakan. Dalam hal ini teori ada untuk
menjadikan sesuatu lebih masuk akal dalam beberapa jenis dan cara.
-
Dan, cara pandang dinamis, yang menganggap
teori sebagai alat yang digunakan berakar pada beberapa jenis latar belakang
filosofis yang harus dikembangkan dengan berbagai cara yang cocok dalam rangka
untuk menjawab pertanyaan spesifik tentang objek. Dalam hal ini gagasan dari teori
tertanam pada pekerjaan dari peneliti. Hal ini belum siap untuk digunakan, teori
harus dikembangkan dalam rangka untuk menjawab pertanyaan yang diberikan. Dalam
konteks ini, istilah ‘Pendekatan teoritis' kadang digunakan sebagai 'teori'.
Fungsi Teori untuk Penelitian
Ketika Maier dan Beck menunjukkan
bahwa fungsi dari menggunakan teori adalah untuk menstrukturisasi persepsi dari
lingkup penelitian dengan cara dasar, mereka jg menemukan deskripsi dari Mason dan
Waywood tentang fungsi teori untuk praktek penelitian: "memahami peran teori
dalam program penelitian adalah memahami hal apa yang bisa dipertanyakan dan
apa yang merupakan jawaban untuk pertanyaan itu". (Mason dan Waywood 1996,
hal 1056).
Silver dan Herbst (2007) juga melakukan
pendekatan gagasan tentang teori dalam pendidikan matematika dalam cara yang
dinamis. Membandingkan teori yang berbeda, sehubungan dengan peran mereka sebagai
instrumen mediasi antara masalah, praktek dan penelitian, menunjukkan bahwa teori-teori
dalam pendidikan matematika sebagian besar dikembangkan untuk tujuan tertentu.
Misalnya,
·
teori-teori yang memediasi praktek pembelajaran dan penelitian dapat dipahami sebagai "bahasa deskripsi dari
suatu praktik pembelajaran" atau sebagai "sistem pembelajaran terbaik", ...(ibid., hal 56)
·
teori-teori yang memediasi masalah dan
penelitian dapat dipahami sebagai "solusi untuk sebuah problem” atau "alat atau media
yang membantu pembelajaran", ...(ibid.,
hal 56)
·
teori-teori yang menengahi penelitian dan masalah dapat dipahami sebagai "sarana untuk mengubah masalah sehari-hari menjadi masalah
yang dapat diteliti" atau sebagai "lensa
untuk menganalisis data dan hasil
penelitian suatu masalah ",. . . (ibid., hal 50)
Beberapa teori digunakan untuk menginvestigasi
fakta dan fenomena dalam pendidikan matematika; yang lain menyediakan alat
untuk desain, bahasa untuk mengamati, memahami, menggambarkan dan bahkan menjelaskan
atau memprediksi fenomena.
Ada 5 aspek teori yang membangun
sebuah penelitian yaitu : tujuan / sasaran, obyek, metode, situasi (4 aspek ini
oleh Mason dan Waywood (1996)), dan aspek pertanyaan yang relevan, karena kita
tahu dari penelitian pendidikan tinggi dan penelitian komparatif tentang budaya
ilmiah, pertanyaan-pertanyaan yang dianggap relevan membentuk bagian penting
dari budaya ilmiah dari setiap kelompok penelitian (lih. Arnold dan Fischer
2004).
Kelima aspek penelitian teori ini membimbing
dan membantu untuk menggambarkan lebih tepat bagaimana praktek penelitian,
teori latar belakang dan basis filosofisnya.
Keanekaragaman sebagai Tantangan,
Referensi, dan Titik Awal Pengembangan lebih lanjut
Setiap wacana
tentang keragaman teori dibentuk oleh pertanyaan, mengapa teori pasar sangat
beragam.
Salah satu
penjelasan yang masuk akal untuk keberadaan berbagai teori pembelajaran
matematika adalah divergen/bias, perspektif pengetahuan tentang apa yang
merupakan pengetahuan matematika. Penjelasan lain yang mungkin adalah bahwa
pendidikan matematika, tidak seperti ilmu murni dalam ilmu pengetahuan, pendidikan
matematika sangat dipengaruhi oleh kekuatan budaya, sosial, dan politik.
