Home » Archives for 2013
Artikel berikut ini adalah tulisan Pak Anies Baswedan yang dimuat pada harian Kompas tanggal 28 November 2013. Saduran ini semata-mata untuk mengingatkan kita semua, terutama diri saya sendiri, tentang pandangan Pak Anies terhadap Guru yang menurut saya patut untuk diikuti. Jika Anda setuju dengan artikel ini, mari berbuat sesuatu yang lebih baik untuk pendidikan Indonesia.
VIP-kan Guru-guru Kita!
Oleh: Anies BaswedanBerapa jumlah guru yang masih hidup?” itu pertanyaan Kaisar Jepang sesudah bom atom dijatuhkan di tanah Jepang.
Kisah itu beredar luas. Bisa jadi itu mitos, tetapi narasi itu punya konteks yang valid: pemimpin ”Negeri Sakura” itu memikirkan pendidikan sebagai soal amat mendasar untuk bangkit, menang, dan kuat. Ia sadar bukan alam yang membuat Jepang menjadi kuat, melainkan kualitas manusianya. Pendidikan jangan pernah dipandang sebagai urusan sektoral. Pendidikan adalah urusan mendasar bangsa yang lintas sektoral. Hari ini 53 persen penduduk bekerja kita hanya tamat SD atau lebih rendah, yang berpendidikan tinggi hanya 9 persen. Pendidikan bukan sekadar bersekolah, melainkan fakta itu gambaran menampar yang membuat kita termenung.
Dari sisi kuantitas, penduduk Indonesia di urutan keempat dunia, tetapi dari segi kualitas di urutan ke-124 dari 187 negara. Bangsa ini telah secara ”terencana” membuat sebagian besar penduduknya dicukupkan untuk berlevel pendidikan rendah. Tak aneh jika kini serba impor karena memang sebagian besar penduduk bekerja kita hanya bisa menghasilkan produk bernilai tambah yang rendah.
Selama bangsa dan para pemimpinnya bicara pendidikan secara sambil lalu, dan selama masalah pendidikan dianggap bukan masalah kepemimpinan nasional, jangan harap masa depan akan bisa kuat, mandiri, dan berwibawa. Kunci kekuatan bangsa itu pada manusianya. Jangan hanya fokus pada infrastruktur penopang kehidupan bangsa. Sesungguhya kualitas infrastruktur kehidupan sebuah bangsa semata-mata cermin kualitas manusianya !
Pendidikan adalah soal interaksi antarmanusia. Interaksi antara pendidik dan peserta didik, antara orangtua dan anak, antara guru dan murid, serta antara lingkungan dan para pembelajar. Guru adalah inti dari proses pendidikan. Guru menjadi kunci utama kualitas pendidikan.
Berhenti memandang soal guru sebagai ”sekadar” soalnya kementerian atau sebatas urusan kepegawaian. Soal guru adalah soal masa depan bangsa. Di ruang kelasnya ada wajah masa depan Indonesia. Gurulah kelompok yang paling awal tahu potret masa depan dan gurulah yang bisa membentuk potret masa depan bangsa Indonesia. Cara sebuah bangsa memperlakukan gurunya adalah cermin cara bangsa memperlakukan masa depannya!
Ya, penyesuaian kurikulum itu penting, tetapi lebih penting dan mendesak adalah menyelesaikan masalah-masalah terkait dengan guru. Guru merupakan ujung tombak. Kurikulum boleh sangat bagus, tetapi bakal mubazir andai disampaikan oleh guru yang diimpit sederetan masalah. Tanpa penyelesaian masalah-masalah seputar guru, kurikulum nyaris tak ada artinya.
Guru juga manusia biasa, dengan plus-minus sebagai manusia, guru tetap kunci utama. Seorang murid menyukai pelajaran bukan sekadar karena buku atau kurikulumnya, melainkan karena gurunya. Guru yang menyebalkan membuat murid menjauhi pelajarannya, guru yang menyenangkan dan inspiratif membuat murid mencintai pelajarannya.
Kita pasti punya banyak guru yang dulu mengajar. Ada yang masih diingat dan ada yang terlupakan. Artinya, setiap guru punya pilihan, mau jadi pendidik yang dikenang karena inspirasinya atau menjadi pendidik yang terlupakan atau malah diingat karena perilakunya negatif. Guru harus sadar diri. Ia pegang peran besar, mendasar, dan jangka panjang sifatnya. Jika seseorang tak mau menjadi pendidik yang baik, lebih baik berhenti menjadi guru. Terlalu mahal konsekuensi negatifnya bagi masa depan anak dan masa depan bangsa. Ini statement keras, tetapi para pendidik dan pengelola pendidikan harus sadar soal ini. Kepada para guru yang mendidik dengan hati dan sepenuh hati, bangsa ini berutang budi amat besar.
Tiga persoalan besar
Paling tidak ada tiga persoalan besar mengenai guru kita. Pertama, distribusi penempatan guru tidak merata. Di satu tempat kelebihan, di tempat lain serba kekurangan. Kekurangan guru juga terjadi di kota dan di desa yang dekat kota. Ini harus dibereskan. Kedua, kualitas guru yang juga tidak merata. Kita harus mencurahkan perhatian total untuk meningkatkan kualitas guru. Mudahkan dan berikan akses bagi guru untuk mengembangkan potensi diri dan kemampuan mengajar. Bukan sekadar mendapatkan gelar pascasarjana, melainkan soal guru makin matang dan terbuka luas cakrawalanya.
Ketiga, kesejahteraan guru tak memadai. Dengan sertifikasi guru telah terjadi perbaikan kesejahteraan, tetapi ada konsekuensi administratif yang sering justru merepotkan guru dan perlu dikaji ulang. Selain soal guru honorer, guru bantu yang masih sering diperlakuan secara tak honored (terhormat). Semua guru harus dijamin kesejahteraannya.
Melihat kondisi sebagian besar guru hari ini, kita seharusnya malu. Kita titipkan masa depan anak-anak kepada guru, tetapi kita tak hendak peduli nasib guru-guru itu. Nasib anak-anak kita serahkan kepada guru, tetapi nasib guru amat jarang menjadi perhatian kita, terutama kaum terdidik, yang sudah merasakan manfaat keterdidikan. Bangsa Indonesia harus berubah. Negara dan bangsa ini harus menjamin nasib guru.
Menghormati guru
Mari bangun kesadaran kolosal untuk menghormati-tinggikan guru. Pemerintah harus berperan, tetapi tanggung jawab besar itu juga ada pada diri kita setiap warga negara, apalagi kaum terdidik. Karena itu, VIP-kan guru-guru dalam semua urusan!
Guru pantas mendapat kehormatan karena mereka selama ini menjalankan peran terhormat bagi bangsa. Saya ajukan dua ide sederhana menunjukkan rasa hormat kepada guru: jalur negara dan jalur gerakan masyarakat. Pertama, negara harus memberikan jaminan kesehatan bagi guru dan keluarganya, tanpa kecuali. Kedua, negara menyediakan jaminan pendidikan bagi anak- anak guru. Bangsa ini harus malu jika ada guru yang sudah mengajar 25 tahun, lalu anaknya tak ada ongkos untuk kuliah. Jaminan kesehatan dan pendidikan keluarganya adalah kebutuhan mendasar bagi guru. Kita harus mengambil sikap tegas: amankan nasib guru dan keluarganya sehingga guru bisa dengan tenang mengamankan nasib anak kita.
Di jalur masyarakat, Gerakan Hormat Guru harus dimulai secara kolosal. Misalnya, para pilot dan awak pesawat, gurulah yang menjadikanmu bisa ”terbang”, sambutlah mereka sebagai penumpang VIP di pesawatmu, undang mereka boarding lebih awal. Para dokter dan semua tenaga medis, gurulah yang mengajarimu sehingga bisa berseragam putih, sambutlah mereka sebagai VIP di tempatmu merawat. Pada pemerintah dan dunia usaha di berbagai sektor, semua prestasi yang dikerjakan adalah buah didikan guru di masa lalu, VIP-kan guru, jadikan mereka customer utama, berikan mereka kemudahan, berikan mereka diskon. Bukan hanya besaran kemudahan atau diskon, melainkan ekspresi kepedulian itu yang menjadi bermakna bagi guru.
Dan semua sektor lainnya, ingatlah bahwa guru merupakan modal awal untuk meraih masa depan yang lebih baik, lebih sejahtera itu dibangun. Di setiap kata dalam pesan pendek (sms) yang ditulis, di sana ada tanda pahala guru. Bangsa ini akan tegak dan disegani saat guru-gurunya terhormat dan dihormati. Bagi anak-anak muda yang kini berbondong-bondong memilih pendidikan guru, ingat tujuan menjadi guru bukan cari tingginya rupiah. Anda pilih jalan mulia, menjadi pendidik. Jangan kemuliaan dikonversi sebatas urusan rupiah, itu cara pintas membuat kemuliaan alami devaluasi. Kesejahteraan Anda sebagai guru memang harus terjamin, tetapi biarkan sorot mata anak didik yang tercerahkan atau cium tangan tanda hormat itu menjadi reward utama yang tak ternilai bagi anda.
Indonesia akan berdiri makin tegak dan kuat dengan kualitas manusia yang mumpuni. Para guru harus sadar dan teguhkan diri sebagai pembentuk masa depan Indonesia. Jadilah guru yang inspiratif, guru yang dicintai semua anak didiknya. Bangsa ini menitipkan anak-anaknya kepada guru, sebaliknya kita sebangsa harus hormati dan lindungi guru dari impitan masalah. Ingat, jadi guru bukanlah pengorbanan, melainkan kehormatan. Guru dapat kehormatan mewakili kita semua untuk melunasi salah satu janji kemerdekaan republik ini: mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadikan kami sebangsa makin bangga dan hormat pada guru!
Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina Yandri Soeyono 9:06 PM Indonesia
VIP-kan Guru-guru Kita!
Oleh: Anies BaswedanBerapa jumlah guru yang masih hidup?” itu pertanyaan Kaisar Jepang sesudah bom atom dijatuhkan di tanah Jepang.
Kisah itu beredar luas. Bisa jadi itu mitos, tetapi narasi itu punya konteks yang valid: pemimpin ”Negeri Sakura” itu memikirkan pendidikan sebagai soal amat mendasar untuk bangkit, menang, dan kuat. Ia sadar bukan alam yang membuat Jepang menjadi kuat, melainkan kualitas manusianya. Pendidikan jangan pernah dipandang sebagai urusan sektoral. Pendidikan adalah urusan mendasar bangsa yang lintas sektoral. Hari ini 53 persen penduduk bekerja kita hanya tamat SD atau lebih rendah, yang berpendidikan tinggi hanya 9 persen. Pendidikan bukan sekadar bersekolah, melainkan fakta itu gambaran menampar yang membuat kita termenung.
Dari sisi kuantitas, penduduk Indonesia di urutan keempat dunia, tetapi dari segi kualitas di urutan ke-124 dari 187 negara. Bangsa ini telah secara ”terencana” membuat sebagian besar penduduknya dicukupkan untuk berlevel pendidikan rendah. Tak aneh jika kini serba impor karena memang sebagian besar penduduk bekerja kita hanya bisa menghasilkan produk bernilai tambah yang rendah.
Selama bangsa dan para pemimpinnya bicara pendidikan secara sambil lalu, dan selama masalah pendidikan dianggap bukan masalah kepemimpinan nasional, jangan harap masa depan akan bisa kuat, mandiri, dan berwibawa. Kunci kekuatan bangsa itu pada manusianya. Jangan hanya fokus pada infrastruktur penopang kehidupan bangsa. Sesungguhya kualitas infrastruktur kehidupan sebuah bangsa semata-mata cermin kualitas manusianya !
Pendidikan adalah soal interaksi antarmanusia. Interaksi antara pendidik dan peserta didik, antara orangtua dan anak, antara guru dan murid, serta antara lingkungan dan para pembelajar. Guru adalah inti dari proses pendidikan. Guru menjadi kunci utama kualitas pendidikan.
