SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT
- FILSAFAT YUNANI KUNO
Secara historis kelahiran dan perkembangan
pemikiran Yunani Kuno(sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat.
Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni
tradisi: (1) Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini), (2) Sejarah
Filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini), dan (3) Sejarah Filsafat Barat
(sekitar 600 SM – dewasa ini). Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas,
tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah basis kelahiran dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain)
sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Pada tradisi Sejarah Filsafat Barat
semenjak periodesasi awalnya (Yunani Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para
pemikir pada masa itu sudah mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché)
yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché,
sedangkan Anaximander (sekitar 610 -540 SM) berpendapat arché adalah
sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat
“udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama penting lain pada
periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) dan Parmenides (515 – 440 SM),
Herakleitos mengemukakan bahwa segala sesuatu itu “mengalir” (“panta rhei”) bahwa
segala sesuatu itu berubah terus-menerus berubah sedangkan Parmenides
menyatakan bahwa segala sesuatu itu justru sebagai sesuatu yang tetap (tidak
berubah).
Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM)
berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur
dasar kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”, dan Pythagoraslah orang
pertama yang menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”, yakni
seseorang yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapai kebenaran melalui berpikir/bermenung
secara kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus.
1. Parmenides, berpendapat bahwa segala sesuatu
“yang ada” tidak berubah. Parmenides tidak mendefinisikan apa yang dimaksud
“yang ada” namun menyebutkan sifat-sifatnya. Menurutnya, “yang ada” itu
bersifat meliputi segala sesuatu, tidak bergerak, tidak berubah, dan tidak
terhancurkan. Selain itu, “yang ada” itu juga tidak tergoyahkan dan tidak dapat
disangkal. Menurut Parmenides, “yang ada” adalah kebenaran yang tidak mungkin
disangkal. Bila ada yang menyangkalnya, maka ia akan jatuh pada kontradiksi.
Hal itu dapat dijelaskan melalui pengandaian yang diberikan oleh Parmenides,
yaitu :
ü
Pertama,
orang dapat mengatakan bahwa "yang ada" itu tidak ada.
ü
Kedua,
orang dapat mengatakan bahwa "yang ada" dan "yang tidak
ada" itu bersama-sama ada.
Kedua pengandaian
ini mustahil. Pengandaian pertama mustahil, sebab "yang tidak
ada" tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibicarakan. "Yang
tidak ada" tidak dapat dipikirkan dan dibicarakan. Pengandaian
kedua merupakan pandangan dari Herakleitos. Pengandaian ini juga mustahil,
sebab pengandaian kedua menerima pengandaian pertama, bahwa "yang tidak
ada" itu ada, padahal pengandaian pertama terbukti mustahil. Dengan
demikian, kesimpulannya adalah "Yang tidak ada" itu tidak ada,
sehingga hanya "yang ada" yang dapat dikatakan ada.
Untuk lebih
memahami pemikiran Parmenides, dapat digunakan contoh berikut ini. Misalnya
saja, seseorang menyatakan “Tuhan itu tidak ada !!”, di sini, Tuhan yang
eksistensinya ditolak orang itu sebenarnya ada, maksudnya harus diterima
sebagai dia "Yang Ada". Hal ini disebabkan bila orang itu
mengatakan "Tuhan itu tidak ada", maka orang itu sudah terlebih dulu
memikirkan suatu konsep tentang Tuhan. Barulah setelah itu, konsep
Tuhan yang dipikirkan orang itu disanggah olehnya sendiri dengan menyatakan
"Tuhan itu tidak ada". Dengan demikian, Tuhan sebagai yang
dipikirkan oleh orang itu "ada" walaupun hanya di dalam pikirannya
sendiri. Sedangkan penolakan terhadap sesuatu, pastilah mengandaikan
bahwa sesuatu itu "ada" sehingga "yang tidak ada" itu
tidaklah mungkin. Oleh karena "yang ada" itu selalu dapat
dikatakan dan dipikirkan, sebenarnya Parmenides menyamakan antara "yang
ada" dengan pemikiran atau akal budi.
Setelah
berargumentasi mengenai "yang ada" sebagai kebenaran, Parmenides juga
menyatakan konsekuensi-konsekuensinya sebagai berikut :
1)
Pertama-tama,
"yang ada" adalah satu dan tak terbagi, sedangkan pluralitas tidak
mungkin. Hal ini dikarenakan tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan “yang
ada”.