(Sriraman dan English, 2005, h. 452).
Keragaman
teori-teori dan pendekatan teoritis harus dianggap sebagai tantangan, dengan
alasan yang berbeda:
·
tantangan untuk
komunikasi: "Peneliti dari kerangka teoritis yang berbeda kadang-kadang mengalami kesulitan memahami satu sama lain secara mendalam karena latar belakang yang berbeda, bahasa dan asumsi implisit "(Arzarello et al 2008a.);
·
tantangan untuk kesatuan hasil empiris: "Peneliti dengan perspektif teoretis yang berbeda menganggap fenomena empiris dari perspektif yang berbeda dan, karenanya, menjadikan hasil yang berbeda
dalam studi
empiris
mereka. Bagaimana hasil dari studi yang berbeda diintegrasikan atau setidaknya dipahami dalam perbedaan mereka "(ibid.)?;
·
tantangan untuk
kemajuan ilmiah: "Mengembangkan kelas matematika sebagian bergantung pada kemungkinan kemajuan jangka panjang bersama dalam penelitian pendidikan matematika di mana studi dan konsepsi untuk sekolah membangun penelitian empiris. Tapi bagaimana melakukannya
ketika studi masing-masing menggunakan kerangka teoritis yang berbeda yang tidak dapat dihubungkan
kepada orang lain?
Kemajemukan hanya
dapat bermanfaat, ketika pendekatan dan tradisi yang berbeda saling berinteraksi.
Untuk memenuhi tantangan ini, keragaman teori dan pendekatan teoritis harus dimanfaatkan
secara aktif dengan menghubungkan atau
menggabungkan strategi. Menghubungkan teori-teori dan pendekatan teoritis dapat
menjadi titik awal untuk pengembangan lebih lanjut dapat dilakukan dengan 3
cara:
·
mengembangkan
studi empiris yang memungkinkan menghubungkan pendekatan teoritis dalam
rangka untuk memperoleh kekuatan penjelas, deskriptif;
·
mengembangkan teori menjadi kelompok teori yang lebih besar untuk mengurangi jumlah teori sebanyak mungkin (tetapi jangan berlebihan!) dan untuk memperjelas kekuatan dan kelemahan teori;
·
membangun wacana tentang pengembangan teori, pada teori dan kualitasnya, terutama untuk penelitian dalam pendidikan matematika.
STRATEGI UNTUK MENGHUBUNGKAN
TEORI
A. Memahami Yang Lain
dan Membuat Teori Sendiri dapat Dipahami
Setiap
konferensi internasional dengan peneliti dari berbagai teori dan budaya latar
belakang memberikan pengalaman yang tidak sepele untuk memahami teori-teori
yang telah dikembangkan dalam praktek penelitian yang berbeda dengan budaya
sendiri.
Oleh karena
itu, semua
komunikasi antar-teori dan terutama semua upaya untuk menghubungkan dan
menerapkan teori-teori dan hasil penelitian harus dimulai dengan memahami orang
lain dan, sebaliknya, dengan membuat teori sendiri dapat dimengerti oleh orang
lain.
B. Membandingkan dan Membedakan
Membandingkan dan membedakan hanya berbeda secara levelnya, tetapi tidak dalam
substansi. Membadingkan mengacu pada persamaan dan perbedaan secara umum dalam
memahami komponen teoritis, membedakan
lebih difokuskan pada penggalian perbedaan yang khas. Dengan membedakan, spesifisitas teori dan kemungkinan
hubungan antar mereka dapat lebih terlihat: kesamaan yang kuat adalah poin
untuk menghubungkan dan perbedaan yang kuat dapat membuat kekuatan
individual dari teori terlihat.
Sebuah
perbandingan dapat didorong oleh tujuan yang berbeda. Pertama dan paling
penting adalah bertujuan untuk menyediakan dasar untuk komunikasi antar-teori. Kedua,
membandingkan dan membedakan dapat digunakan sebagai
strategi persaingan di komunitas dan pendekatan teoritis. Dan ketiga, membandingkan dan membedakan mungkin menawarkan rasional dasar untuk pilihan dari
teori-teori yang ada dan meningkatkan perdebatan ke level-meta di mana kita
diwajibkan untuk memberikan alasan yang baik untuk pilihan teoritis kita
"(Cobb 2007, hal 28).