Berhenti memandang soal guru sebagai ”sekadar” soalnya kementerian atau sebatas urusan kepegawaian. Soal guru adalah soal masa depan bangsa. Di ruang kelasnya ada wajah masa depan Indonesia. Gurulah kelompok yang paling awal tahu potret masa depan dan gurulah yang bisa membentuk potret masa depan bangsa Indonesia. Cara sebuah bangsa memperlakukan gurunya adalah cermin cara bangsa memperlakukan masa depannya!
Ya, penyesuaian kurikulum itu penting, tetapi lebih penting dan mendesak adalah menyelesaikan masalah-masalah terkait dengan guru. Guru merupakan ujung tombak. Kurikulum boleh sangat bagus, tetapi bakal mubazir andai disampaikan oleh guru yang diimpit sederetan masalah. Tanpa penyelesaian masalah-masalah seputar guru, kurikulum nyaris tak ada artinya.
Guru juga manusia biasa, dengan plus-minus sebagai manusia, guru tetap kunci utama. Seorang murid menyukai pelajaran bukan sekadar karena buku atau kurikulumnya, melainkan karena gurunya. Guru yang menyebalkan membuat murid menjauhi pelajarannya, guru yang menyenangkan dan inspiratif membuat murid mencintai pelajarannya.
Kita pasti punya banyak guru yang dulu mengajar. Ada yang masih diingat dan ada yang terlupakan. Artinya, setiap guru punya pilihan, mau jadi pendidik yang dikenang karena inspirasinya atau menjadi pendidik yang terlupakan atau malah diingat karena perilakunya negatif. Guru harus sadar diri. Ia pegang peran besar, mendasar, dan jangka panjang sifatnya. Jika seseorang tak mau menjadi pendidik yang baik, lebih baik berhenti menjadi guru. Terlalu mahal konsekuensi negatifnya bagi masa depan anak dan masa depan bangsa. Ini statement keras, tetapi para pendidik dan pengelola pendidikan harus sadar soal ini. Kepada para guru yang mendidik dengan hati dan sepenuh hati, bangsa ini berutang budi amat besar.
Tiga persoalan besar
Paling tidak ada tiga persoalan besar mengenai guru kita. Pertama, distribusi penempatan guru tidak merata. Di satu tempat kelebihan, di tempat lain serba kekurangan. Kekurangan guru juga terjadi di kota dan di desa yang dekat kota. Ini harus dibereskan. Kedua, kualitas guru yang juga tidak merata. Kita harus mencurahkan perhatian total untuk meningkatkan kualitas guru. Mudahkan dan berikan akses bagi guru untuk mengembangkan potensi diri dan kemampuan mengajar. Bukan sekadar mendapatkan gelar pascasarjana, melainkan soal guru makin matang dan terbuka luas cakrawalanya.
Ketiga, kesejahteraan guru tak memadai. Dengan sertifikasi guru telah terjadi perbaikan kesejahteraan, tetapi ada konsekuensi administratif yang sering justru merepotkan guru dan perlu dikaji ulang. Selain soal guru honorer, guru bantu yang masih sering diperlakuan secara tak honored (terhormat). Semua guru harus dijamin kesejahteraannya.
Melihat kondisi sebagian besar guru hari ini, kita seharusnya malu. Kita titipkan masa depan anak-anak kepada guru, tetapi kita tak hendak peduli nasib guru-guru itu. Nasib anak-anak kita serahkan kepada guru, tetapi nasib guru amat jarang menjadi perhatian kita, terutama kaum terdidik, yang sudah merasakan manfaat keterdidikan. Bangsa Indonesia harus berubah. Negara dan bangsa ini harus menjamin nasib guru.
Menghormati guru
Mari bangun kesadaran kolosal untuk menghormati-tinggikan guru. Pemerintah harus berperan, tetapi tanggung jawab besar itu juga ada pada diri kita setiap warga negara, apalagi kaum terdidik. Karena itu, VIP-kan guru-guru dalam semua urusan!
Guru pantas mendapat kehormatan karena mereka selama ini menjalankan peran terhormat bagi bangsa. Saya ajukan dua ide sederhana menunjukkan rasa hormat kepada guru: jalur negara dan jalur gerakan masyarakat. Pertama, negara harus memberikan jaminan kesehatan bagi guru dan keluarganya, tanpa kecuali. Kedua, negara menyediakan jaminan pendidikan bagi anak- anak guru. Bangsa ini harus malu jika ada guru yang sudah mengajar 25 tahun, lalu anaknya tak ada ongkos untuk kuliah. Jaminan kesehatan dan pendidikan keluarganya adalah kebutuhan mendasar bagi guru. Kita harus mengambil sikap tegas: amankan nasib guru dan keluarganya sehingga guru bisa dengan tenang mengamankan nasib anak kita.
Di jalur masyarakat, Gerakan Hormat Guru harus dimulai secara kolosal. Misalnya, para pilot dan awak pesawat, gurulah yang menjadikanmu bisa ”terbang”, sambutlah mereka sebagai penumpang VIP di pesawatmu, undang mereka boarding lebih awal. Para dokter dan semua tenaga medis, gurulah yang mengajarimu sehingga bisa berseragam putih, sambutlah mereka sebagai VIP di tempatmu merawat. Pada pemerintah dan dunia usaha di berbagai sektor, semua prestasi yang dikerjakan adalah buah didikan guru di masa lalu, VIP-kan guru, jadikan mereka customer utama, berikan mereka kemudahan, berikan mereka diskon. Bukan hanya besaran kemudahan atau diskon, melainkan ekspresi kepedulian itu yang menjadi bermakna bagi guru.
Dan semua sektor lainnya, ingatlah bahwa guru merupakan modal awal untuk meraih masa depan yang lebih baik, lebih sejahtera itu dibangun. Di setiap kata dalam pesan pendek (sms) yang ditulis, di sana ada tanda pahala guru. Bangsa ini akan tegak dan disegani saat guru-gurunya terhormat dan dihormati. Bagi anak-anak muda yang kini berbondong-bondong memilih pendidikan guru, ingat tujuan menjadi guru bukan cari tingginya rupiah. Anda pilih jalan mulia, menjadi pendidik. Jangan kemuliaan dikonversi sebatas urusan rupiah, itu cara pintas membuat kemuliaan alami devaluasi. Kesejahteraan Anda sebagai guru memang harus terjamin, tetapi biarkan sorot mata anak didik yang tercerahkan atau cium tangan tanda hormat itu menjadi reward utama yang tak ternilai bagi anda.
Indonesia akan berdiri makin tegak dan kuat dengan kualitas manusia yang mumpuni. Para guru harus sadar dan teguhkan diri sebagai pembentuk masa depan Indonesia. Jadilah guru yang inspiratif, guru yang dicintai semua anak didiknya. Bangsa ini menitipkan anak-anaknya kepada guru, sebaliknya kita sebangsa harus hormati dan lindungi guru dari impitan masalah. Ingat, jadi guru bukanlah pengorbanan, melainkan kehormatan. Guru dapat kehormatan mewakili kita semua untuk melunasi salah satu janji kemerdekaan republik ini: mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadikan kami sebangsa makin bangga dan hormat pada guru!
Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina Yandri Soeyono 9:06 PM Indonesia
VIP-kan Guru-guru Kita!
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
9:06 PM
Berikut ini adalah contoh RPP untuk beberapa kelas jenjang SMP dan SMA.
Contoh RPP ini juga merupakan salah satu bentuk tugas pada mata kuliah Perencanaan Pembelajaran. Semoga bermanfaat!!!
RPP kelas VIII semester ganjil
RPP kelas IX semester ganjil
RPP kelas X semester ganjil
RPP kelas XI IPA semester ganjil
RPP kelas XII IPS semester ganjil Yandri Soeyono 11:54 PM Indonesia
Contoh RPP ini juga merupakan salah satu bentuk tugas pada mata kuliah Perencanaan Pembelajaran. Semoga bermanfaat!!!
RPP kelas VIII semester ganjil
RPP kelas IX semester ganjil
RPP kelas X semester ganjil
RPP kelas XI IPA semester ganjil
RPP kelas XII IPS semester ganjil Yandri Soeyono 11:54 PM Indonesia
Contoh RPP
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
11:54 PM
Berikut ini beberapa tautan untuk mengunduh peraturan-peraturan baru yang berhubungan dengan Kurikulum 2013 beserta Buku Panduan. Semoga bermanfaat..
Lampiran Permendikbud no. 54 tahun 2013 tentang SKL
Lampiran Permendikbud no. 64 tahun 2013 tentang Standar Isi
Lampiran Permendikbud no. 65 tahun 2013 tentang Standar Proses
Lampiran Permendikbud no. 66 tahun 2013 tentang Standar Penilaian
Lampiran Permendikbud n0. 68 tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMP/MTs
Lampiran Permendikbud n0. 69 tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMA/MA
Permendikbud no. 81a tahun 2013 tentang implementasi kurikulum 2013
Buku Panduan Guru Matematika kelas X
terima kasih.. Yandri Soeyono 4:51 AM Indonesia
Peraturan tentang Kurikulum 2013 dan Beberapa Buku Panduannya
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
4:51 AM
Penolakan/reposisi terhadap Ujian Nasional semakin santer
terdengar, terutama saat menjelang dilaksanakannya Ujian Nasional. Berbagai contoh
bentuk penilaian kelulusan dari beberapa negara, teori-teori dari beberapa
pakar, gejala dan akibat yang ditimbulkan dari Ujian Nasional, menyebabkan
penolakan maupun permintaan reposisi terhadap Ujian Nasional pun semakin
terlihat keniscayaannya. Namun, begitu besarkah dampak negatif dari Ujian
Nasional ini? Jika benar demikian adanya, mengapa Pemerintah maupun ahli-ahli
pendidikan di Kementrian terkait tidak meng-iya-kan penolakan ini?
Evaluasi terhadap pembelajaran dan ketercapaian kompetensi siswa
dalam bentuk ujian akhir telah dilaksanakan sejak tahun 1965 dengan beberapa
kali perubahan nama. Diawali dengan sebutan Ujian Negara, Evaluasi Belajar
Tahap Akhir Nasional, hingga Ujian Nasional sekarang ini. Pada tahun 2005, mulai
diberlakukan nilai minimal kelulusan pada Ujian Akhir Nasional. Sejak saat itu,
semakin marak bentuk penolakan, istighosah, doa bersama, ritual tahunan lainnya,
eksloitasi kecurangan dan ketidak-jujuran, dan bentuk lainnya. Tidak ada yang
salah dengan melakukan doa dan ibadah bersama lainnya dalam rangka menghadapi
Ujian Nasional, namun jika pelaksanaannya karena ketakutan terhadap UN, dan
tetap dibarengi dengan ketidak-jujuran secara berjamaah pada pelaksanaan UN,
maka ibadah tersebut menjadi sia-sia dan tidak bermakna. Bahkan akan semakin
menyudutkan UN sebagai penyebab utama dari segala dampak yang ada.
Bentuk Tes Pilihan Ganda adalah yang terbaik (?)
Tujuan utama dari suatu penilaian/evaluasi dari suatu proses
pembelajaran adalah memperoleh data yang valid, reliable, dan berguna tentang
perkembangan peserta didik (Miller, 2009). Diperlukan penentuan terhadap kompetensi
apa yang akan diukur juga bagaimana cara mengukur dan menilainya. Bentuk tes
pilihan ganda yang digunakan pada Ujian Nasional merupakan salah satu bentuk
tes objektif. Dikatakan objektif karena memiliki satu jawaban yang benar atau
yang terbaik sehingga penilaian pada bentuk tes ini didasarkan pada
objektifitas hasil kerja peserta tes. Berbeda dengan bentuk tes non-objektif,
seperti uraian bebas dan unjuk kinerja yang tidak memiliki satu jawaban yang
paling benar sehingga penilaian terhadap bentuk tes ini memungkinkan subjektifitas
yang tinggi dari yang menilai (penyekor).
Selain pilihan ganda, ada beberapa contoh lain dari jenis tes
objektif, misal benar-salah, mencocokkan, melengkapi dan uraian singkat. Dibandingkan
dengan tes objektif lain, pilihan ganda memiliki beberapa kelebihan, antara
lain (Miller, 2009) :
1. Adanya
alternatif jawaban membuat ambiguitas dan ketidakjelasan seperti yang biasa muncul pada tes jawab singkat dapat dihindari.
