Mathematics and Education

Filsafat Dalam Ilmu Pendidikan

Saturday, January 5, 2013


FILSAFAT DALAM ILMU PENDIDIKAN

Makalah Dibuat Dalam Rangka Melengkapi Tugas-Tugas Perkuliahan Filsafat Ilmu Dari Dosen Prof. Dr. Marsigit

BAB I
PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Salah satu indikator dari sempurnanya manusia adalah dirahmati akal pikiran. Bukan tiada maksud dari Allah memberikan akal pikiran, selain hati dan perasaan, kepada manusia, namun sebaliknya akal pikiran serta hati dan perasaan inilah yang nantinya akan memimpin dan mengarahkan segenap yang ada dan yang mungkin ada di dunia dan menjadi penentu keberadaan manusia itu sendiri di akhirat nanti.

Manusia dapat hidup, berkembang, beramal, hingga saatnya kembali ke Penciptanya adalah karena akal pikiran dan hatinya. Dan segala bentuk perkembangan hidup yang dialami manusia pada hakekatnya bisa disebut sebagai pendidikan.

Pendidikan menurut beberapa ahli seperti Langeveld (dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Dasar_Pendidikan) mendefinisikan sebagai setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa. Sedangkan menurut John Dewey (dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Dasar_Pendidikan), Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Ki Hajar Dewantara mendefinisikan Pendidikan sebagai tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya (http://id.wikipedia.org/wiki/Dasar_Pendidikan).

Namun ada juga yang berpandangan bahwa pendidikan pada asasnya adalah pengalihan kebudayaan dari satu angkatan ke angkatan lain dan juga pengembangan manusia. Oleh karena hal ini, maka selain memperhatikan manusia sebagai sbjek dan objek, pendidikan juga perlu memperhatikan masukan-masukan eksternal seperti budaya (Stella Van Petten Henderson dalam Imam Barnadib, 2002:1). Kebudayaan di sini memiliki arti yang luas, yaitu segala hasil budi manusia.

Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk memahami kedudukan Filsafat sebagai ilmu dalam ilmu lainnya, yaitu Ilmu Pendidikan yang mungkin nantinya contoh-contoh yang ada adalah dalam Pendidikan Matematika sesuai latar belakang penulis. Kenapa penulis menulis tentang ini? Karena ini merupakan pikiran dan rasa gelitik yang menjadi pertanyaan dan keingin-tahuan penulis tentang filsafat itu sendiri. Pendapat ini dapat disejajarkan dengan pepatah “tak kenal maka tak sayang”.

Tentunya, penulis berharap penjelajahan ini mampu memberikan penerangan dan jawaban yang lebih mudah untuk dijelaskan ulang, terutama oleh penulis. Dan juga mampu membuktikan bahwa penulis berhasil membangun filsafatnya sendiri, minimal untuk diri penulis sendiri.




BAB II
MAKNA FILSAFAT PENDIDIKAN

      A.    Filsafat
Istilah filsafat memiliki banyak pengertian, ditinjau dari sisi asal kata maupun pengertian menurut para filsuf. Ditinjau dari asal kata, pengertian istilah filsafat yang umum digunakan adalah berasal dari kata philein yang berarti cinta atau suka sekali akan sesuatu dan kata sophia yang berarti kebijakan atau kebajikan (Imam Barnadib, 2002:4). Namun juga ada yang berpendapat bahwa dalam istilah filsafat kata kuncinya bukan pada kebijaksanaan, tetapi kebenaran, sehingga kata filsafat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan atau cinta kebenaran (Soegiono,dkk, 2012:5).

Selain berdasarkan asal kata, beberapa filsuf terkenal juga memberikan pengertiannya sendiri tentang filsafat (Soegiono,dkk, 2012:5), seperti :
a.       Menurut Plato, “Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mancapai kebenaran asli”.
b.      Aristoteles mengartikan filsafat sebagai “ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang
      tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik, dan estetika”.
c.       Bernard Russel mengartikan filsafat sebagai “the atttend to answer ultimate question critically”.
d.      William James mengartikan filsafat sebagai “a collective name for question which have not
       answered to the satisfaction of all that have asked them”.
e.       Sedangkan Al-Farabi memakai makna filsafat sebagai pengetahuan tentang hakikat yang 
      sebenarnya.
f.       Immanuel Kant mengartikan filsafat sebagai pengetahuan yang menjadi pangkal pokok segala 
   pengetahuan yang tercakup di dalamnya apa yang dapat diketahui (metafisika), apa yang seharusnya diketahui (etika), sampai di mana harapan kita (agama), apa itu manusia (antropologi).

Dan pengertian filsafat berdasarkan perkuliahan Filsafat Ilmu yang diampu oleh Prof. Dr. Marsigit adalah sebagai olah pikir yang refleksif yang meliputi ontologi (hakikat), epistemologi (metode), dan aksiologi (nilai).
Secara sederhana dapat penulis artikan bahwa filsafat adalah alam dan kehidupan, yang ada dan yang mungkin ada yang dipikirkan dan dirasakan oleh manusia. Ini merupakan salah satu bentuk ibadah manusia terhadap Pencipta atas karunia akal pikiran yang telah diberikan. Begitu besar pengaruh akal dan pikiran manusia hingga ia mampu mempengaruhi fisik jasmani manusia. Itulah filsafat.

      B.     Pendidikan dan Filsafat

Pendidikan sebagai pengetahuan atau ilmu mempunyai bagian yang terdiri atas dasar dan fakta. Lazimnya, dasar bersifat abstrak. Misal, pendidikan di Indonesia berdasarkan Pancasila. Yang dimaksud dengan Pancasila adalah nilai-nilai luhur yang bersumber dari Pancasila. Ada banyak nilai-nilai luhur, kita misalkan adalah keadilan. Keadilan ini bersifat abstrak. Keadilan akan bersifat konkret jika sudah diterapkan dalam bidang tertentu, misalkan dalam bidang hukum. Inilah yang disebut fakta dari pendidikan.