2)
Kedua,
"yang ada" tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan. Dengan kata
lain, "yang ada" bersifat kekal dan tak terubahkan. Hal itu merupakan
konsekuensi logis, sebab bila "yang ada" dapat berubah, maka
"yang ada" dapat menjadi tidak ada atau "yang tidak ada"
dapat menjadi ada.
3)
Ketiga, harus
dikatakan pula bahwa "yang ada" itu sempurna, seperti sebuah bola
yang jaraknya dari pusat ke permukaan semuanya sama. Menurut Parmenides,
"yang ada" itu bulat sehingga mengisi semua tempat.
4)
Keempat,
karena "yang ada" mengisi semua tempat, maka disimpulkan bahwa tidak
ada ruang kosong. Jika ada ruang kosong, artinya menerima bahwa di luar
"yang ada" masih ada sesuatu yang lain. Konsekuensi lainnya adalah gerak
menjadi tidak mungkin sebab bila benda bergerak, sebab bila benda bergerak
artinya benda menduduki tempat yang tadinya kosong.
2.
Pemikiran Herakleitos yang paling terkenal adalah
mengenai perubahan-perubahan di alam semesta. Menurut Herakleitos, tidak ada
satu pun hal di alam semesta yang bersifat tetap atau permanen. Tidak ada
sesuatu yang betul-betul ada, semuanya berada di dalam proses menjadi.
Ia terkenal dengan ucapannya panta rhei kai uden menei yang berarti,
"semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap".
Pendapat Heraklietos ini bertentangan dengan Parmenides karena perubahan yang
tidak ada henti-hentinya itu dibayangkan Herakleitos dengan dua cara :
ü Pertama, seluruh kenyataan adalah seperti
aliran sungai yang mengalir. "Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai
yang sama," demikian kata Herakleitos. Maksudnya di sini, air sungai
selalu bergerak sehingga tidak pernah seseorang turun di air sungai yang sama
dengan yang sebelumnya.
ü Kedua, ia menggambarkan seluruh kenyataan
dengan api. Maksud api di sini lain dengan konsep mazhab Miletos yang
menjadikan air atau udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Bagi
Herakleitos, api bukanlah zat yang dapat menerangkan perubahan-perubahan segala
sesuatu, melainkan melambangkan gerak perubahan itu sendiri. Api senantiasa
mengubah apa saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api
yang sama karena itu, api cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan.
Heraklietos juga
penganut Metafisika, yaitu cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di
dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:
Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? dan
lain sebagainya. Cabang utama metafisika adalah Ontologi
yaitu ilmu yang mempelajari tentang hakekat benda-benda di alam dan hubungan
antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas
pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan
sebab akibat, dan kemungkinan.
Zaman keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada masa
Sokrates (± 470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM).
Sokrates sebagai guru dari Plato maupun tidak meninggalkan karya tulis satupun
dari hasil pemikirannya, tetapi pemikiran-pemikirannya secara tidak langsung
banyak dikemukakan dalam tulisan-tulisan para pemikir Yunani lainnya tetapi
terutama ditemukan dalam karya muridnya Plato.
3.
Plato, mendukung ajaran Parmenides, yaitu
menganggap bahwa segala sesuatu itu TETAP. Namun, ia juga memiliki paham Idealisme yaitu paham filsafat yang
memandang mental dan ideal sebagai kunci ke hakikat realitas. Dalam hal
ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau bayang-bayang/bayangan
dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka
dan oleh karena itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri. Dunia “ide” itulah
yang tetap tidak berubah/abadi sedangkan kenyataan yang dapat diobservasi
sebagai sesuatu yang senantiasa berubah. Karya-Karya lainnya dari Plato sangat
dalam dan luas meliputi logika, epistemologi, antropologi (metafisika),
teologi, etika, estetika, politik, ontologi dan filsafat alam.
Paham idealisme
lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan
fisik. Ajaran Plato mengenai ide ada 2, yaitu :
1) Dunia ide-ide yang hanya terbuka bagi
rasio kita (Dunia Rasional/Dunia Rohani)
2) Dunia jasmani yang hanya terbuka bagi
panca indera kita (dunia indrawi)
Dalam dunia
rasional, tidak ada perubahan dan kenisbian. Perubahan dan kenisbian hanya ada
dalam dunia indrawi yang memang memperlihatkan ketidakmantapan tanpa henti.