2. Dibandingkan
dengan tes benar-salah, tes pilihan ganda membuat siswa harus tahu jawaban yang
benar (bukan hanya sekedar tahu yang salah tanpa tahu kebenarannya).
3. Memungkinkan
kita untuk mengukur kemampuan pemahaman siswa (dengan menanyakan tentang alasan
terbaik, metode terbaik, maupun interpretasi terbaik).
4. Item
soal dianggap lebih reliabel dibanding item tes benar-salah.
5. Dibandingkan
dengan tes mencocokkan, tes pilihan ganda tidak membutuhkan topik yang homogen
dalam jumlah yang relatif banyak.
6. Relatif terbebas dari response
set.
7. Dengan menggunakan beberapa alternatif yang masuk akal
akan membuat hasil tes dapat dipertanggungjawabkan untuk didiagnosis
(kecenderungan jawaban salah yang dipilih oleh siswa mengindikasi adanya
ketidakpahaman yang membutuhkan koreksi).
Bentuk tes pilihan ganda dapat mengukur kompetensi kognitif
yang lebih tinggi dibandingkan bentuk benar-salah, mencocokkan, maupun bentuk
melengkapi. Namun untuk kompetensi yang lebih kompleks sepeti kemampuan memformulasikan
masalah, mengorganisir, mengintegrasi, analisis, menulis, komunikasi, dan
interpretasi data akan lebih cocok menggunakan bentuk tes unjuk kerja seperti
uraian bebas, portofolio, atau dalam bentuk produksi seperti karya ilmiah,
makalah, software, maupun hardware. Namun bentuk tes unjuk kerja ini tidak
dapat mengukur subjek kompetensi yang lebih luas dan detail. Beda dengan
pilihan ganda yang dapat mengukur lebih banyak kompetensi dan indikator apalagi
dengan begitu banyak kompetensi yang dipelajari selama 3 tahun di sekolah. Selain
itu, bentuk tes ini memiliki kelemahan yaitu memerlukan waktu yang lama dalam
penilaian/penyekoran dan juga tergolong unreliability
of scoring atau memiliki subjektifitas yang tinggi dalam penilaian.
Berdasarkan lampiran Permendiknas no. 23 tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan, begitu banyak standar kompetensi minimal yang harus
dimiliki oleh lulusan tiap jenjang studi. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa
bentuk pilihan ganda merupakan bentuk tes yang sangat mungkin dilakukan untuk
mengukur ketercapaian siswa terhadap banyaknya kompetensi dasar yang disyaratkan.
Patut dicatat, bahwa kesimpulan yang kita dapatkan di sini adalah bahwa UN
dengan bentuk pilihan ganda merupakan yang sangat mungkin (baca: terbaik) untuk
mengukur ketercapaian siswa, belum pada kesimpulan sebagai penentu kelulusan.
Sekolah, guru, peserta didik dapat dipercaya (?)
Tak dapat dipungkiri, desentralisasi pendidikan memiliki
beberapa dampak negatif. Begitu banyak sekolah negeri dan guru yang merupakan
Pegawai Negeri Sipil (PNS), sehingga pelaku-pelaku pendidikan tersebut tidak
dapat bekerja secara independen. Sekolah dan guru menjadi tidak kreatif dan
bergantung pada pemerintah. Akibat hirarki kepemimpinan tersebut menyebabkan ada
hubungan ‘kepatuhan, ketakutan, dan ketergantungan’ hingga mampu men-degradasi nilai
kejujuran
dalam interaksi sosial bangsa ini. Perilaku ‘asal bapak senang’, diduga menjadi
marak dalam rangka menyambut hadirnya UN. Segala cara dilakukan. Struktur vertikal
dari Gubernur hingga guru, dengan garis “komando” yang samar, menyebabkan
pen-degradasi-an nilai kejujuran seakan-akan suatu kewajiban untuk
menyelamatkan anak bangsa. Dan hal ini semakin diperparah dengan pandangan dari
orang tua peserta didik dan masyarakat terhadap hasil UN dari suatu sekolah. Jika
hasil buruk, sesuai dengan iklan salah satu instansi pemerintah, ‘Apa Kata
Dunia?’. Selayaknya, semua penelitian dan argumentasi yang menggunakan data
hasil ketidak-jujuran secara otomatis tak dapat diakui ketepatannya. Namun anehnya,
dengan alibi berpikir positif, kita semua meng-iya-kan kepura-puraan itu dan
mencari-cari alasan, bukan untuk membenarkan, tapi untuk hidup bersama
ketidak-jujuran itu.
Bagaimana dengan sang peserta didik? Tidak dapat dihindari,
merekapun turut dilibatkan para orang dewasa yang disebut pelaku pendidikan
itu. Maka pen-degradasi-an nilai kejujuran pun diwariskan pada peserta didik. “Mari,
kita bersama-sama tidak jujur”. Jujur dan tidak jujur memiliki perbedaan yang
tipis, hanya dibedakan pada tujuan akhir. Tidak ada lagi nilai kejujuran pada
tataran niat dan proses (pelaksanaan). Menyontek itu baik jika tujuannya adalah
untuk kelulusan. (sebagai catatan, sudahkah menonton film dokumenter Temani Aku
Bunda?)
Jika kita mengamini situasi di atas, apakah wacana kelulusan
yang ditentukan oleh masing-masing satuan pendidikan bisa dijamin lebih valid,
reliabel dan terpercaya daripada pelaksanaan yang distandarisasi secara
nasional? Tentu saja jawaban akan pertanyaan ini akan berbeda-beda. Dan tulisan
inipun bukan untuk men-judge, namun sebagai wacana perbandingan.
UN sebagai penentu kelulusan (?)
Dalam Permendikbud no. 3 tahun 2013 Bab II tentang Kriteria
Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan tertulis bahwa peserta didik
dinyatakan lulus dari satuan pendidikan setelah menyelesaikan seluruh program
pembelajaran, memperoleh nilai baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata
pelajaran, lulus ujian S/M/PK untuk mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan lulus UN. Ternyata, UN bukanlah satu-satunya syarat lulus dari satuan
pendidikan. Pada pasal selanjutnya terdapat penjelasan tentang syarat-syarat
tersebut, termasuk pembobotan 60% dari UN dan 40% dari nilai S/P/MK yang diuji
sebagai kriteria Nilai Akhir kelulusan, nilai rata-rata dari semua NA adalah 5,5
dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0.
Apakah ada yang merasa berat dengan syarat kelulusan lainnya selain
lulus UN? Secara pribadi, belum pernah mendengar keluhan tersebut. Dapat dimaklumi,
karena syarat kelulusan selain lulus UN dilakukan di
masing-masing satuan pendidikan. Dengan semangat yang sama pada proses
pen-degradasi-an nilai kejujuran, maka syarat kelulusan selain UN bukan
merupakan suatu hambatan.
Mari kita perhatikan sejenak perhitungan kelulusan tersebut. Dengan
asumsi bahwa semua peserta didik memperoleh nilai baik pada penilaian akhir
untuk seluruh mata pelajaran, lulus ujian S/M/PK untuk mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan nilai minimal 7,5, maka tiap peserta didik
hanya perlu menjawab 17 soal dengan benar dari 40 soal yang diberikan. Tidak
perlu menjawab benar hingga setengah dari keseluruhan soal.
Apakah itu suatu hal yang mustahil setelah pembelajaran
selama 3 tahun? Patut diingat bahwa kompetensi dan kemampuan yang dapat diukur
dari soal pilihan ganda bukanlah kompetensi dan kemampuan kompleks seperti yang
telah dibahas sebelumnya. Jika demikian adanya, ketakutan terhadap UN merupakan
suatu hal yang berlebihan. Apalagi hingga mengadakan pembelajaran berbasis bimbingan tes
selama satu semester sebagai persiapan menghadapi UN di sekolah.
Guru dan Sekolah sebagai penyebab utama (?)
Apakah perlu reposisi terhadap UN yang merupakan penentu
kelulusan (katanya) menjadi hanya sekedar alat pemetaan terhadap kondisi pendidikan
di Indonesia dengan bentuk sampling, masih perlu untuk dilihat lebih jauh lagi
pada akar permasalahan yang sebenarnya. Memang benar bahwa di beberapa negara
telah meniadakan ujian standar sebagai penentu kelulusan. Namun, dengan
pembagian 60% pada hasil UN (penilaian akhir) dan 40% dari S/P/MK sebagai
bentuk penilaian proses, kiranya perlu juga diapresiasi sebagai bentuk
pengakomodiran dan fleksibilitas dari pemerintah terhadap wacana penolakan dan
anti UN.
Berdasarkan penelitian Prof. John Hattie dari Universitas
Auckland dalam presentasi Mae Chu Cang (Bank Dunia), guru merupakan faktor
penting dalam perkembangan peserta didik (30%). Masih dalam presentasi
tersebut, disebutkan bahwa guru yang profesional dapat meningkatkan kemampuan siswa
saat Ujian Nasional menjadi 90% setelah 3 tahun bersekolah. Sedangkan guru
dengan kualitas yang rendah malah menurunkan kemampuan siswa menjadi 37%.
Selain itu, dalam laman kemdiknas.go.id, Mendiknas menyatakan
bahwa KTSP hanya mengakomodir tidak lebih dari 70% kompetensi yang diujikan
pada studi global seperti PISA, TIMSS dan PIRLS. Namun, dengan kompetensi
sebanyak 70% yang telah diajarkan, ternyata tidak mampu meningkatkan peraihan
rata-rata dalam studi-studi tersebut, bahkan pada studi TIMSS tahun 2011,
Indonesia hanya memperoleh 43% pada soal kategori low, 15% pada intermediate,
2% pada soal kategori high dan 0% pada soal kategori advanced. Dapat disimpulkan
bahwa kelemahan itu bukan hanya pada terlingkupinya semua materi/kompetensi
yang diujikan pada studi internasional pada kurikulum nasional kita, namun lebih
pada proses pembelajaran juga termasuk kompetensi guru dan metode pembelajarannya.
Diperlukan metode pembelajaran yang dapat menghasilkan
pembelajaran bermakna bagi siswa hingga siswa mampu berpikir kritis, kreatif,
dan memiliki kemampuan pemecahan masalah (HOTS=High Order Thinking Skills). Menurut
Ausubel, pembelajaran bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi
baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
peserta didik. Beda belajar bermakna dengan belajar hafalan adalah pada belajar
hafalan, peserta didik tidak mengaitkan informasi baru tersebut dengan konsep
yang relevan yang telah dia miliki. Pembelajaran bermakna lebih lama tersimpan
dalam struktur kognitif daripada hafalan. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran,
guru harus berusaha memberi makna pada setiap informasi baru tersebut.
Jika proses pembelajaran hanya berorientasi pada UN, dapat
kita yakini bentuk pembelajaran di kelas akan berupa latihan/drill. Dan ini
merupakan bentuk dari belajar hafalan (Ausubel, 1968). Ciri yang dapat dilihat dari
belajar hafalan adalah menerapkan rumus untuk memecahkan masalah dan pemecahan
dengan coba-coba.
Begitu besar peran guru dalam pendidikan, namun dalam
kurikulum 2013 yang akan dilaksanakan pada Juli 2013, justru ada kecenderungan
untuk semakin mengkerdilkan peran guru. Guru tidak dilatih dan dididik untuk
kreatif, peka terhadap kebutuhan dan mengerti perbedaan masing-masing peserta
didik, namun dilatih untuk menjalankan panduan yang terdapat dalam buku Babon
yang dirilis secara nasional. Kemampuan guru dapat dilatih agar sesuai dengan
buku panduan, namun pemerintah lupa bahwa kebutuhan, kemampuan, kecerdasan,
pemahaman, kondisi psikologi dari tiap siswa secara individu maupun regional
berbeda. Apakah mereka (penulis buku Babon) dapat menjamin bahwa panduan yang
mereka cantumkan dalam buku merupakan kebutuhan dan sesuai kemampuan seluruh
peserta didik di seluruh Indonesia? Secara pribadi penulis sangsi bahwa para
penulis buku babon pernah mengajari peserta didik pada sekolah di pelosok Indonesia.
