Home » Archives for April 2013
Penolakan/reposisi terhadap Ujian Nasional semakin santer
terdengar, terutama saat menjelang dilaksanakannya Ujian Nasional. Berbagai contoh
bentuk penilaian kelulusan dari beberapa negara, teori-teori dari beberapa
pakar, gejala dan akibat yang ditimbulkan dari Ujian Nasional, menyebabkan
penolakan maupun permintaan reposisi terhadap Ujian Nasional pun semakin
terlihat keniscayaannya. Namun, begitu besarkah dampak negatif dari Ujian
Nasional ini? Jika benar demikian adanya, mengapa Pemerintah maupun ahli-ahli
pendidikan di Kementrian terkait tidak meng-iya-kan penolakan ini?
Evaluasi terhadap pembelajaran dan ketercapaian kompetensi siswa
dalam bentuk ujian akhir telah dilaksanakan sejak tahun 1965 dengan beberapa
kali perubahan nama. Diawali dengan sebutan Ujian Negara, Evaluasi Belajar
Tahap Akhir Nasional, hingga Ujian Nasional sekarang ini. Pada tahun 2005, mulai
diberlakukan nilai minimal kelulusan pada Ujian Akhir Nasional. Sejak saat itu,
semakin marak bentuk penolakan, istighosah, doa bersama, ritual tahunan lainnya,
eksloitasi kecurangan dan ketidak-jujuran, dan bentuk lainnya. Tidak ada yang
salah dengan melakukan doa dan ibadah bersama lainnya dalam rangka menghadapi
Ujian Nasional, namun jika pelaksanaannya karena ketakutan terhadap UN, dan
tetap dibarengi dengan ketidak-jujuran secara berjamaah pada pelaksanaan UN,
maka ibadah tersebut menjadi sia-sia dan tidak bermakna. Bahkan akan semakin
menyudutkan UN sebagai penyebab utama dari segala dampak yang ada.
Bentuk Tes Pilihan Ganda adalah yang terbaik (?)
Tujuan utama dari suatu penilaian/evaluasi dari suatu proses
pembelajaran adalah memperoleh data yang valid, reliable, dan berguna tentang
perkembangan peserta didik (Miller, 2009). Diperlukan penentuan terhadap kompetensi
apa yang akan diukur juga bagaimana cara mengukur dan menilainya. Bentuk tes
pilihan ganda yang digunakan pada Ujian Nasional merupakan salah satu bentuk
tes objektif. Dikatakan objektif karena memiliki satu jawaban yang benar atau
yang terbaik sehingga penilaian pada bentuk tes ini didasarkan pada
objektifitas hasil kerja peserta tes. Berbeda dengan bentuk tes non-objektif,
seperti uraian bebas dan unjuk kinerja yang tidak memiliki satu jawaban yang
paling benar sehingga penilaian terhadap bentuk tes ini memungkinkan subjektifitas
yang tinggi dari yang menilai (penyekor).
Selain pilihan ganda, ada beberapa contoh lain dari jenis tes
objektif, misal benar-salah, mencocokkan, melengkapi dan uraian singkat. Dibandingkan
dengan tes objektif lain, pilihan ganda memiliki beberapa kelebihan, antara
lain (Miller, 2009) :
1. Adanya
alternatif jawaban membuat ambiguitas dan ketidakjelasan seperti yang biasa muncul pada tes jawab singkat dapat dihindari.
2. Dibandingkan
dengan tes benar-salah, tes pilihan ganda membuat siswa harus tahu jawaban yang
benar (bukan hanya sekedar tahu yang salah tanpa tahu kebenarannya).
3. Memungkinkan
kita untuk mengukur kemampuan pemahaman siswa (dengan menanyakan tentang alasan
terbaik, metode terbaik, maupun interpretasi terbaik).
4. Item
soal dianggap lebih reliabel dibanding item tes benar-salah.
5. Dibandingkan
dengan tes mencocokkan, tes pilihan ganda tidak membutuhkan topik yang homogen
dalam jumlah yang relatif banyak.
6. Relatif terbebas dari response
set.
7. Dengan menggunakan beberapa alternatif yang masuk akal
akan membuat hasil tes dapat dipertanggungjawabkan untuk didiagnosis
(kecenderungan jawaban salah yang dipilih oleh siswa mengindikasi adanya
ketidakpahaman yang membutuhkan koreksi).