Misalnya, Singa A atau Singa B itu pasti akan mati. Namun, pada umumnya, yakni
ide singa itu akan tetap ada. Begitu pula gambar segitiga di papan tulis,
meskipun gambar segitiga di papan tulis tersebut dapat dihapus tapi ide
segitiga itu sama sekali tidak akan terhapus dalam pikiran (ide itu abadi
selamanya).
4.
Sedangkan Aristoteles
sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju/berlawanan dengan apa yang diperoleh
dari gurunya (Plato). Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia
“abadi” sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada
kenyataan/benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak
dapat dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”).
Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa “ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan
tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk. Dengan
demikian maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan
kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari materi.
Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi logika, etika, politik, metafisika,
psikologi dan ilmu alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak
menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan
Aristoteles memiliki paham Realis yaitu paham bahwa hakekat suatu
benda itu bukan terletak pada ide/pikiran melainkan pada obyek nyata benda itu
sendiri (pendapat ini sangat berlawanan
dengan Plato). Contoh dari paham Aristoteles : sebelum menjadi sebuah patung
kuda kayu, tentu ada tahapan-tahapan yang mendahuluinya, misalnya sebuah pohon
menghasilkan sepotong kayu utuh lalu kepala kuda diukir pada kayu itu. Setelah
itu, badan kuda juga harus dibuat dan seterusnya sampai pada akhirnya seluruh
patung itu berbentuk penuh seekor kuda. Ajaran Aristoteles juga telah mengarah
pada pengakuan adanya TUHAN. Menurut Aristoteles, suatu gerakan atau proses
perkembangan dalam jagad raya tidak mempunyai awal dan akhir dalam waktu maka
alam semesta abadi sifatnya. Namun, karena sesuatu yang bergerak itu digerakkan
oleh penggerak yang lain, perlu diterima satu Penggerak Pertama yang tidak
digerakkan oleh Penggerak lain, yaitu TUHAN. Selain Metafisika sebagai aliran
dari Aristoteles, Aristoteles juga membagi cabang ilmu menjadi 3 bagian, yaitu
:
a)
Ilmu
Pengetahuan Praktis (Etika dan Ilmu Politik)
b)
Ilmu
Pengetahuan Produktif menyangkut pengetahuan yang sanggup menghasilkan suatu
karya/produk jadi (ilmu teknik, kesenian)
c)
Ilmu
Pengetahuan Teoritis (Fisika, Matematika, dan Metafisika (yang telah disebutkan
di atas)
Namun, di luar ketiga pengetahuan di
atas, masih ada Logika (Penalaran Tepat). Ajaran Logika Aristoteles yang sampai
sekarang masih digunakan adalah ajaran mengenai Induksi, Deduksi, dan
Silogisme. Induksi adalah metode pemikiran yang menghasilkan pengetahuan
tentang yang umum dengan bertolak dari hal-hal khusus, sedangkan Deduksi adalah
sebaliknya yakni metode pemikiran yang khusus dengan bertitik tolak dari hal
umum, Salah satu contoh dari Metode Deduksi adalah Silogisme, yakni pengambilan
kesimpulan berdasarkan dua pernyataan yang telah diberitahukan sebelumnya.
Misalnya :
Premis Mayor : Semua manusia akan mati
Premis Minor : Budi adalah seorang manusia
Kesimpulan : Maka Budi
akan mati
Aristoteles dikenal sebagai Bapak Ilmu
Pengetahuan karena merupakan Filsuf pertama yang mengajarkan tentang
rasionalitas ilmu pengetahuan dan dasar-dasar pemikirannya hingga saat ini
masih terus digunakan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
- Jaman Patristik dan Skolastik: Filsafat Dalam dan Untuk Agama
Pada jaman ini dikenal sebagai Abad
Pertengahan (400-1500 ). Filsafat pada abad ini dikuasai dengan pemikiran
keagamaan (Kristiani). Puncak filsafat Kristiani ini adalah Patristik (Lt. “Patres”/Bapa-bapa
Gereja) dan Skolastik Patristik sendiri dibagi atas Patristik Yunani (atau
Patristik Timur) dan Patristik Latin (atau Patristik Barat). Tokoh-tokoh
Patristik Yunani ini anatara lain Clemens dari Alexandria (150-215), Origenes
(185-254), Gregorius dari Naziane (330-390), Basilius (330-379). Tokoh-tokoh
dari Patristik Latin antara lain Hilarius (315-367), Ambrosius (339-397),
Hieronymus (347-420) dan Augustinus (354-430). Ajaran-ajaran dari para Bapa
Gereja ini adalah falsafi-teologis, yang pada intinya ajaran ini ingin
memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari
manusia. Ajaran-ajaran ini banyak pengaruh dari Plotinos. Pada masa ini dapat
dikatakan era filsafat yang berlandaskan akal-budi “diabdikan” untuk dogma
agama.