Jadi, apakah UN atau strategi pembelajaran di kelas yang
merupakan masalah dari kondisi pendidikan bangsa Indonesia?
Pada bagian akhir ini, penulis berkesimpulan bahwa perlu
adanya moratorium terhadap pelaksanaan UN ini mengingat dampak yang
ditimbulkannya. Perlu waktu untuk mengkondisikan kembali pemahaman yang
sebenarnya tentang belajar, baik oleh guru maupun oleh peserta didik juga
masyarakat. Selain itu pula, sentralisasi guru (bagi guru PNS, berada di bawah
Kemendikbud bukan Pemda) untuk pemerataan kualitas pendidik di seluruh
Indonesia dan pendidikan serta pelatihan berkelanjutan bagi setiap guru
merupakan hal penting lainnya yang perlu diprioritaskan pemerintah selama
pelaksanaan moratorium terhadap UN.
Terima kasih.
Yandri Soeyono
11:50 AM
IndonesiaUN, Guru, dan Kurikulum 2013
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
11:50 AM
Merupakan kebanggaan orang tua jika memiliki anak yang mampu berpikir cerdas dan kreatif. Secara umum, dapat kita katakan bahwa anak tersebut pintar. Coba kita lihat kondisi tersebut dari sisi negatif, ketika pada derajat kepintaran yang sama, kecerdasan dan kreatifitas tersebut digunakan untuk hal-hal yang tidak diharapkan banyak orang, maka istilah cerdas bisa saya ganti dengan licik.
Cerdas dan licik memiliki perbedaan yang sangat tipis, setipis niat yang mencabangkan konsep ilmu dan pengetahuan yang dimiliki mengarah pada perilaku dan produk-produk lainnya yang tidak bermoral dan bertentangan dengan norma-norma yang dianut (baca: karakter bangsa/Pancasila). Misal Korupsi. Jelas, seluruh bangsa Indonesia memiliki satu suara bahwa korupsi bukanlah karakter bangsa ini, namun seakan-akan ini telah menjadi budaya yang berkembang sporadis dan sangat mencandu.
Ya, pendidikan karakter dibutuhkan bangsa ini untuk berubah. Tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa moral dan karakter bukan untuk diajarkan atau mungkin menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga, bukan sekolah. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa saat ini keluarga Indonesia lebih banyak menaruh harapan kepada sekolah untuk mendidik anaknya, "menitipkan" pada ustad untuk belajar agama, dan sebagainya. Sekolah saat ini memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk membina anak-anak bangsa!
Moral lebih baik dicontohkan bukan diajarkan, namun dengan mengarahkan dalam proses pembelajaran yang bermakna, mampu memberikan pengalaman kepada siswa bahwa mana yang memiliki nilai baik dan mana yang tidak dapat diterima oleh masyarakat luas. "Dilarang korupsi" bukanlah yang harus diteriakkan di dalam kelas sebagai proses transfer konsep, tapi dengan mengajarkan manfaat dari pajak yang dapat membangun peradaban dan membantu bagi warga negara yang membutuhkan, bisa menyentuh sisi manusiawi tiap siswa. Selanjutnya, tanyakan kepada mereka, bagaimana jika uang tersebut dirampok. Jika anda pernah kecil, saya yakin tidak semua nilai, moral, dan karakter yang baik anda dapatkan dari contoh orang tua anda maupun orang yang lebih tua di sekitar anda. Anda juga pasti dapatkan dari membaca, diceramahi, menonton, dan diajari.
Kurikulum 2013 Sebagai Bentuk "Pemaksaan" Secara Sistem
Dalam kaitan terhadap pengembangan kompetensi Guru, telah adanya perubahan yang dilakukan pemerintah. Misal untuk kenaikan pangkat diwajibkan bagi Guru melakukan penelitian, dan beberapa syarat lainnya. Untuk merangsang dan perbaikan kesejahteraan diberikan tunjangan profesi Guru bagi yang telah memiliki sertifikat pendidik melalui penilaian portofolio dan pendidikan profesi. Selain itu, bentuk intervensi pemerintah terhadap pengembangan kompetensi Guru juga melalui Standar Kualifikasi Akademik Guru yang diwajibkan memiliki kualifikasi minimal adalah Sarjana. Berbagai bentuk pemaksaan yang dilakukan pemerintah terhadap Guru sudah selayaknya dipandang dari sisi positif, demi kebutuhan anak bangsa.
Bagaimana dengan kurikulum 2013? Paradigma pendidikan abad 21 ini telah mengalami pergeseran, dari yang bersifat teacher centered menjadi student centered, dari mengajar yang sekedar transfer of knowledge menjadi pembelajaran bermakna yang lebih kontekstual. Sejak Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dibuat, paradigma tentang pendidikan abad 21 pun telah dikumandangkan. Pembelajaran yang konstruktif dan kontekstual yang dapat merangsang cara berpikir tingkat tinggi siswa diharapkan dapat dilaksanakan di kelas. Namun apa daya, kenyataan yang terjadi adalah sebagian besar cara pembelajaran di kelas belum sesuai yang diharapkan. Silabus dan RPP merupakan saduran/jiplak, berdasarkan hasil penelitian yang dapat dilihat di sini.
Benar, jika ada yang berpendapat bahwa, jika Guru belum mampu membuat silabus, jangan kurikulum yang dirubah, tapi latih Guru. Sesuai janji pemerintah, akan dilaksanakan pelatihan terhadap Guru. Yang perlu kita suarakan adalah bahwa pelatihan Guru bukan hanya untuk kurikulum ini saja. Jarak antara pengetahuan Guru-Guru di Indonesia terhadap metode mengajar sudah sangat jauh, apalagi jika ditambah dengan variabel lain dalam dunia kependidikan. Pelatihan itu hak setiap Guru, dan merupakan kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi. Dosa ini harus segera dibayar. Selain dari hak mendapat pelatihan bagi Guru, kurikulum pun patut diperhatikan. pembelajaran tematik integratif telah ada di KTSP, kenapa tidak dijalankan dan kenapa sekarang diributkan? Dapat disimpulkan bahwa butuh pemaksaan yang lebih eksplisit dalam kurikulum agar mampu diterjemahkan secara jelas oleh Guru dan sekolah. Sejak dulu, Guru di SD merupakan Guru kelas yang mampu mengajarkan berbagai bidang studi. Berdasarkan usia mereka, siswa SD akan lebih 'nyaman' melakukan pembelajaran dengan bermain sesuai tema yang ada daripada harus belajar mata pelajaran matematika yang menurut cerita dari kakak mereka merupakan 'momok'.
Materi Kompetensi Dasar Yang 'Lucu'
Awal membaca Kompetensi Dasar Kurikulum 2013 yang beredar di internet pasti akan terheran-heran dengan Kompetensi Dasar yang meruakan pejabaran dari kompetensi inti pertama dan kedua. Misal Kompetensi Dasar 2.1 pada SD kelas I, 'Menunjukkan perilaku patuh pada aturan dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan sesuai prosedur/aturan dengan memperhatikan nilai tempat puluhan dan satuan'. Masih banyak Kompetensi Dasar lainnya yang akan menjadikan kita bertanya-tanya, bagaimana mengukurnya, bagaimana mengajarkannya?
Tinggalkan sejenak ke'lucu'an Kompetensi Dasar tersebut. Coba kita perhatikan Kompetensi Dasar yang merupakan penjabaran dari Kompetensi Inti ketiga dan keempat (kompetensi konsep dan implementasi). Dalam opini yang dapat dibaca di sini, Mendikbud menyatakan bahwa untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, kurang dari 70 persen materi TIMSS yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII SMP. Dengan kata lain terdapat 30% materi yang diujikan di TIMSS belum pernah diajarkan pada siswa kelas VIII. Pada kurikulum 2013, masalah tersebut terfasilitasi. Patut diingat, bahwa ini adalah Kompetensi Dasar pejabaran dari Kompetensi Inti konsep dan implementasinya.
Kembali pada Kompetensi Inti Spiritual dan Sikap. Menurut berbagai sumber, kompetensi yang ada bukanlah untuk diajarkan di kelas, namun kompetensi ini diharapkan akan dimiliki siswa setelah mempelajari konsep dan implementasi dari ilmu yang dipelajari. hal tentang ini sudah dipaparkan pada awal tulisan ini.
Kreatifitas Guru Dikekang
Dalam tiap laporan atau berita tentang sosialisasi kurukulum 2013, selalu didengungkan bahwa kerja Guru akan dipermudah dengan tidak perlu lagi membuat silabus. Dan para Guru pun diberitakan menyambut baik berita ini. Namun, berdasarkan opini yang ditulis oleh Bambang Indriyanto yang dapat dibaca di sini, hal tersebut merupakan standar minimal yang diberlakukan secara nasional. Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk sekolah yang menginginkan standar yang lebih tinggi dengan membuat RPP sendiri. dalam tulisan tersebut juga dijelaskan bahwa penggunaan buku Baboon tidak dimaksudkan sebagai bentuk sentralisasi kurikulum dan penyeragaman, tetapi dimaksudkan untuk standarisasi dalam pelaksanaan kurikulum. Hal ini didasarkan pada adanya kecenderungan tidak setaranya kurikulum yang digunakan oleh satuan pendidikan. Kecenderungan ini terjadi karena adanya perbedaan kompetensi Guru, sehingga ada satuan pendidikan yang mengadopsi kurikulum dari satuan pendidikan atau contoh dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan, tanpa melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi satuan pendididkan tempat Guru tersebut mengajar. Buku Babon didisain untuk memfasilitasi Guru melakukan tugas mengajarnya dan peserta didik mengikuti kegiatan belajar mengajar. Buku Babon direncanakan untuk memuat isi mata pelajaran, metode mengajar, dan metode evaluasi. Dengan ketiga komponen tersebut, Guru diharapkan dapat melakukan diagnosis terhadap kesulitan belajar peserta didik dan peserta didik diharapkan akan mengetahui pada topik bahasan yang mana dia mengalami kesulitan untuk memahaminya. Keberadaan Buku Babon merupakan standar minimum yang harus dicapai oleh setiap siswa. Jika ada satuan pendidikan yang mampu untuk mencapai lebih tinggi dari standar yang ditetapkan pada Buku Babon Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak melarangnya, bahkan mendorong setiap satuan pendidikan dapat mencapai target yang lebih tinggi.
Dari awal munculnya wacana kurikulum 2013 hingga saat ini, ada satu harapan besar terhadapnya dari pribadi ini, yaitu agar metode pembelajaran dan penilaian yang selama ini berjalan layaknya suatu tradisi dapat berubah sesuai kebutuhan anak bangsa saat ini. Pembelajaran di kelas-kelas seluruh Indonesia dapat lebih kontekstual dan menyenangkan, siswa dapat menggunakan otak dan akalnya untuk berpikir kritis dan kreatif, memiliki sensitifitas terhadap karakter bangsa, dan memiliki akhlak baik yang dimulai dengan niat mulia. Mari, bersama-sama kita tagih penebusan dosa pemerintah terhadap Guru yaitu dengan memfasilitasi pelatihan dan pendidikan berkelanjutan untuk SELURUH GURU untuk mendekatkan lebar jurang pengetahuan Guru terhadap metode mengajar dan ilmu pendidikan lainnya.
Yandri Soeyono
2:24 AM
IndonesiaKurikulum 2013, Pemaksaan Secara Sistem
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
2:24 AM
Karakteristik Sistem Pendidikan Terbaik Finlandia
*tulisan ini merupakan saduran.
Finlandia adalah negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Berdasarkan survei Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2000 dengan membandingkan pelajar usia 15 tahun dari berbagai negara, Finlandia meraih peringkat teratas. Survei itu membandingkan pelajar usia 15 tahun dari berbagai negara pada bidang baca-tulis, matematika, dan sains.
Survei yang dilakukan setiap 3 tahun sekali oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2009 menempatkan pelajar Finlandia tetap nyaris teratas pada ketiga kompetensi tersebut. Sementara itu survei global mengenai kualitas hidup oleh Newsweek, Finlandia ditasbihkan sebagai negara dengan kualitas hidup nomor satu di dunia.