Bentuk tes pilihan ganda dapat mengukur kompetensi kognitif
yang lebih tinggi dibandingkan bentuk benar-salah, mencocokkan, maupun bentuk
melengkapi. Namun untuk kompetensi yang lebih kompleks sepeti kemampuan memformulasikan
masalah, mengorganisir, mengintegrasi, analisis, menulis, komunikasi, dan
interpretasi data akan lebih cocok menggunakan bentuk tes unjuk kerja seperti
uraian bebas, portofolio, atau dalam bentuk produksi seperti karya ilmiah,
makalah, software, maupun hardware. Namun bentuk tes unjuk kerja ini tidak
dapat mengukur subjek kompetensi yang lebih luas dan detail. Beda dengan
pilihan ganda yang dapat mengukur lebih banyak kompetensi dan indikator apalagi
dengan begitu banyak kompetensi yang dipelajari selama 3 tahun di sekolah. Selain
itu, bentuk tes ini memiliki kelemahan yaitu memerlukan waktu yang lama dalam
penilaian/penyekoran dan juga tergolong unreliability
of scoring atau memiliki subjektifitas yang tinggi dalam penilaian.
Berdasarkan lampiran Permendiknas no. 23 tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan, begitu banyak standar kompetensi minimal yang harus
dimiliki oleh lulusan tiap jenjang studi. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa
bentuk pilihan ganda merupakan bentuk tes yang sangat mungkin dilakukan untuk
mengukur ketercapaian siswa terhadap banyaknya kompetensi dasar yang disyaratkan.
Patut dicatat, bahwa kesimpulan yang kita dapatkan di sini adalah bahwa UN
dengan bentuk pilihan ganda merupakan yang sangat mungkin (baca: terbaik) untuk
mengukur ketercapaian siswa, belum pada kesimpulan sebagai penentu kelulusan.
Sekolah, guru, peserta didik dapat dipercaya (?)
Tak dapat dipungkiri, desentralisasi pendidikan memiliki
beberapa dampak negatif. Begitu banyak sekolah negeri dan guru yang merupakan
Pegawai Negeri Sipil (PNS), sehingga pelaku-pelaku pendidikan tersebut tidak
dapat bekerja secara independen. Sekolah dan guru menjadi tidak kreatif dan
bergantung pada pemerintah. Akibat hirarki kepemimpinan tersebut menyebabkan ada
hubungan ‘kepatuhan, ketakutan, dan ketergantungan’ hingga mampu men-degradasi nilai
kejujuran
dalam interaksi sosial bangsa ini. Perilaku ‘asal bapak senang’, diduga menjadi
marak dalam rangka menyambut hadirnya UN. Segala cara dilakukan. Struktur vertikal
dari Gubernur hingga guru, dengan garis “komando” yang samar, menyebabkan
pen-degradasi-an nilai kejujuran seakan-akan suatu kewajiban untuk
menyelamatkan anak bangsa. Dan hal ini semakin diperparah dengan pandangan dari
orang tua peserta didik dan masyarakat terhadap hasil UN dari suatu sekolah. Jika
hasil buruk, sesuai dengan iklan salah satu instansi pemerintah, ‘Apa Kata
Dunia?’. Selayaknya, semua penelitian dan argumentasi yang menggunakan data
hasil ketidak-jujuran secara otomatis tak dapat diakui ketepatannya. Namun anehnya,
dengan alibi berpikir positif, kita semua meng-iya-kan kepura-puraan itu dan
mencari-cari alasan, bukan untuk membenarkan, tapi untuk hidup bersama
ketidak-jujuran itu.
Bagaimana dengan sang peserta didik? Tidak dapat dihindari,
merekapun turut dilibatkan para orang dewasa yang disebut pelaku pendidikan
itu. Maka pen-degradasi-an nilai kejujuran pun diwariskan pada peserta didik. “Mari,
kita bersama-sama tidak jujur”. Jujur dan tidak jujur memiliki perbedaan yang
tipis, hanya dibedakan pada tujuan akhir. Tidak ada lagi nilai kejujuran pada
tataran niat dan proses (pelaksanaan). Menyontek itu baik jika tujuannya adalah
untuk kelulusan. (sebagai catatan, sudahkah menonton film dokumenter Temani Aku
Bunda?)