Perbandingan
tidak bisa netral, karena setiap kriteria yang berlaku sudah sarat nilai.
C. Koordinasi
dan Penggabungan
Strategi membandingkan dan membedakan sebagian besar digunakan untuk pemahaman yang lebih baik dari karakteristik khas dari teori-teori dan
pendekatan teoritis dalam sudut pandang
pengembangan teori lebih
lanjut, sedangkan strategi
koordinasi dan penggabungan sebagian besar digunakan untuk memahami jaringan dari sebuah fenomena empiris atau
bagian dari data.
Perbedaan antara teori,
kerangka kerja praktis dan konsepnya, Eisenhart (1991) menyatakan bahwa banyak penyelidikan empiris praktis
yang relevan tidak dapat ditarik dengan satu pendekatan teoritis tunggal saja
tetapi bergantung pada berbagai sumber konsep dan ide yang sesuai. Sumber-sumber ini kemudian
dikombinasikan yang disebut kerangka konseptual.
Strategi
jaringan penggabungan dan koordinasi
yang khas untuk kerangka konseptual yang tidak selalu bertujuan pada teori yang
lengkap dan
koheren tetapi pada menggunakan alat-alat analisis yang berbeda demi masalah praktis
atau analisis suatu fenomena empiris (lihat Cerulli et al 2008.; Maracci 2008). Dalam proyek-proyek
lain, teori-teori yang lebih komprehensif digabungkan
atau bahkan dikoordinasikan
setidaknya secara lokal (seperti Teori Antropologi dari Didaktik-ATD-pendek dan
APC-Space di Arzarello et al. 2008b).
D. Mensintesis dan
Mengintegrasikan
Pada strategi penggabungan dan koordinasi bertujuan memperdalam wawasan suatu fenomena empiris, strategi
mensintesis dan mengintegrasikan secara khusus
difokuskan pada pengembangan teori dengan menempatkan bersama-sama sejumlah
teori atau pendekatan teoritis menjadi kerangka kerja baru.
Sekali lagi,
kami membuat perbedaan tingkatan antara dua strategi terkait, dan yang saat ini
mengacu pada tahap keseimangan dari pendekatan teoritis yang terlibat. Gagasan
sintesis digunakan ketika dua atau lebih teori yang sama-sama stabil diambil dan
dihubungkan sedemikian rupa sehingga berkembang
teori baru. Namun seringkali, ruang lingkup teori dan tingkat perkembangan
tidak simetris, dan hanya ada beberapa konsep atau aspek-aspek dari satu teori
terintegrasi ke dalam sebuah teori dominan lainnya. Pengintegrasian ini tidak
boleh keliru, itu sebabnya kami menekankan istilah "lokal/khusus"
dalam nama strategi ini yaitu "mengintegrasikan secara lokal/khusus".
Mensintesis dan
mengintegrasikan memiliki prasyarat dari strategi jaringan lain. Seperti telah
ditekankan dalam Bikner-Ahsbahs dan Prediger (2006), bagian yang berbeda dari
teori-teori yang tidak kompatibel tidak harus disintesis. Terutama ketika inti
teori bertentangan, sangat berbahaya karena adanya filosofis teori yang tidak
konsisten dan koheren.
E. Strategi dan Metode
untuk Jaringan
Perbedaan
antara strategi dan metode jaringan dapat dibandingkan dengan istilah dalam
militer
antara strategi dan taktik: Strategi adalah seperangkat pedoman umum untuk merancang dan
mendukung tindakan nyata dalam rangka mencapai tujuan. Strategi adalah sesuatu yang umum dan stabil, taktik lebih spesifik dan fleksibel. Pertempuran tidak pernah dapat direncanakan oleh strategi sendiri, karena melibatkan banyak tindakan dengan hasil yang terbuka.
antara strategi dan taktik: Strategi adalah seperangkat pedoman umum untuk merancang dan
mendukung tindakan nyata dalam rangka mencapai tujuan. Strategi adalah sesuatu yang umum dan stabil, taktik lebih spesifik dan fleksibel. Pertempuran tidak pernah dapat direncanakan oleh strategi sendiri, karena melibatkan banyak tindakan dengan hasil yang terbuka.