Pasi Sahlberg, Direktur Mobilitas Internasional, Departemen Pendidikan Nasional Finlandia telah menulis buku tentang kesuksesan sistem pendidikan Finlandia yang berjudul Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland?. Berikut adalah karakteristik sistem pendidikan Finlandia yang terbaik di dunia.
Pilihan Sekolah Sedikit dan Semua Dikelola Pemerintah
Mulai sekolah setingkat TK sampai perguruan tinggi, pelajar-pelajar Finlandia bersekolah di sekolah negeri. Hanya ada sedikit sekolah swasta di Finlandia, dan bahkan semuanya dibiayai pemerintah. Tidak ada yang diperbolehkan untuk membebankan biaya sekolah.
Variasi pilihan sekolah di Finlandia sangat sedikit. Di sana, pilihan sekolah tidak lagi menjadi prioritas utama. Kunci kesuksesan Finlandia dalam memperbaiki sistem pendidikannya adalah mereka tidak mengejar keunggulan akademis (excellence), tapi kesetaraan (equity).
Setiap anak harus memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, tanpa melihat latar belakang keluarga, pendapatan, atau lokasi geografis. Pendidikan utamanya bukanlah cara untuk menghasilkan individu yang cerdas, tetapi sebagai alat untuk meratakan kesenjangan sosial. Keunggulan akademis bukanlah prioritas khusus bagi Finlandia, tetapi Finlandia berhasil menciptakan keunggulan akademik melalui fokus kebijakan pada kesetaraan.
Finlandia menyediakan sekolah yang sehat dan lingkungan yang aman untuk anak-anak. Mereka menawarkan semua anak makanan sekolah gratis, akses mudah ke perawatan kesehatan, konseling psikologis, dan bimbingan individual.
Tidak Ada Kompetisi di Sekolah Finlandia
Sistem pendidikan Finlandia juga tidak mengenal istilah kompetisi dan sistem peringkat. Tidak ada daftar sekolah terbaik atau guru terbaik di Finlandia. Pendorong utama dari kebijakan pendidikan bukanlah persaingan antar guru dan antar sekolah, tapi kerjasama. Siswa dengan development disorder ataupun penyandang cacat diletakkan pada kelas yang sama dengan siswa umum lainnya. Mereka tidak mengukur prestasi hanya untuk memberi label pada siswa.
Finlandia memandang kompetisi dalam lingkungan pendidikan merupakan konsep yang destruktif. Mental anak dapat dihancurkan oleh evaluasi terus-menerus dan membuat anak-anak kurang percaya diri dengan kemampuannya. Bagi Finlandia, ketika anak-anak dapat unggul pada apa yang mereka dapat lakukan dengan baik, bukan diukur untuk memenuhi standar, mereka dapat menghasilkan performa yang terbaik.
Anak-anak harus diberikan pendidikan sehingga mereka dapat berkembang terlepas dari bakat mereka. Tujuan pendidikan seyogianya dapat membentuk anak menjadi manusia yang lebih baik yang menghargai diri mereka sendiri dan dapat bersosialisasi dalam kehidupan tanpa berpikir bahwa mereka lebih 'pintar' atau sebaliknya, tidak berharga.
Tidak Ada Ujian Standar, yang Ada Ujian Matrikulasi Nasional
Negara yang menerapkan kapitalisme di sistem pendidikannya selalu terobsesi dengan pertanyaan berikut: Bagaimana cara memantau kinerja siswa jika tidak diuji secara konstan? Bagaimana bisa meningkatkan pengajaran jika tidak ada pertanggungjawaban ke guru yang 'payah' atau tidak memberikan penghargaan pada guru yang baik? Bagaimana cara menciptakan kompetisi dan melibatkan sektor swasta? Bagaimana cara menciptakan variasi pilihan sekolah kepada orang tua atau pelajar?
Jawaban dari realita Finlandia tampaknya bertentangan dengan mindset orang Amerika ataupun para reformis pendidikan lainnya. Finlandia tidak memiliki ujian nasional pada tiap jenjang pendidikan. Yang ada hanyalah Ujian Matrikulasi Nasional yang diambil pada jenjang sekolah menengah atas yang bersifat 'sukarela'.
Wajib belajar di Finlandia sendiri adalah antara usia 7-16 tahun. SD 6 tahun dan SMP 3 tahun. Setelah lulus SMP, siswa memiliki pilihan boleh langsung masuk dunia kerja atau masuk sekolah persiapan profesi atau gimnasium (setingkat sekolah menengah atas). Lulusan sekolah menengah atas ini nantinya bisa lanjut lagi ke politeknik ataupun universitas. Pada intinya, tidak ada UN SD dan SMP.
Kurikulum Pendidikan yang Fleksibel
Sekolah di Finlandia tidak terikat dengan kurikulum pendidikan yang seragam. Sekolah tidak harus menerapkan kurikulum yang sama dengan metode yang sama pada jadwal yang sama. Kementerian Pendidikan meluncurkan "Kurikulum Dasar" yang fleksibel, semacam panduan umum mengenai mata pelajaran apa yang harus diajarkan dan tujuan yang harus dicapai di setiap tingkat kelas.
Kurikulum Dasar ini berlaku sebagai dasar untuk setiap sekolah saat mereka mempersiapkan kurikulum sendiri, di mana mereka dapat berkreasi menekankan pada pedagogi tertentu, nilai tertentu (misalnya, sekolah hijau), keterampilan (seni, olahraga, bahasa), atau isu-isu lokal (misalnya, sekolah multikultural).
Setiap kelas difasilitasi hingga 3 orang guru. Apa yang guru peroleh dari pendidikannya memberi mereka berbagai macam metode pengajaran yang dapat digunakan sesuka mereka. Keanekaragaman dipandang sebagai kekuatan yang nyata dengan tidak mengisolasi siswa yang berbakat.
Para siswa di Finlandia sangat menikmati belajar, selalu rindu sekolah, tidak rela tidak sekolah hanya karena libur ekstra atau sakit. Sekolah-sekolah di Finlandia sangat sedikit memberikan PR (tidak lebih dari 1/2 jam waktu pengerjaan) dan lebih banyak melibatkan siswanya dalam aktivitas yang lebih kreatif.
Bisa dikatakan guru lah kunci keberhasilan dari sistem sekolah Finlandia, dan individualitas yang diperbolehkan dalam kelas. Para guru melihat siswanya sebagai individu dengan kebutuhan yang berbeda: fokus pada masing-masing anak dan kekuatan serta problem tiap anak.
Guru Memiliki Tanggung Jawab yang Besar
Guru-guru di sekolah negeri Finlandia mendapatkan pelatihan khusus untuk dapat menilai siswa satu kelas menggunakan tes independen yang mereka ciptakan sendiri. Setiap anak mendapatkan kartu rapor tiap akhir semester, tapi rapor ini berdasarkan penilaian individu oleh tiap guru. Secara berkala, Menteri Pendidikan memantau kemajuan nasional dengan menguji beberapa sampel kelompok dari sekolah yang berbeda.
Sistem ini memungkinkan dihasilkannya penilaian yang sangat spesifik ke kemampuan tiap individu anak. Bukan sistem penilaian umum yang mungkin kurang dapat menjangkau kemampuan spesifik tiap anak. Guru dapat mengeluarkan kreatifitasnya untuk memberikan perhatian khusus ke tiap anak. Guru jadi punya tanggung jawab dan peran yang lebih besar.
Kadang seorang guru tahu apa yang harus dilakukan untuk membantu siswanya tapi dibatasi oleh sistem sekolah yang menyatakan bahwa lebih penting untuk bergerak lanjut mengikuti kurikulum yang ada daripada memperlambat "hanya demi" siswa-siswa yang membutuhkan waktu tambahan dalam menerima pelajaran.
Guru dan staf administrasi sekolah di Finlandia memiliki martabat atau gengsi yang tinggi, gaji yang layak, dan banyak tanggung jawab. Gelar Master (S2) diperlukan untuk menjadi guru. Program pelatihan guru di Finlandia adalah salah satu sekolah profesional yang paling selektif di negara ini. Jika terdapat guru yang performanya buruk, tanggung jawab kepala sekolah untuk menangani hal tersebut.
Kebijakan pendidikan lebih penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan negara daripada ukuran negara tersebut atau keanekaragaman etnis di negara itu. 20 tahun lalu Finlandia adalah negara miskin yang bergantung pada sektor agrikultur. Namun, mereka berhasil bangkit dan membutuhkan waktu hingga satu generasi setelah mereformasi sistem pendidikan negaranya.
Mereka meyakini bahwa kesetaraan dalam pembelajaran dini akan memungkinkan anak-anak untuk menemukan potensi sejati mereka ketika mereka tumbuh dewasa. Bagaimana dengan sistem pendidikan Indonesia? Bapak Ibu mampu untuk membandingkannya sendiri.
*) Sumber bacaan: Lupakan Amerika, Pendidikan di Finlandia yang Terbaik Sedunia
Sumber: http://www.sekolahdasar.net/2013/03/karakteristik-sistem-pendidikan-terbaik.html#ixzz2Nm53d8eB Yandri Soeyono 11:13 PM Indonesia
*tulisan ini merupakan saduran.
Survei yang dilakukan setiap 3 tahun sekali oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2009 menempatkan pelajar Finlandia tetap nyaris teratas pada ketiga kompetensi tersebut. Sementara itu survei global mengenai kualitas hidup oleh Newsweek, Finlandia ditasbihkan sebagai negara dengan kualitas hidup nomor satu di dunia.
Pasi Sahlberg, Direktur Mobilitas Internasional, Departemen Pendidikan Nasional Finlandia telah menulis buku tentang kesuksesan sistem pendidikan Finlandia yang berjudul Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland?. Berikut adalah karakteristik sistem pendidikan Finlandia yang terbaik di dunia.
Pilihan Sekolah Sedikit dan Semua Dikelola Pemerintah
Mulai sekolah setingkat TK sampai perguruan tinggi, pelajar-pelajar Finlandia bersekolah di sekolah negeri. Hanya ada sedikit sekolah swasta di Finlandia, dan bahkan semuanya dibiayai pemerintah. Tidak ada yang diperbolehkan untuk membebankan biaya sekolah.
Variasi pilihan sekolah di Finlandia sangat sedikit. Di sana, pilihan sekolah tidak lagi menjadi prioritas utama. Kunci kesuksesan Finlandia dalam memperbaiki sistem pendidikannya adalah mereka tidak mengejar keunggulan akademis (excellence), tapi kesetaraan (equity).
Setiap anak harus memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, tanpa melihat latar belakang keluarga, pendapatan, atau lokasi geografis. Pendidikan utamanya bukanlah cara untuk menghasilkan individu yang cerdas, tetapi sebagai alat untuk meratakan kesenjangan sosial. Keunggulan akademis bukanlah prioritas khusus bagi Finlandia, tetapi Finlandia berhasil menciptakan keunggulan akademik melalui fokus kebijakan pada kesetaraan.
Finlandia menyediakan sekolah yang sehat dan lingkungan yang aman untuk anak-anak. Mereka menawarkan semua anak makanan sekolah gratis, akses mudah ke perawatan kesehatan, konseling psikologis, dan bimbingan individual.
Tidak Ada Kompetisi di Sekolah Finlandia
Sistem pendidikan Finlandia juga tidak mengenal istilah kompetisi dan sistem peringkat. Tidak ada daftar sekolah terbaik atau guru terbaik di Finlandia. Pendorong utama dari kebijakan pendidikan bukanlah persaingan antar guru dan antar sekolah, tapi kerjasama. Siswa dengan development disorder ataupun penyandang cacat diletakkan pada kelas yang sama dengan siswa umum lainnya. Mereka tidak mengukur prestasi hanya untuk memberi label pada siswa.