Jaman Skolastik (sekitar tahun 1000),
pengaruh Plotinus diambil alih oleh Aristoteles. Pemikiran-pemikiran
Ariestoteles kembali dikenal dalam karya beberapa filsuf Yahudi maupun Islam,
terutama melalui Avicena (Ibn. Sina,
980-1037), Averroes (Ibn. Rushd, 1126-1198) dan Maimonides (1135-1204).
Pengaruh Aristoteles demikian besar sehingga ia (Aristoteles) disebut sebagai
“Sang Filsuf” sedangkan Averroes yang banyak membahas karya Aristoteles
dijuluki sebagai “Sang Komentator”. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman
Kristiani menghasilkan filsuf penting sebagian besar dari ordo baru yang lahir
pada masa Abad Pertengahan, yaitu, dari ordo Dominikan dan Fransiskan..
Filsafatnya disebut “Skolastik” (Lt. “scholasticus”, “guru”), karena
pada periode ini filsafat diajarkan dalam sekolahsekolah biara dan
universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang baku dan bersifat
internasional. Inti ajaran ini bertema pokok bahwa ada hubungan antara iman dengan
akal budi. Pada masa ini filsafat mulai ambil jarak dengan agama, dengan melihat
sebagai suatu kesetaraan antara satu dengan yang lain (Agama dengan Filsafat)
bukan yang satu “mengabdi” terhadap yang lain atau sebaliknya.
Sampai dengan di penghujung Abad
Pertengahan sebagai abad yang kurang kondusif terhadap perkembangan ilmu,
dapatlah diingat dengan nasib seorang astronom berkebangsaan Polandia N. Copernicus
yang dihukum kurungan seumur hidup oleh otoritas Gereja, ketika mengemukakan
temuannya tentang pusat peredaran benda-benda angkasa adalah matahari (Heleosentrisme).
Teori ini dianggap oleh otoritas Gereja sebagai bertentangan dengan teori geosentrisme
(Bumi sebagai pusat peredaran benda-benda angkasa) yang dikemukakan oleh
Ptolomeus semenjak jaman Yunani yang justru telah mendapat “mandat” dari
otoritas Gereja. Oleh karena itu dianggap menjatuhkan kewibawaan Gereja.
- Jaman Modern: Lahir dan Berkembangan Tradisi Ilmu Pengetahuan
Setelah Renesanse mulailah jaman Barok,
pada jaman ini tradisi rasionalisme ditumbuh-kembangkan oleh filsuf-filsuf
antara lain; R. Descartes (1596-1650), B. Spinoza (1632-1677) dan G. Leibniz
(1646-1710). Para Filsuf tersebut di atas menekankan pentingnya
kemungkinan-kemungkinan akal-budi (“ratio”) didalam mengembangkan pengetahuan
manusia.
1. R.
Descartes, pahamnya yang
terkenal adalah Analytic Apriori
dengan unsur dasarnya Konsisten dan
dasar hukumnya adalah Identitas. Karya
filsafat Descrates dapat dipahami dalam bingkai konteks pemikiran pada masanya,
yakni adanya pertentangan antara Scholasticism
dengan keilmuan baru Galilean - Copernican. Atas dasar tersebut ia dengan misi
filsafatnya berusaha mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat diragukan.