Jika kita mengamini situasi di atas, apakah wacana kelulusan
yang ditentukan oleh masing-masing satuan pendidikan bisa dijamin lebih valid,
reliabel dan terpercaya daripada pelaksanaan yang distandarisasi secara
nasional? Tentu saja jawaban akan pertanyaan ini akan berbeda-beda. Dan tulisan
inipun bukan untuk men-judge, namun sebagai wacana perbandingan.
UN sebagai penentu kelulusan (?)
Dalam Permendikbud no. 3 tahun 2013 Bab II tentang Kriteria
Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan tertulis bahwa peserta didik
dinyatakan lulus dari satuan pendidikan setelah menyelesaikan seluruh program
pembelajaran, memperoleh nilai baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata
pelajaran, lulus ujian S/M/PK untuk mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan lulus UN. Ternyata, UN bukanlah satu-satunya syarat lulus dari satuan
pendidikan. Pada pasal selanjutnya terdapat penjelasan tentang syarat-syarat
tersebut, termasuk pembobotan 60% dari UN dan 40% dari nilai S/P/MK yang diuji
sebagai kriteria Nilai Akhir kelulusan, nilai rata-rata dari semua NA adalah 5,5
dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0.
Apakah ada yang merasa berat dengan syarat kelulusan lainnya selain
lulus UN? Secara pribadi, belum pernah mendengar keluhan tersebut. Dapat dimaklumi,
karena syarat kelulusan selain lulus UN dilakukan di
masing-masing satuan pendidikan. Dengan semangat yang sama pada proses
pen-degradasi-an nilai kejujuran, maka syarat kelulusan selain UN bukan
merupakan suatu hambatan.
Mari kita perhatikan sejenak perhitungan kelulusan tersebut. Dengan
asumsi bahwa semua peserta didik memperoleh nilai baik pada penilaian akhir
untuk seluruh mata pelajaran, lulus ujian S/M/PK untuk mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan nilai minimal 7,5, maka tiap peserta didik
hanya perlu menjawab 17 soal dengan benar dari 40 soal yang diberikan. Tidak
perlu menjawab benar hingga setengah dari keseluruhan soal.
Apakah itu suatu hal yang mustahil setelah pembelajaran
selama 3 tahun? Patut diingat bahwa kompetensi dan kemampuan yang dapat diukur
dari soal pilihan ganda bukanlah kompetensi dan kemampuan kompleks seperti yang
telah dibahas sebelumnya. Jika demikian adanya, ketakutan terhadap UN merupakan
suatu hal yang berlebihan. Apalagi hingga mengadakan pembelajaran berbasis bimbingan tes
selama satu semester sebagai persiapan menghadapi UN di sekolah.
Guru dan Sekolah sebagai penyebab utama (?)
Apakah perlu reposisi terhadap UN yang merupakan penentu
kelulusan (katanya) menjadi hanya sekedar alat pemetaan terhadap kondisi pendidikan
di Indonesia dengan bentuk sampling, masih perlu untuk dilihat lebih jauh lagi
pada akar permasalahan yang sebenarnya. Memang benar bahwa di beberapa negara
telah meniadakan ujian standar sebagai penentu kelulusan. Namun, dengan
pembagian 60% pada hasil UN (penilaian akhir) dan 40% dari S/P/MK sebagai
bentuk penilaian proses, kiranya perlu juga diapresiasi sebagai bentuk
pengakomodiran dan fleksibilitas dari pemerintah terhadap wacana penolakan dan
anti UN.
Berdasarkan penelitian Prof. John Hattie dari Universitas
Auckland dalam presentasi Mae Chu Cang (Bank Dunia), guru merupakan faktor
penting dalam perkembangan peserta didik (30%). Masih dalam presentasi
tersebut, disebutkan bahwa guru yang profesional dapat meningkatkan kemampuan siswa
saat Ujian Nasional menjadi 90% setelah 3 tahun bersekolah. Sedangkan guru
dengan kualitas yang rendah malah menurunkan kemampuan siswa menjadi 37%.