Finlandia memandang kompetisi dalam lingkungan pendidikan merupakan konsep yang destruktif. Mental anak dapat dihancurkan oleh evaluasi terus-menerus dan membuat anak-anak kurang percaya diri dengan kemampuannya. Bagi Finlandia, ketika anak-anak dapat unggul pada apa yang mereka dapat lakukan dengan baik, bukan diukur untuk memenuhi standar, mereka dapat menghasilkan performa yang terbaik.
Anak-anak harus diberikan pendidikan sehingga mereka dapat berkembang terlepas dari bakat mereka. Tujuan pendidikan seyogianya dapat membentuk anak menjadi manusia yang lebih baik yang menghargai diri mereka sendiri dan dapat bersosialisasi dalam kehidupan tanpa berpikir bahwa mereka lebih 'pintar' atau sebaliknya, tidak berharga.
Tidak Ada Ujian Standar, yang Ada Ujian Matrikulasi Nasional
Negara yang menerapkan kapitalisme di sistem pendidikannya selalu terobsesi dengan pertanyaan berikut: Bagaimana cara memantau kinerja siswa jika tidak diuji secara konstan? Bagaimana bisa meningkatkan pengajaran jika tidak ada pertanggungjawaban ke guru yang 'payah' atau tidak memberikan penghargaan pada guru yang baik? Bagaimana cara menciptakan kompetisi dan melibatkan sektor swasta? Bagaimana cara menciptakan variasi pilihan sekolah kepada orang tua atau pelajar?
Jawaban dari realita Finlandia tampaknya bertentangan dengan mindset orang Amerika ataupun para reformis pendidikan lainnya. Finlandia tidak memiliki ujian nasional pada tiap jenjang pendidikan. Yang ada hanyalah Ujian Matrikulasi Nasional yang diambil pada jenjang sekolah menengah atas yang bersifat 'sukarela'.
Wajib belajar di Finlandia sendiri adalah antara usia 7-16 tahun. SD 6 tahun dan SMP 3 tahun. Setelah lulus SMP, siswa memiliki pilihan boleh langsung masuk dunia kerja atau masuk sekolah persiapan profesi atau gimnasium (setingkat sekolah menengah atas). Lulusan sekolah menengah atas ini nantinya bisa lanjut lagi ke politeknik ataupun universitas. Pada intinya, tidak ada UN SD dan SMP.
Kurikulum Pendidikan yang Fleksibel
Sekolah di Finlandia tidak terikat dengan kurikulum pendidikan yang seragam. Sekolah tidak harus menerapkan kurikulum yang sama dengan metode yang sama pada jadwal yang sama. Kementerian Pendidikan meluncurkan "Kurikulum Dasar" yang fleksibel, semacam panduan umum mengenai mata pelajaran apa yang harus diajarkan dan tujuan yang harus dicapai di setiap tingkat kelas.
Kurikulum Dasar ini berlaku sebagai dasar untuk setiap sekolah saat mereka mempersiapkan kurikulum sendiri, di mana mereka dapat berkreasi menekankan pada pedagogi tertentu, nilai tertentu (misalnya, sekolah hijau), keterampilan (seni, olahraga, bahasa), atau isu-isu lokal (misalnya, sekolah multikultural).
Setiap kelas difasilitasi hingga 3 orang guru. Apa yang guru peroleh dari pendidikannya memberi mereka berbagai macam metode pengajaran yang dapat digunakan sesuka mereka. Keanekaragaman dipandang sebagai kekuatan yang nyata dengan tidak mengisolasi siswa yang berbakat.
Para siswa di Finlandia sangat menikmati belajar, selalu rindu sekolah, tidak rela tidak sekolah hanya karena libur ekstra atau sakit. Sekolah-sekolah di Finlandia sangat sedikit memberikan PR (tidak lebih dari 1/2 jam waktu pengerjaan) dan lebih banyak melibatkan siswanya dalam aktivitas yang lebih kreatif.
Bisa dikatakan guru lah kunci keberhasilan dari sistem sekolah Finlandia, dan individualitas yang diperbolehkan dalam kelas. Para guru melihat siswanya sebagai individu dengan kebutuhan yang berbeda: fokus pada masing-masing anak dan kekuatan serta problem tiap anak.
Guru Memiliki Tanggung Jawab yang Besar
Guru-guru di sekolah negeri Finlandia mendapatkan pelatihan khusus untuk dapat menilai siswa satu kelas menggunakan tes independen yang mereka ciptakan sendiri. Setiap anak mendapatkan kartu rapor tiap akhir semester, tapi rapor ini berdasarkan penilaian individu oleh tiap guru. Secara berkala, Menteri Pendidikan memantau kemajuan nasional dengan menguji beberapa sampel kelompok dari sekolah yang berbeda.
Sistem ini memungkinkan dihasilkannya penilaian yang sangat spesifik ke kemampuan tiap individu anak. Bukan sistem penilaian umum yang mungkin kurang dapat menjangkau kemampuan spesifik tiap anak. Guru dapat mengeluarkan kreatifitasnya untuk memberikan perhatian khusus ke tiap anak. Guru jadi punya tanggung jawab dan peran yang lebih besar.
Kadang seorang guru tahu apa yang harus dilakukan untuk membantu siswanya tapi dibatasi oleh sistem sekolah yang menyatakan bahwa lebih penting untuk bergerak lanjut mengikuti kurikulum yang ada daripada memperlambat "hanya demi" siswa-siswa yang membutuhkan waktu tambahan dalam menerima pelajaran.
Guru dan staf administrasi sekolah di Finlandia memiliki martabat atau gengsi yang tinggi, gaji yang layak, dan banyak tanggung jawab. Gelar Master (S2) diperlukan untuk menjadi guru. Program pelatihan guru di Finlandia adalah salah satu sekolah profesional yang paling selektif di negara ini. Jika terdapat guru yang performanya buruk, tanggung jawab kepala sekolah untuk menangani hal tersebut.
Kebijakan pendidikan lebih penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan negara daripada ukuran negara tersebut atau keanekaragaman etnis di negara itu. 20 tahun lalu Finlandia adalah negara miskin yang bergantung pada sektor agrikultur. Namun, mereka berhasil bangkit dan membutuhkan waktu hingga satu generasi setelah mereformasi sistem pendidikan negaranya.
Mereka meyakini bahwa kesetaraan dalam pembelajaran dini akan memungkinkan anak-anak untuk menemukan potensi sejati mereka ketika mereka tumbuh dewasa. Bagaimana dengan sistem pendidikan Indonesia? Bapak Ibu mampu untuk membandingkannya sendiri.
*) Sumber bacaan: Lupakan Amerika, Pendidikan di Finlandia yang Terbaik Sedunia
Sumber: http://www.sekolahdasar.net/2013/03/karakteristik-sistem-pendidikan-terbaik.html#ixzz2Nm53d8eB Yandri Soeyono 11:13 PM Indonesia
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
11:13 PM
Roh = Akal dan Hati?
Pada perkuliahan terakhir Filsafat Ilmu (semester ganjil tahun
ajaran 2012/2013), diceritakan/ berbagi pengalaman tentang beberapa hal
termasuk roh, larangan mendahului kehendak Tuhan, Ikhtiar dan Doa. Lebih kepada
spiritual, karena saat mempelajari filsafat, harus diperkuat terlebih dahulu
spiritual masing-masing, demikian anjuran yang kami terima.
Menurut ilmu batin pada diri manusia
terdapat sembilan jenis Roh (sumber: http://terapialkautsar.blogspot.com/2011/06/9-jenis-roh-manusia.html). Masing-masing roh mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Ke sembilan macam roh
yang ada pada manusia itu adalah sebagai berikut :
- Roh Idofi (Roh Ilofi) : adalah roh yang sangat utama bagi manusia. Roh Idofi juga disebut JIWA AWAL SUCI, karena roh inilah maka manusia dapat hidup. Bila roh tersebut keluar dari raga, maka manusia yang bersangkutan akan mati. Roh ini sering disebut NYAWA.
- Roh Rabani : Roh yang dikuasai dan diperintah oleh roh idofi. Alamnya roh ini ada dalam cahaya kuning diam tak bergerak. Bila kita berhasil menjumpainya maka kita tak mempunyai kehendak apa-apa. Hatipun terasa tenteram. Tubuh tak merasakan apa-apa.
- Roh Rohani : Roh inipun juga dikuasai oleh roh idofi. Karena adanya roh Rohani ini, maka manusia memiliki kehendak dua rupa. Kadang-kadang suka sesuatu, tetapi di lain waktu ia tak menyukainya. Roh ini mempengaruhi perbuatan baik dan perbuatan buruk. Roh inilah yang menepati pada 4 jenis nafsu, yaitu :
- Nafsu Luwamah (aluamah)
- Nafsu Amarah
- Nafsu Supiyah
- Nafsu Mulamah (Mutmainah).
- Roh Nurani : Roh ini dibawah pengaruh roh-roh Idofi. Roh Nurani ini mempunyai pembawa sifat terang. Karena adanya roh ini menjadikan manusia yang bersangkutan jadi terang hatinya. Kalau Roh Nurani meninggalkan tubuh maka orang tersebut hatinya menjaid gelap dan gelap pikirannya.
- Roh Kudus (Roh Suci) : Roh yang di bawah kekuasaan Roh Idofi juga. Roh ini mempengaruhi orang yang bersangkutan mau memberi pertolongan kepada sesama manusia, mempengaruhi berbuat kebajikan dan mempengaruhi berbuat ibadah sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya.
- Roh Rahmani : Roh dibawah kekuasaan roh idofi pula. Roh ini juga disebut Roh Pemurah. Karena diambil dari kata Rahman yang artinya pemurah. Roh ini mempengaruhi manusia bersifat sosial, suka memberi.
- Roh Jasmani : Roh yang juga di bawah kekuasaan Roh Idofi. Roh ini menguasai seluruh darah dan urat syaraf manusia. Karena adanya roh jasmani ini maka manusia dapat merasakan adanya rasa sakit, lesu, lelah, segar dan lain-lainnya. Bila Roh ini keluar dari tubuh, maka ditusuk jarumpun tubuh tidak terasa sakit. Kalau kita berhasil menjumpainya, maka ujudnya akan sama dengan kita, hanya berwarna merah.
- Roh Nabati : ialah roh yang mengendalikan perkembangan dan pertumbuhan badan. Roh ini juga di bawah kekuasaan Roh Idofi.
- Roh Rewani : ialah roh yang menjaga raga kita. Ketika Roh Rewani keluar dari tubuh maka orang yang bersangkutan akan tidur. ketika masuk ke tubuh orang akan terjaga kembali. Bila orang tidur bermimpi dengan arwah seseorang, maka roh rewani dari orang bermimpi itulah yang menjumpainya. Jadi mimpi itu hasil kerja roh rewani yang mengendalikan otak manusia. Roh Rewani ini juga di bawah kekuasaan Roh Idofi. Jadi kepergian Roh Rewani dan kehadirannya kembali diatur oleh Roh Idofi. Demikian juga roh-roh lainnya dalam tubuh, sangat dekat hubungannya dengan Roh Idofi
Dalam situs
tersebut tidak dicantumkan sumber ilmu tersebut, ini hanya sekedar sharing dan
berbagi informasi dari apa yang saya dapat. Tentunya penjelasan mengenai roh di
atas tidak bisa serta-merta diterima begitu saja, namun perlu pendalaman
terhadap kebenaran isinya. Namun menurut saya pribadi, roh itu adalah akal
pikiran dan hati kita sendiri.
Itulah hebatnya
pikiran dan perasaan yang diberikan Tuhan kepada manusia, dapat menembus ruang
dan waktu hingga ke dimensi lain yang jasmani kita tak mampu menjamahnya. Bahkan,
pikiran kita saat sadar pun mungkin tak mampu memikirkan apa yang pikiran kita
lakukan saat di bawah sadar. Subhanallah..