Metodenya ialah dengan meragukan semua pengetahuan yang ada, yang kemudian
mengantarkannya pada kesimpulan bahwa pengetahuan yang ia kategorikan ke dalam
tiga bagian dapat diragukan, yaitu :
a. Pengetahuan yang berasal dari pengalaman
inderawi dapat diragukan, semisal kita memasukan kayu lurus kedalam air maka
akan nampak bengkok
b. Fakta umum tentang dunia semisal api itu
panas dan benda yang berat akan jatuh juga dapat diragukan. Descrates
menyatakan bagaimana jika kita mengalami mimpi yang sama berkali-kali dan dari
situ kita mendapatkan pengetahuan umum tersebut
c. Logika dan Matematika, prinsip-prinsip
logika dan matematika juga ia ragukan. Ia menyatakan bagaimana jika ada suatu
mahluk yang berkuasa memasukan ilusi dalam pikiran kita, dengan kata lain kita
berada dalam suatu matrix.
Dari keraguan tersebut, Descrates hendak
mencari pengetahuan apa yang tidak dapat diragukan. Yang akhirnya mengantarkan
pada premisnya Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada). Baginya
eksistensi pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut dan tidak dapat
diragukan. Sebab meskipun pemikirannya tentang sesuatu salah, pikirannya
tertipu oleh suatu matriks, ia ragu akan segalanya, tidak dapat diragukan lagi
bahwa pikiran itu sendiri eksis/ada. Pikiran sendiri bagi Descrates ialah suatu
benda berpikir yang bersifat mental ( res cogitans ) bukan bersifat
fisik atau material. Dari prinsip awal bahwa pikiran itu eksis descrates
melanjutkan filsafatnya untuk membuktikan bahwa Tuhan dan benda-benda itu ada.
Berangkat dari pembuktiannya bahwa pikiran
itu eksis, filsafatnya membuktikan bahwa Tuhan ada dan kemudian membuktikan
bahwa benda material ada. Descrates mendasarkan akan adanya Tuhan pada prinsip
bahwa sebab harus lebih besar, sempurna, baik dari akibat. Dalam pikiran
Descrates ia memiliki suatu gagasan tentang Tuhan adalah suatu mahluk sempurna
yang tak terhingga. Gagasan tersebut tidak mungkin muncul/disebabkan oleh
pengalaman dan pikiran diri sendiri, karena kedua hal tersebut merupakan
sesuatu yang tidak sempurna dan dapat diragukan sehingga tidak memenuhi prinsip
sebab lebih sempurna dari akibat. Gagasan tentang Tuhan yang ada dalam kepala
(sebagai akibat) hanya bisa disebabkan oleh sebuah mahluk sempurna yang
menaruhnya dalam pikiran saya, yakni Tuhan.
Setelah membuktikan adanya Tuhan,
Descrates membuktikan bahwa benda material itu eksis. Ia menyatakan bahwa Tuhan
menciptakan manusia dengan ketidakmampuan untuk membuktikan bahwa benda
material itu sejatinya tidak ada. Bahkan Tuhan menciptakan manusia untuk
memiliki kecenderungan pemahaman bahwa benda material itu eksis. Apabila
pemahaman benda material eksis hanya merupakan sebuah matriks kompleks yang menipu
pikiran manusia, itu berarti Tuhan adalah penipu, dan bagi Descrates penipu
ialah ketidaksempurnaan. Padahal Tuhan ialah mahluk yang sempurna, oleh karena
itu Tuhan tidak mungkin menipu, sehingga benda material itu pastilah ada.
Pada abad kedelapan belas mulai memasuki
perkembangan baru. Setelah reformasi, renesanse dan setelah rasionalisme jaman
Barok, pemikiran manusia mulai dianggap telah “dewasa”. Periode sejarah
perkembangan pemikiran filsafat disebut sebagai “Jaman Pencerahan” atau “Fajar
Budi” (Ing. “Enlightenment”, Jrm. “Aufklärung”. Filsuf-filsuf
pada jaman ini disebut sebagai para “empirikus”, yang ajarannya lebih
menekankan bahwa suatu pengetahuan adalah mungkin karena adanya pengalaman
indrawi manusia (Lt. “empeira”, “pengalaman”). Para empirikus besar
Inggris antara lain J. Locke (1632-1704), G. Berkeley (1684-1753) dan D. Hume
(1711-1776). Di Perancis JJ. Rousseau (1712-1778) dan di Jerman Immanuel Kant
(1724-1804).