Selain itu, dalam laman kemdiknas.go.id, Mendiknas menyatakan
bahwa KTSP hanya mengakomodir tidak lebih dari 70% kompetensi yang diujikan
pada studi global seperti PISA, TIMSS dan PIRLS. Namun, dengan kompetensi
sebanyak 70% yang telah diajarkan, ternyata tidak mampu meningkatkan peraihan
rata-rata dalam studi-studi tersebut, bahkan pada studi TIMSS tahun 2011,
Indonesia hanya memperoleh 43% pada soal kategori low, 15% pada intermediate,
2% pada soal kategori high dan 0% pada soal kategori advanced. Dapat disimpulkan
bahwa kelemahan itu bukan hanya pada terlingkupinya semua materi/kompetensi
yang diujikan pada studi internasional pada kurikulum nasional kita, namun lebih
pada proses pembelajaran juga termasuk kompetensi guru dan metode pembelajarannya.
Diperlukan metode pembelajaran yang dapat menghasilkan
pembelajaran bermakna bagi siswa hingga siswa mampu berpikir kritis, kreatif,
dan memiliki kemampuan pemecahan masalah (HOTS=High Order Thinking Skills). Menurut
Ausubel, pembelajaran bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi
baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
peserta didik. Beda belajar bermakna dengan belajar hafalan adalah pada belajar
hafalan, peserta didik tidak mengaitkan informasi baru tersebut dengan konsep
yang relevan yang telah dia miliki. Pembelajaran bermakna lebih lama tersimpan
dalam struktur kognitif daripada hafalan. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran,
guru harus berusaha memberi makna pada setiap informasi baru tersebut.
Jika proses pembelajaran hanya berorientasi pada UN, dapat
kita yakini bentuk pembelajaran di kelas akan berupa latihan/drill. Dan ini
merupakan bentuk dari belajar hafalan (Ausubel, 1968). Ciri yang dapat dilihat dari
belajar hafalan adalah menerapkan rumus untuk memecahkan masalah dan pemecahan
dengan coba-coba.
Begitu besar peran guru dalam pendidikan, namun dalam
kurikulum 2013 yang akan dilaksanakan pada Juli 2013, justru ada kecenderungan
untuk semakin mengkerdilkan peran guru. Guru tidak dilatih dan dididik untuk
kreatif, peka terhadap kebutuhan dan mengerti perbedaan masing-masing peserta
didik, namun dilatih untuk menjalankan panduan yang terdapat dalam buku Babon
yang dirilis secara nasional. Kemampuan guru dapat dilatih agar sesuai dengan
buku panduan, namun pemerintah lupa bahwa kebutuhan, kemampuan, kecerdasan,
pemahaman, kondisi psikologi dari tiap siswa secara individu maupun regional
berbeda. Apakah mereka (penulis buku Babon) dapat menjamin bahwa panduan yang
mereka cantumkan dalam buku merupakan kebutuhan dan sesuai kemampuan seluruh
peserta didik di seluruh Indonesia? Secara pribadi penulis sangsi bahwa para
penulis buku babon pernah mengajari peserta didik pada sekolah di pelosok Indonesia.
Jadi, apakah UN atau strategi pembelajaran di kelas yang
merupakan masalah dari kondisi pendidikan bangsa Indonesia?
Pada bagian akhir ini, penulis berkesimpulan bahwa perlu
adanya moratorium terhadap pelaksanaan UN ini mengingat dampak yang
ditimbulkannya. Perlu waktu untuk mengkondisikan kembali pemahaman yang
sebenarnya tentang belajar, baik oleh guru maupun oleh peserta didik juga
masyarakat. Selain itu pula, sentralisasi guru (bagi guru PNS, berada di bawah
Kemendikbud bukan Pemda) untuk pemerataan kualitas pendidik di seluruh
Indonesia dan pendidikan serta pelatihan berkelanjutan bagi setiap guru
merupakan hal penting lainnya yang perlu diprioritaskan pemerintah selama
pelaksanaan moratorium terhadap UN.
Terima kasih.
Yandri Soeyono
11:50 AM
IndonesiaUN, Guru, dan Kurikulum 2013
Yandri Soeyono | Berita Pendidikan terkini, termasuk info tentang sertifikasi, kurikulum, dan pembelajaran. Konsultasi Materi dan Pembelajaran Matematika.
at
11:50 AM