Namun saya
pernah mengalami saat dimana roh saya seakan tidak bersama tubuh saya di saat
sadar. Yaitu saat dimana terjadinya proses refleksi terhadap kejadian dan
pengalaman yang sedang atau telah dilakukan. Saat dimana saya menyimpulkan
bahwa kebahagiaan adalah milik akhirat dan keindahan hanya pada ciptaan Tuhan. Mengapa
demikian? Karena yang ada di dunia ternyata hanyalah kesenangan, sedangkan
kebahagiaan itu abadi. Dan itu bagi mereka yang mendapatkan surgaNya. Demikian halnya
dengan keindahan, hanyalah pada ciptaanNya, manusia mampu membuat sesuatu yang
baik dan bagus namun tak mampu membuat sesuatu yang indah. Dan kesimpulan yang
ada membawa pada tujuan hidup manusia selain beribadah kepada Tuhan juga untuk
menyenangkan orang lain. Memberilah pada sesama, dan meminta hanya kepada
Allah.
Ini adalah
pengalaman saya ketika merasa bahwa pada saat sedang berefleksi, roh saya tidak
berada pada tubuh saya. Apapun yang saya lakukan, tidak terkoordinasi secara
cepat dan langsung dengan pikiran dan perasaan. Apa yang dilakukan serasa tidak
ber-nyawa, karena pikiran dan hati sedang berada pada dimensi lain. Berdasarkan
pengalaman itulah, saya mendefinisikan bahwa Roh itu adalah akal pikiran dan hati/perasaan
dari manusia itu sendiri.
Dan mengutip
dari akhir perkuliahan tersebut, Prof. Dr. Marsigit mengatakan bahwa “kita tidak
boleh mendahului keputusan Allah.. ada waktu untuk belajar ya belajar. Ada waktu
untuk ikhtiar ya ikhtiar. Ada waktu untuk berdoa, ya berdoa. Jangan hentikan
ikhtiar dan doamu..”.
Wassalam..
Yandri Soeyono
NIM : 12709251058
Pendidikan Matematika
Kelas C
Roh = Akal + Hati?
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
3:00 AM
FILSAFAT DALAM ILMU PENDIDIKAN
Makalah Dibuat Dalam Rangka
Melengkapi Tugas-Tugas Perkuliahan Filsafat Ilmu Dari Dosen Prof. Dr. Marsigit
BAB
I
PENDAHULUAN
Manusia
adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk
ciptaan Tuhan lainnya. Salah satu indikator dari sempurnanya manusia adalah
dirahmati akal pikiran. Bukan tiada maksud dari Allah memberikan akal pikiran,
selain hati dan perasaan, kepada manusia, namun sebaliknya akal pikiran serta
hati dan perasaan inilah yang nantinya akan memimpin dan mengarahkan segenap
yang ada dan yang mungkin ada di dunia dan menjadi penentu keberadaan manusia
itu sendiri di akhirat nanti.
Manusia
dapat hidup, berkembang, beramal, hingga saatnya kembali ke Penciptanya adalah
karena akal pikiran dan hatinya. Dan segala bentuk perkembangan hidup yang
dialami manusia pada hakekatnya bisa disebut sebagai pendidikan.
Pendidikan
menurut beberapa ahli seperti Langeveld (dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Dasar_Pendidikan)
mendefinisikan sebagai setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada
anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar
cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari
orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku,
putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang
belum dewasa. Sedangkan menurut John Dewey (dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Dasar_Pendidikan),
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara
intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Ki Hajar Dewantara
mendefinisikan Pendidikan sebagai tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak,
adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya (http://id.wikipedia.org/wiki/Dasar_Pendidikan).
Namun ada juga yang berpandangan bahwa pendidikan
pada asasnya adalah pengalihan kebudayaan dari satu angkatan ke angkatan lain
dan juga pengembangan manusia. Oleh karena hal ini, maka selain memperhatikan
manusia sebagai sbjek dan objek, pendidikan juga perlu memperhatikan masukan-masukan
eksternal seperti budaya (Stella Van Petten Henderson dalam Imam Barnadib,
2002:1). Kebudayaan di sini memiliki arti yang luas, yaitu segala hasil budi
manusia.
Dalam
makalah ini, penulis mencoba untuk memahami kedudukan Filsafat sebagai ilmu
dalam ilmu lainnya, yaitu Ilmu Pendidikan yang mungkin nantinya contoh-contoh yang
ada adalah dalam Pendidikan Matematika sesuai latar belakang penulis. Kenapa
penulis menulis tentang ini? Karena ini merupakan pikiran dan rasa gelitik yang
menjadi pertanyaan dan keingin-tahuan penulis tentang filsafat itu sendiri.
Pendapat ini dapat disejajarkan dengan pepatah “tak kenal maka tak sayang”.
Tentunya,
penulis berharap penjelajahan ini mampu memberikan penerangan dan jawaban yang
lebih mudah untuk dijelaskan ulang, terutama oleh penulis. Dan juga mampu
membuktikan bahwa penulis berhasil membangun filsafatnya sendiri, minimal untuk
diri penulis sendiri.
BAB
II
MAKNA
FILSAFAT PENDIDIKAN
A. Filsafat
Istilah
filsafat memiliki banyak pengertian, ditinjau dari sisi asal kata maupun
pengertian menurut para filsuf. Ditinjau dari asal kata, pengertian istilah
filsafat yang umum digunakan adalah berasal dari kata philein yang berarti cinta atau suka sekali akan sesuatu dan kata sophia yang berarti kebijakan atau
kebajikan (Imam Barnadib, 2002:4). Namun juga ada yang berpendapat bahwa dalam
istilah filsafat kata kuncinya bukan pada kebijaksanaan, tetapi kebenaran,
sehingga kata filsafat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan atau cinta kebenaran
(Soegiono,dkk, 2012:5).
Selain
berdasarkan asal kata, beberapa filsuf terkenal juga memberikan pengertiannya
sendiri tentang filsafat (Soegiono,dkk, 2012:5), seperti :
a. Menurut
Plato, “Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mancapai kebenaran asli”.
b. Aristoteles
mengartikan filsafat sebagai “ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang
tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik, dan
estetika”.
c. Bernard
Russel mengartikan filsafat sebagai “the atttend to answer ultimate question
critically”.
d. William
James mengartikan filsafat sebagai “a collective name for question which have
not
answered to the satisfaction of all that have asked them”.
e. Sedangkan
Al-Farabi memakai makna filsafat sebagai pengetahuan tentang hakikat yang
sebenarnya.
f. Immanuel
Kant mengartikan filsafat sebagai pengetahuan yang menjadi pangkal pokok segala
pengetahuan yang tercakup di dalamnya apa yang dapat diketahui (metafisika),
apa yang seharusnya diketahui (etika), sampai di mana harapan kita (agama), apa
itu manusia (antropologi).
Dan
pengertian filsafat berdasarkan perkuliahan Filsafat Ilmu yang diampu oleh Prof.
Dr. Marsigit adalah sebagai olah pikir yang refleksif yang meliputi ontologi
(hakikat), epistemologi (metode), dan aksiologi (nilai).
Secara
sederhana dapat penulis artikan bahwa filsafat adalah alam dan kehidupan, yang
ada dan yang mungkin ada yang dipikirkan dan dirasakan oleh manusia. Ini
merupakan salah satu bentuk ibadah manusia terhadap Pencipta atas karunia akal
pikiran yang telah diberikan. Begitu besar pengaruh akal dan pikiran manusia
hingga ia mampu mempengaruhi fisik jasmani manusia. Itulah filsafat.
B. Pendidikan
dan Filsafat
Pendidikan
sebagai pengetahuan atau ilmu mempunyai bagian yang terdiri atas dasar dan
fakta. Lazimnya, dasar bersifat abstrak. Misal, pendidikan di Indonesia
berdasarkan Pancasila. Yang dimaksud dengan Pancasila adalah nilai-nilai luhur
yang bersumber dari Pancasila. Ada banyak nilai-nilai luhur, kita misalkan
adalah keadilan. Keadilan ini bersifat abstrak. Keadilan akan bersifat konkret
jika sudah diterapkan dalam bidang tertentu, misalkan dalam bidang hukum.
Inilah yang disebut fakta dari pendidikan.
Dalam
pendidikan, manusia adalah subjek pendidikan. Pendidikan perlu mengetahui
dengan jelas pengertian manusia. Apa itu
manusia? Jawaban dari pertanyaan ini dapat bersifat umum yang lebih abstrak
kemudian akan diperjelas dengan penjelasan yang lebih konkret. Dan inilah
filsafat.
Jawaban
secara umum, misal, manusia adalah makhluk monodualis, mono-multidimensional.
Maka penjabaran yang lebih khusus untuk manusia sebagai makhluk monodualis
adalah makhluk yang terdiri atas jiwa dan raga yang keduanya tidak terpisah
satu sama lainnya. Keduanya saling menunjang dan saling berhubungan serta
saling berketergantungan. Manusia sebagai makhluk mono-multidimensional
memiliki arti sebagai manusia yang terdiri dari berbagai komponen, jiwa-raga,
tampak dan tidak tampak, serta mempunyai sifat yang bermacam-macam. Namun semua
itu menyatu dalam suatu ikata sehingga pada hakekatnya manusia mempunyai
pribadi yang utuh dan tunggal.
Contoh
lain hubungan antara filsafat dan pendidikan adalah metode atau cara mengajar.
Mengajar adalah cara guru menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik. Cara
mengajar inilah yang memerlukan filsafat agar didapatkan cara terbaik untuk
mengajar. Misal jika pengetahuan kita cari maknanya berdasarkan
sumber-sumbernya maka akan muncul beberapa jenis pengetahuan.
Pengetahuan
yang bersumber pada wahyu yang berasal dari Tuhan (agama). Karena manusia
merupakan penganut agama maka yang diharapkan dari belajar agama adalah agar
manusia semakin beriman dan bertakwa. Oleh karena itu, selain mentransfer ilmu,
guru tersebut harus dapat meningkatkan iman dan ketakwaan peserta didiknya.
Sehingga, dalam mengajarkan pendidikan yang bersumber dari Tuhan maka perlu
dihindarkan dari kemungkinan timbulnya keragu-raguan dari peserta didik.
Lain
halnya jika pengetahuan bersumber dari pengalaman, seperti pengetahuan alam.
Pengetahuan ini bersumber dari pengamatan atau observasi yang teratur.
Sehingga, guru harus dapat mengajarkan ilmu dengan pengamatan secara langsung
pula, sehingga peserta didik memiliki pengalaman yang analog ataupun mirip
dengan ilmu yang diajarkan.
Contoh-contoh
di atas merupakan penggambaran hubungan antara filsafat dengan pendidikan.
Secara tersirat telah digambarkan di atas bagaimana kita berpikir metafisika
untuk melihat manusia sebagai monodualis dan mono-multidimensional hingga guru bisa
merefleksikan bagaimana sebaiknya mendidik siswa. Dan contoh selanjutnya adalah
pemikiran filsafat dari sisi epistemologi. Bagaimana melihat pengetahuan dari
cara mendapatkan ilmu itu sendiri, sehingga dalam mengajar pun guru mampu
menyesuaikan dengan cara ilmu dan pengetahuan itu diperoleh.
Logika
adalah bagian dari filsafat. Salah satu filsuf yang mengembangkan logika adalah
Russel dengan hukum sebab-akibat dalam koherensi. Dan salah satu tujuan
pendidikan adalah untuk mencerdaskan bangsa. Salah satu kemungkinan untuk
mengembangkan kecerdasan peserta didik adalah meningkatkan kemampuan berpikir
logis.
Aspek
lain dari filsafat adalah aksiologi yang membahas tentang nilai. Ada dua nilai,
yaitu etika dan estetika. Etika adalah mengenai baik buruk ditinjau dari
tingkah laku manusia dan estetika adalah mengenai keindahan. Kedua aspek ini
pun perlu hadir dalam pendidikan.
Etika
perlu ditegakkan dalam hidup bermasyarakat dan bersosialisasi. Sehingga etika
wajib dalam suatu pendidikan agar tercipta kehidupan yang harmonis dan
serasi. Dalam filsafat ada beberapa
pendekatan tentang hal ini, yaitu pendekatan konsekuensialis dan
nonkonsekuensialis (Imam Bernadib, 2002:9).
Pendekatan
yang menyatakan bahwa sesuatu itu baik jika hasilnya menunjukkan kebaikan
adalah pendekatan yang konsekuensialis. Misal adalah memakan makanan yang
bergizi dianggap baik jika yang dimakan dapat berakibat baik bagi kesehatan.