2. Inti ajaran David Hume pada dasarnya sama dengan Aristoteles yaitu menekankan
pada Berpikir (ide). Akan tetapi, teori
Berpikir ala David Hume berdasarkan pada suatu pengalaman seseorang yang
disebut teori Empiricism dengan unsur
dasar Synthetic Aposteriori (bisa
berpikir kalau sudah melihat). Synthetic
Aposteriori berlawanan arah dengan Analytic
Apriori atau bisa dikatakan bahwa pendapat David Hume berlawanan dengan
Rene Descartes.
Aliran Empiris adalah aliran yang
berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan/parsial didasarkan kepada
pengalaman yang menggunakan indera. Secara terminologis, Empirisme adalah
doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman,
pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami, pengalaman indrawi adalah satu-satunya sumber
pengetahuan, dan bukan akal. Aliran ini memegang teguh prinsip bahwa
pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman, misalnya : “Mengapa kita
takut jika masuk ke dalam kandang Harimau?” karena Harimau adalah binatang buas
dan berbahaya (pengalaman menurut seseorang yang pernah diterkam Harimau atau
pengalaman seseorang yang pernah bertemu dengan Harimau).
David Hume juga sebagai penggagas
Ruang dan Waktu dalam Filsafat. Gagasan mengenai waktu berasal dari urutan
kesan terhadap suatu hal. Misalnya kita melihat buah mangga jatuh dari pohon
yang asalnya berada pada dahan, lalu buah itu jatuh di atas tanah. Pada saat
itu kita melihat ada urutan kesan waktu mengenai buah mangga (pada mulanya) dan
kemudian berada di atas tanah. Pada saat itulah gagasan mengenai waktu
terbentuk dalam imajinasi kita. Gagasan mengenai ruang berkaitan dengan luas
(ukuran). Ide ruang dihasilkan oleh indra penglihatan dan penyentuh. Ketika
kamu melihat mangga jatuh dibawah pohon sana, kesan kamu mengatakan bahwa
mangga itu benar-benar ada. Pada saat itulah imajinasi kita menemukan gagasan
mengenai ada di sana itulah ruang. Lewat dua pendapat di atas, Hume menentang
semua pikiran dan gagasan yang tidak dapat dilacak dengan persepsi indera.
Dari pertentangan antara paham Rene
Descartes dan David Hume yang terlihat dari filsafat aliran tetap dan aliran
berubah di atas, Immanuel Kant
mencoba untuk mensintesiskan keduanya sehingga membentuk suatu paham Synthetic Apriori yaitu Filsafat Lengkap
berdasarkan gabungan antara Synthetic
Aposteriori dengan Analytic Apriori. Inti
paham Immanuel Kant dikenal dengan Kritisisme
atau Filsafat Kritis, suatu nama
yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai
perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan
batas-batasnya. Kritisisme terdiri atas 3 bagian, yaitu :
1) Kritik atas Rasio Murni
Dalam kritik ini,
antara lain Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum,
mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan
adanya tiga macam putusan. Pertama,
putusan analitis a priori; di mana predikat tidak menambah sesuatu yang
baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda
menempati ruang). Kedua, putusan
sintesis aposteriori,
misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan
dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah mempunyai
pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui. Ketiga, putusan
sintesis a
priori: di sini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang
kendati bersifat sintetis, namun bersifat a priori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala
kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori),
namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “kejadian”
belum dengan sendirinya tersirat pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal
maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika, dan ilmu
pengetahuan alam disusun atas putusan sisntetis yang bersifat a priori
ini. Menurut Kant, putusan jenis ketiga
inilah syarat dasar bagi apa yang disebut pengetahuan (ilmiah) dipenuhi, yakni
bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru. Persoalannya adalah
bagaimana terjadinya pengetahuan yang demikian itu?. Menjawab pertanyaan ini
Kant menjelaskan bahwa pengetahuan itu merupakan sintesis dari unsur-unsur
yang ada sebelum pengalaman yakni unsur-unsur a priori dengan
unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yakni unsur-unsur aposteriori.
Proses sintesis itu, menurut Kant terjadi dalam tiga tingkatan pengetahuan
manusia yaitu pencerahan indrawi (sinneswahrnehmung), lalu tingkat akal budi (verstand),
dan tingkat tertinggi adalah tingkat rasio/intelek (Versnunft).
