Home » Archives for November 2012
Filsafat dan Pendidikan
Mempelajari filsafat tidak bisa
lepas dari mempelajari perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno dengan
tokoh-tokoh besarnya hingga sekarang ini. Tentu, pada awalnya manusia melakukan
sesuatu dengan tanpa mengerti apa sebenarnya yang dia lakukan, layaknya seorang
anak kecil. Masih menggunakan nalurinya. Inilah yang dinamakan mitos.
Pada zaman Yunani kuno masih terdapat
banyak mitos karena mereka sudah mengenal dewa-dewa pada zaman itu. Hingga lahir
filsuf-filsuf besar yang berkarya menghasilkan banyak pemikirannya, termasuk pemikiran
dalam cara berinteraksi dan berbudaya. Misal Plato, yang telah mampu membuat buku
Republik, yang di dalamnya telah mengatur tentang cara-cara berinteraksi.
Namun, sejak abad I, yang ditandai
dengan lahirnya Jesus Kristus, peradaban pada zaman Yunani kuno mulai berkiblat
pada gereja. Dapat dikatakan bahwa kiblat kebenaran dan segala aturan ada pada
gereja. Sehingga, jika ada penyimpangan pendapat oleh masyarakat terhadap
pendapat gereja, maka akan mendapat pertentangan yang sangat besar. Terlihat dari
apa yang terjadi pada Galileo dan Copernicus.
Sejak abad V, lahirlah Islam. Dan
dominasi gereja pun sudah mulai berkurang pada saat itu. Kebenaran bukan hanya
milik gereja dan kebenaran adalah hak prerogatif dari tiap individu. Islam memiliki
peran sebagai peradaban yang menyelamatkan karya-karya besar filsuf pada zaman Yunani
kuno hingga pada zaman Islam itu juga, seperti karya-karya Imam Ghazali,
sehingga dapat dipelajari hingga sekarang.
Setelah itu dimulailah zaman
modern. Di mana setiap individu memiliki hak untuk berpikir. Pada zaman ini
juga dimulailah era industri di Inggris yang ditandai dengan ditemukannya mesin
uap. Perkembangan dari era industri ini memunculkan
kapitalisme. Jadi dapat dikatakan bahwa Sang Powernow pun sebenarnya dimulai
sejak era ini.
Dan dalam dunia pendidikan pun, terdapat
pengaruh dari industrialisasi dan kapitalisme. Paul Ernest memetakan dunia
pendidikan dalam 5 dunia, yaitu dunia industrialis
(mengedepankan industri, kapitalis dan teknologi), konservatif (yang masih mempertahankan dengan nilai-nilai lama), old-humanis (berpusat pada manusia,
komunis termasuk di dalamnya), progresif
(berorientasi ada hasil), dan sosio-konstruk
(berorientasi pada sosial dan perkembangan siswa).
Bagaimana dengan pendidikan di
Indonesia? Secara umum Indonesia masih terpengaruh oleh kapitalis dan
industrialis. Budaya kapitalis menjadi kiblat dari paradigma anak bangsa dan
keluarga Indonesia. Saat ini isu tentang sosio-konstruk dalam pendidikan sangat
marak dibicarakan, namun sosialisasi dan keinginan berubah dari masyarakat
Indonesia sangat kurang. Hal baru dianggap sebagai masalah dan beban karena
harus berinovasi lagi dalam proses pembelajaran.
Bentuk pembelajaran tradisional
yang lebih berpusat pada guru dianggap masih merupakan pembelajaran yang terbaik.
Jadi siswa hanya menerima ilmu dari guru, kemudian melatihnya dengan soal-soal
latihan. Proses seperti ini telah merenggut intuisi dari siswa. Hal ini tidak
boleh terus berlanjut. Dalam kuliah Filsafat Ilmu, Prof. Dr. Marsigit selalu
menyarankan kepada mahasiswa, guru dan calon guru, agar rebut kembali intuisi. Karena
anak kecil belajar menggunakan intuisi.
Yandri Soeyono
NIM : 12709251058
Pendidikan Matematika
Kelas C
Yandri Soeyono
3:22 PM
Indonesia
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
3:22 PM
MENGAJAR, MENGEJAR
INTUISI
Sebagai refleksi dari kuliah Filsafat Ilmu pada tanggal 8 November 2012,
yang diampu oleh Prof. Dr. Marsigit, saya ingin mengutarakan bahasan tentang
intuisi. Karena selain mendapatkan pengertian dan ilmu tentang intuisi, beliau
pun menganjurkan untuk menggunakan intuisi dalam pembelajaran matematika.
Tidak perlu menjelaskan bilangan 2 (dua) menggunakan definisi konsep yang
kadang atau bahkan sering semakin menyulitkan siswa. Tetapi menggunakan
pengalaman siswa yang telah terkonstruk di pikirannya entah secara sadar
ataupun tidak. Hal ini bersesuaian dengan pandangan konstruktivisme dalam teori
pendidikan.
Ada pengalaman saya tentang siswa SD yang tidak mampu melakukan operasi
penjumlahan dan penguruangan untuk bilangan yang kurang dari 100. Akan tetapi,
mampu melakukan perhitungan dengan cepat untuk bilangan yang jauh lebih besar.
Dia dengan cepat mampu menjawab kembalian sebesar Rp. 1.225,00 jika total harga
barang adalah Rp. 3.775,00 dengan uang konsumen sebesar Rp. 5.000,00. Berbeda
halnya ketika guru bertanya “berapa hasil dari 50-37?”.
Siswa, dengan pengalamannya sendiri, memiliki ilmu dan cara pandang
sendiri terkait sesuatu ilmu. Dan matematika cukup erat kaitannya dengan
hal-hal yang konkrit maupun nyata yang ada dalam kehidupan sehari. Seharusnya,
guru mampu mengkoneksikan antara kedua hal tersebut, yaitu antara pengalaman
yang mungkin dimiliki siswa dan konsep matematika itu sendiri.
“jika engkau ingin menjadi guru matematika yang baik,
sadarlah, kembangkan intuisimu”, demikian ajuran dari Prof. Dr. Marsigit pada
kuliah Filsafat Ilmu pada Program Pascasarjana UNY. Merujuk pada contoh di
atas, tentu ini bukan anjuran kosong. Siswa tersebut tentunya akan mampu untuk
paham dan lebih cepat menjawab sebuah masalah konsep matematika ketika guru
mampu menjelaskan konsep matematika kepada hal-hal yang dekat dengan siswa.
Sangatlah tidak logis ketika siswa mampu melakukan perhitungan dengan bilangan
besar akan tetapi tidak mampu melakukan perhitungan dengan bilangan yang lebih
kecil. Padahal, sistem perhitungan dan metode penyelesaiannya sama. Inilah
tantangan guru untuk dapat mengkoneksikan kedua hal tersebut. Ketika hal sulit
tersebut terlewati, maka kemudahan akan diperoleh sang guru dalam upaya
mencerdaskan bangsa, dalam hal ini adalah siswa-siswa yang dia ajar.
Yandri Soeyono 6:57 PM Indonesia
Menggapai Intuisi
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
6:57 PM