Sedangkan pendekatan nonkonsekuensialis tidak melihat baik-buruknya pada hasil
melainkan pada landasan ideal yang menjadi dasar perbuatan. Menurut pandangan
ini, setiap manusia memiliki watak atau panggilan hati untuk berbuat baik. Dan
tingkah laku manusia bergantung dari panggilan hatinya tersebut.
Dari
beberapa contoh di atas, dapat terlihat bahwa antara filsafat dan pendidikan
memiliki hubungan dan saling melengkapi. Filsafat dapat dijadikan sebagai
metode, atau untuk mempelajari subjek maupun objek pendidikan, berfleksi untuk
perubahan lebih baik, pengembangan atas nilai-nilai dalam pendidikan, dan
sebagai konsep dasar pendidikan itu sendiri.
C. Makna
Filsafat Pendidikan (review “Filsafat Pendidikan”, Imam Barnadib, 2002)
Dalam
bukunya, Filsafat Pendidikan, Imam Barnadib melihat makna Filsafat Pendidikan
dari beberapa sudut pandang, termasuk hubungan linear dan nonlinear antara
filsafat dan pendidikan. Dari sudut pandang linear diberikan contoh 3 aliran
filsafat terhadap pendidikan yaitu idealisme, realisme, dan pragmatisme
kemudian menelaahnya terhadap aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya.
Selanjutnya beliau mencoba memberi gambaran yang lebih luas dengan menganalisis
hubungan antara filsafat dan pendidikan yang nonlinear untuk melihat apa dan
bagaimana filsafat pendidikan itu.
Dengan
review tersebut, penulis akan mencoba mencari jawaban dari pertanyaan awal
kenapa makalah ini dibuat. Harapannya adalah, mereview pandangan atau referensi
yang ada dapat memberikan wawasan kepada penuli tentang filsafat dan filsafat
pendidikan itu sendiri. Keterbatasan adalah motivasi utama dalam ikhtiar saya
untuk menulis makalah ini.
Sudut
pandang pertama mengatakan bahwa filsafat pendidikan dapat tersusun karena
adanya hubungan linear antara filsafat dan pendidikan. Misal, aliran filsaat
idealisme menjadi filsafat pendidikan idealisme, aliran realisme menjadi
filsafat pendidikan realisme, dan aliran pragmatisme menjadi filsafat
pendidikan pragmatisme.
Idealisme
memandang kenyataan dan kebenaran sesuatu pada hakekatnya sama kualitasnya
dengan hal-hal yang spritual atau ide-ide. Pendidikan yang menitik-beratkan
pada idealisme akan merumuskan tujuan pendidikan sebagai pencapaian manusia
yang berkepribadian mulia dan memiliki taraf kerohanian yang tinggi dan ideal.
Jika
yang digunakan sebagai pegangan adalah aliran realisme maka tujuan pendidikan
akan dirumuskan sebagai upaya pengembangan potensi-potensi yang ada pada
peserta didik. Karena menurut realisme, yang dimaksud dengan hakekat itu berada
pada benda, bukan sesuatu yang lepas dari pemiliknya.
Bagi
pendidikan yang berlandaskan pragmatisme, rumusan tujuan pendidikan yang ingin
dicapai adalah peserta didik yang berilmu pengetahuan banyak dan berguna.
Karena menurut pragmatisme, kenyataan dan kebenaran itu pada hakekatnya adalah
hal-hal yang berfungsi atau berguna.
Secara
ontologi, maka makna filsafat pendidikan pragmatisme akan mendeskripsikan bahwa
kenyataan itu bukanlah sesuatu yang mutlak. Pragmatisme meyatakan bahwa
kenyataan itu selalu dalam proses menjadi: it
is the process of the making. Oleh karena itu, jawaban dari apa pendidikan
itu, bukanlah sesuatu yang tetap selama-lamanya, melainkan perlu dihayati dan
diinterpretasikan dari waktu ke waktu.
Pertanyaan
tentang pengetahuan yang bagaimana (epistemologi) yang perlu diberikan kepada
peserta didik? Jawabannya bukanlah pengetahuan yang abstrak, melainkan yang
berhubungan dengan pengalaman. Pertanyaan selanjutnya mengenai nilai-nilai
bagaiman yang perlu dijadikan pegangan dalam pelaksanaan pendidikan? Maka
jawabannya bukanlah hal-hal yang bersifat ideal, melainkan yang lebih mengarah
pada hal-hal instrumental. Misal, nilai-nilai yang mau diajarkan seperti
kejujuran, keadilan dan lain-lain hendaknya dihindari pada pengajaran yang bersifat
verbal, namun sedapat mungkin hal tersebut ditunjukkan dengan contoh-contoh
yang nyata terutama yang lazim ditemui.
Tinjauan
dari aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi ini terhadap aliran idealisme
dan realisme pun sama halnya dengan contoh dari aliran pragmatis di atas. Akan
terdapat perbedaan secara mendasar dari ketiga aliran ini.
Bahasan
berikut ini akan melihat dari sudut pandang nonliner antara filsafat dan
pendidikan. Tinjauan nonlinear perlu ditampilkan bila membicarakan filsafat
dalam ruang lingkup permasalahan pendidikan. Misal, bagaimana pendidikan dapat
mengembangkan konsep yang mencerminkan jawaban atas pertanyaan tentang
tantangan teknologi komunikasi dan informasi sekarang ini.
Jawaban
yang dicari dan dikembangkan dari pertanyaan itu tidaklah sederhana karena
harus ditelaah dulu makna teknologi informasi dan komunikasi, kondisi
pendidikan dan pengembangan konsep yang relevan.
Dengan
adanya perangkat komunikasidan teknologi informasi sekarang ini, tentu saja
manusia akan merasa kebanjiran berbagai informasi dan pengetahuan lainnya.
Sehingga, peserta didik perlu disiapkan agar mampu menghadapi banjir informasi
tersebut. Peserta didik diharapkan bukan hanya sebagai penerima melainkan juga
sebagai orang yang mampu menyeleksi mana yang perlu diketahui dan dipelajari.
Dalam konteks ini, peserta didik diharapkan memiliki kepribadian yang mantap
dan mandiri. Ini adalah pemikiran dari aspek ontologi.
Jika
informasi yang masuk adalah ilmu, maka begitu banyak ilmu yang membanjiri
peserta didik kita, sehingga ilmu itu jangan hanya dilihat sebagai pengetahuan
saja, tetapi harus mampu dimanfaatkan. Jadi makna belajar bukanlah hanya
sebatas maintainance learning tetapi sebagai innovative learning. Ini adalah
dari sisi epistemologi.
Selanjutnya
aspek aksiologi yang perlu diperhatikan adalah kedua teknologi tersebut telah
menghasilkan suatu budaya. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan adalah
apakah budaya baru itu sudah seyogyanya diterima atau tidak, sesuai aspek
positif dan negatif yang ditimbulkan.
BAB
III
ALIRAN
FILSAFAT PENDIDIKAN
Pada
bab terdahulu telah diuraikan beberapa contoh aliran dalam filsafat yang
memiliki hubungan linear dengan pendidikan, yaitu idealisme yang menjadi
filsafat pendidikan idealisme, filsafat realisme menjadi filsafat pendidikan
realisme, dan filsafat pragmatisme menjadi filsafat pendidikan pragmatisme.
Pada bab ini akan dibahas beberapa aliran filsafat pendidikan lainnya sebagai
gambaran yang lebih jelas hubungan antara filsafat dan pendidikan.
Ada
dua kelompok besar filsafat pendidikan, yaitu filsafat pendidikan “progresif”
dan filsafat pendidikan “ Konservatif”. Yang pertama didukung oleh filsafat
pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau. Yang
kedua didsari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional),
dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut
melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme, dan sebagainya.
Berikut
aliran-aliran dalam filsafat pendidikan:
1. Filsafat
Pendidikan Materialisme
Materialisme
berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau
supernatural.
Beberapa tokoh yang
beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach
2. Filsafat
Pendidikan Eksistensialisme
Filsafat ini
memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme
menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan
kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat
manusia atau realitas.
Beberapa tokoh dalam
aliran ini : Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin
Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich
3. Filsafat
Pendidikan Progresivisme
Progresivisme bukan
merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan
merupakan suatugerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran
ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar
di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan
pada guru atau bidang muatan.
Beberapa tokoh dalam
aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence
B.Thomas, Frederick C. Neff
4. Filsafat
Pendidikan esensialisme
Esensialisme adalah
suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai
suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat
bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral
di antara kaum muda.
Beberapa tokoh dalam
aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L.
Kandell.
5. Filsafat
Pendidikan Perenialisme
Merupakan suatu aliran
dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai
suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan
progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme
memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan
ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio
kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan
tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau
prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan
teruji.
Beberapa tokoh
pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler
6. Filsafat
Pendidikan rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme
merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan
atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri
dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme
dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun
masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.
Beberapa tokoh dalam aliran ini:
Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.
Dari
bahasan sekilas tentang beberapa aliran di atas, tentunya jika dilihat dari
aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya akan memiliki perbedaan yang
mendasar antara aliran yang satu dengan lainnya. Dan jika diimplementasikan
pada pendidikan atau sistem pendidikan yang ada akan menjadi filosofi atau
ideologi atau pedoman dalam pelaksanaannya.
BAB IV
KESIMPULAN
Pengalaman yang kita miliki adalah filsafat. Mengapa? Karena pengalaman yang kita alami akan menjadi pengetahuan bagi diri kita masing-masing. Pengalaman itu akan menjadi ilmu baru dengan dimensi berpikir intensif dan ekstensif yang berbeda dari tiap individu.
Penulis
mengatakan hal di atas karena tanpa mempelajari Filsafat terlebih dahulu, namun
ternyata, apa yang penulis lakukan (mengajar) adalah bagian dari filsafat yang
telah diuraikan sebelumnya.
Dan
pengalaman yang saya peroleh (karena berlatar belakang Matematika Murni) telah
membentuk pola saya dalam meyakini pendidikan matematika, cara mengajar
matematika di kelas, dan bagaimana menilai proses dan memberikan nilai-nilai
kepada peserta didik. Penulis akui hal tersebut.
Secara
pribadi, hubungan dan manfaat serta kedudukan filsafat dalam matematika maupun
pendidikan matematika telah terlihat dengan cukup jelas dengan merefleksikan
apa yang telah penulis lakukan sebelum ini dan dibandingkan dengan ilmu baru
yang penulis dapatkan pada perkuliahan Filsafat Ilmu dan ikhtiar penyusunan
makalah ini. Bahkan saat ini, penulis bisa menggolongkan diri sendiri ke dalam
aliran filsafat pendidikan yang ada.
Mengikuti
dunia pendidikan beberapa tahun ini, di Indonesia bahkan secara umum di dunia,
terjadi perubahan paradigma dalam sistem pendidikan yang ada di tiap negara.
Dan secara filsafat pastinya terjadi perubahan aliran yang dijadikan acuan. Dan
bagi para guru selaku ujung tombak pendidikan yang berinteraksi secara langsung
dengan peserta didik, seyogyanya mengenal, memahami, menerima, dan ikut
mengimplementasikan perubahan paradigma yang ada. Dan filsafat akan membantu
guru untuk mengenal, memahami, dan mengimplementasikan paradigma yang
diharapkan dalam langkah nyata metode dan model pembelajaran di kelas.
Filsafat
dan pendidikan memiliki hubungan timbal balik yang saling mengisi. Dengan
berfilsafat, guru akan dapat melihat masalah dari tempat yang lebih tinggi secara
keseluruhan, dapat mengontrol, inilah manfaat dari olah pikir yang refleksif. Filsafat
adalah otak dan hati dari suatu bentuk tubuh yang dalam hal ini adalah sistem
pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bernadib, Imam., 2002, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta, Adicipta
Karya Nusa
Soegiono, H., Muis, Tamsil., 2012, Filsafat Pendidikan Teori dan Praktek,
Surabaya, Remaja Rosdakarya
Filsafat Dalam Ilmu Pendidikan
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
5:49 PM