Tindakan yang
harus diputuskan secara real time sesuai dengan strategi yang dipilih tersebut
kemudian dirancang oleh taktik khusus. Demikian pula, strategi jaringan yang
lebih umum memerlukan metode khusus untuk dikembangkan. Bagian ini
menggambarkan metode yang berbeda untuk mengembangkan atau menerapkan strategi jaringan
tertentu.
Strategi
jaringan digunakan untuk menghubungkan teori atau pendekatan teoritis. Strategi
jaringan, metode dan teknik penelitian saling terkait dan saling mendukung.
Pendekatan metode yang berbeda mungkin menggunakan strategi jaringan yang sama,
dan, jika tidak, salah satu pendekatan metode mungkin termasuk dalam strategi
jaringan yang berbeda.
Mengembangkan Teori dengan
Jaringan
Sriraman dan Engish
(2005, egp 453) mengklaim bahwa teori-teori dalam pendidikan matematika harus
dikembangkan lebih lanjut. Tapi apa arti sebenarnya pengembangan teori yang lebih
lanjut? Hal ini bergantung pada karakter teori, karena penjelasan dan pendeskripsian
teori berkembang secara berbeda dari preskriptif teori.
Teori empiris
berkembang dalam siklus proses analisis empiris dan teori konstruksi. Sebagai
contoh, Bikner-Ahsbahs (2005, 2008) memulai pengembangan teori tentang
bunga-padat situasi dengan konseptual pertama komponen dalam konteks teori
latar belakang. Kemudian, analisis data membentuk hipotesis pertama yang
lagi-lagi dapat diuji melalui data analisis. Hipotesis Baru dihasilkan, dan
seterusnya. Dalam siklus antara membangun teori dan analisis empiris dan
pengujian, komponen non-konsisten diurutkan secara sistematis.
Teori tidak
bisa hanya berkembang dalam cara yang berbeda, tetapi juga dalam arah yang
berbeda. Setidaknya ada empat arah penting:
1.
Ketegasan: Mulai dari klaim bahwa suatu teori yang
baik harus membuat latar belakang teori dan filosofi dasarnya (khususnya pengetahuan
dan metodologi) se-eksplisit mungkin. Semakin banyak anggapan implisit dinyatakan
secara eksplisit dan lebih banyak bagian filosofis dasar membentuk teori latar
belakang secara eksplisit, semakin kita akan mempertimbangkan bahwa teori menjadi
lebih dewasa.
2.
Lingkup empiris: teori formal memiliki ruang
lingkup empiris besar. Mereka mengkarakterisasi fenomena empiris secara global
dan sering tidak bisa persis akan diwujudkan melalui contoh-contoh empiris
(Lamnek 1995, hal 123). Di sisi lain, teori yang bersifat khusus dan kontekstual
memiliki lingkup yang terbatas (lihat Krummheuer 2001, hal 199).
3.
Stabilitas: Sebuah teori baru mungkin sedikit
rapuh karena konsep dan hubungan
di antara mereka yang masih samar-samar. Namun, jika teori bersifat substansial maka dia memiliki kelebihan. Kelebihan ini terus dikerjakan oleh meningkatkan aplikasi teori. Jika teori lulus ujian menjadi dapat dipercaya, konsep menjadi lebih jelas, dan stabilitas teori meningkat.
di antara mereka yang masih samar-samar. Namun, jika teori bersifat substansial maka dia memiliki kelebihan. Kelebihan ini terus dikerjakan oleh meningkatkan aplikasi teori. Jika teori lulus ujian menjadi dapat dipercaya, konsep menjadi lebih jelas, dan stabilitas teori meningkat.
4.
Konektivitas: Ilmu ditandai dengan argumentasi dan
keterkaitan. Hal ini misalnya dapat diwujudkan dengan mencari hubungan teori. Oleh
karena itu, membangun konektivitas argumentatif merupakan arah penting untuk
pengembangan teori.
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
3:27 PM