2) Kritik atas Rasio Praktis
Apabila kritik atas
rasio murni memberikan penjelasan tentang syarat-syarat umum dan
mutlak bagi pengetahuan manusia, maka dalam “kritik atas rasio praktis”
yang dipersoalkan adalah syarat-syarat umum dan mutlak bagi perbuatan
susila. Kant coba memperlihatkan bahwa syarat-syarat umum yang berupa bentuk (form)
perbuatan dalam kesadaran itu tampil dalam perintah (imperatif). Kesadaran
demikian ini disebut dengan “otonomi rasio praktis” (yang dilawankan dengan
heteronomi). Perintah tersebut dapat tampil dalam kesadaran dengan dua cara,
subyektif dan obyektif. Maxime (aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi
perbuatan orang perseorang (individu), sedangkan imperatif (perintah)
merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan
perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan
bersyarat (hepotetik) atau dapat juga tanpa syarat (kategorik). Imperatif
kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal.
Menurut Kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber pada kewajiban
dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat
(achtung). Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
3)
Kritik atas Daya Pertimbangan
Konsekuensi dari “kritik atas
rasio murni” dan “kritik atas rasio praktis” menimbulkan adanya dua kawasan
tersendiri, yaitu kawasan kaperluan mutlak di bidang alam dan kawasan kebebasan
di bidang tingkah laku manusia. Adanya dua kawasan itu, tidak berarti
bertentangan atau dalam tingkatan. Kritik atas Daya Pertimbangan (Kritik der
Urteilskraft), dimaksukkan oleh Kant, adalah mengerti persesuaian
kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas
(tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas
bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah
yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang
bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.
- Masa Kini
Pada abad ketujuh belas dan kedelapan
belas perkembangan pemikiran filsafat pengetahuan memperlihatkan aliran-aliran
besar: rasionalisme, empirisme dan idealisme dengan mempertahankan
wilayah-wilayah yang luas. Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh belas dan
abad kedelapan belas, filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh
banyak bermunculan aliran-aliran baru dalam filsafat tetapi wilayah pengaruhnya
lebih tertentu. Akan tetapi justru menemukan bentuknya (format) yang lebih
bebas dari corak spekulasi filsafati dan otonom. Aliran-aliran tersebut antara
laian: positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme, neokantianisme,
neo-tomisme dan fenomenologi.
Tokohnya adalah Augusta Comte dengan aliran
Positivisme. Aliran ini sebagai antitesis Filsafat Yunani yaitu mengembangkan
keilmuan yang telah ada sebelumnya. Penjelasan Comte tentang filosofi yang
positif memperkenalkan hubungan yang penting antara teori, praktik dan
pemahaman manusia dunia. Comte merumuskan Hukum Tiga Fase, yaitu : Teologi,
Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut "tahap
ilmiah").
Fase Teologi dilihat dari
prespektif abad ke-19 sebagai permulaan abad pencerahan, dimana kedudukan
seorang manusia dalam masyarakat dan pembatasan norma dan nilai manusia
didapatkan didasari pada perintah Tuhan. Meskipun memiliki sebutan yang sama,
fase Metafisika Comte sangat berbeda dengan teori Metafisika yang dikemukakan
oleh Aristoteles atau ilmuwan Yunani kuno lainnya; pemikiran Comte berakar pada
permasalahan masyarakat
Perancis pasca Revolusi Perancis. Fase Metafisika ini merupakan
justifikasi dari "hak universal" sebagai hak pada suatu wahana yang
lebih tinggi dibanding otoritas tentang segala penguasa manusia untuk
membatalkan perintah lalu hak/ kebenaran tidaklah disesuaikan kepada yang suci
di luar semata-mata kiasan. Apa yang ia mengumumkan dengan istilah nya. Tahap
yang ilmiah, Comte mengembangkan ilmu sosiologi (pasca revolusi perancis).
Sumber :
- Acton,
HB., Kant’s
Moral Philosophy, London, MacMillan, 1970
- Bertens,
K., Ringkasan
Sejarah filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1998/v
- Copleston,
Frederick, A
History of Philosophy, Vol. VI, London, Search Press, 1960
- Mudyahardjo,
Drs.Redja. 2002. Filsafat Ilmu Pendidikan
(Suatu Pengantar). Bandung : Remaja Rosdakarya
- Setiawan, Budi, Sejarah Perkembangan Pemikiran Filsafat.