Dalam pendidikan, manusia adalah subjek pendidikan. Pendidikan perlu mengetahui dengan jelas pengertian  manusia.  Apa itu manusia? Jawaban dari pertanyaan ini dapat bersifat umum yang lebih abstrak kemudian akan diperjelas dengan penjelasan yang lebih konkret. Dan inilah filsafat.

Jawaban secara umum, misal, manusia adalah makhluk monodualis, mono-multidimensional. Maka penjabaran yang lebih khusus untuk manusia sebagai makhluk monodualis adalah makhluk yang terdiri atas jiwa dan raga yang keduanya tidak terpisah satu sama lainnya. Keduanya saling menunjang dan saling berhubungan serta saling berketergantungan. Manusia sebagai makhluk mono-multidimensional memiliki arti sebagai manusia yang terdiri dari berbagai komponen, jiwa-raga, tampak dan tidak tampak, serta mempunyai sifat yang bermacam-macam. Namun semua itu menyatu dalam suatu ikata sehingga pada hakekatnya manusia mempunyai pribadi yang utuh dan tunggal.

Contoh lain hubungan antara filsafat dan pendidikan adalah metode atau cara mengajar. Mengajar adalah cara guru menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik. Cara mengajar inilah yang memerlukan filsafat agar didapatkan cara terbaik untuk mengajar. Misal jika pengetahuan kita cari maknanya berdasarkan sumber-sumbernya maka akan muncul beberapa jenis pengetahuan.

Pengetahuan yang bersumber pada wahyu yang berasal dari Tuhan (agama). Karena manusia merupakan penganut agama maka yang diharapkan dari belajar agama adalah agar manusia semakin beriman dan bertakwa. Oleh karena itu, selain mentransfer ilmu, guru tersebut harus dapat meningkatkan iman dan ketakwaan peserta didiknya. Sehingga, dalam mengajarkan pendidikan yang bersumber dari Tuhan maka perlu dihindarkan dari kemungkinan timbulnya keragu-raguan dari peserta didik.

Lain halnya jika pengetahuan bersumber dari pengalaman, seperti pengetahuan alam. Pengetahuan ini bersumber dari pengamatan atau observasi yang teratur. Sehingga, guru harus dapat mengajarkan ilmu dengan pengamatan secara langsung pula, sehingga peserta didik memiliki pengalaman yang analog ataupun mirip dengan ilmu yang diajarkan.

Contoh-contoh di atas merupakan penggambaran hubungan antara filsafat dengan pendidikan. Secara tersirat telah digambarkan di atas bagaimana kita berpikir metafisika untuk melihat manusia sebagai monodualis dan mono-multidimensional hingga guru bisa merefleksikan bagaimana sebaiknya mendidik siswa. Dan contoh selanjutnya adalah pemikiran filsafat dari sisi epistemologi. Bagaimana melihat pengetahuan dari cara mendapatkan ilmu itu sendiri, sehingga dalam mengajar pun guru mampu menyesuaikan dengan cara ilmu dan pengetahuan itu diperoleh.

Logika adalah bagian dari filsafat. Salah satu filsuf yang mengembangkan logika adalah Russel dengan hukum sebab-akibat dalam koherensi. Dan salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan bangsa. Salah satu kemungkinan untuk mengembangkan kecerdasan peserta didik adalah meningkatkan kemampuan berpikir logis.

Aspek lain dari filsafat adalah aksiologi yang membahas tentang nilai. Ada dua nilai, yaitu etika dan estetika. Etika adalah mengenai baik buruk ditinjau dari tingkah laku manusia dan estetika adalah mengenai keindahan. Kedua aspek ini pun perlu hadir dalam pendidikan.

Etika perlu ditegakkan dalam hidup bermasyarakat dan bersosialisasi. Sehingga etika wajib dalam suatu pendidikan agar tercipta kehidupan yang harmonis dan serasi.  Dalam filsafat ada beberapa pendekatan tentang hal ini, yaitu pendekatan konsekuensialis dan nonkonsekuensialis (Imam Bernadib, 2002:9).

Pendekatan yang menyatakan bahwa sesuatu itu baik jika hasilnya menunjukkan kebaikan adalah pendekatan yang konsekuensialis. Misal adalah memakan makanan yang bergizi dianggap baik jika yang dimakan dapat berakibat baik bagi kesehatan. Sedangkan pendekatan nonkonsekuensialis tidak melihat baik-buruknya pada hasil melainkan pada landasan ideal yang menjadi dasar perbuatan. Menurut pandangan ini, setiap manusia memiliki watak atau panggilan hati untuk berbuat baik. Dan tingkah laku manusia bergantung dari panggilan hatinya tersebut.

Dari beberapa contoh di atas, dapat terlihat bahwa antara filsafat dan pendidikan memiliki hubungan dan saling melengkapi. Filsafat dapat dijadikan sebagai metode, atau untuk mempelajari subjek maupun objek pendidikan, berfleksi untuk perubahan lebih baik, pengembangan atas nilai-nilai dalam pendidikan, dan sebagai konsep dasar pendidikan itu sendiri.

      C.     Makna Filsafat Pendidikan (review “Filsafat Pendidikan”, Imam Barnadib, 2002)

Dalam bukunya, Filsafat Pendidikan, Imam Barnadib melihat makna Filsafat Pendidikan dari beberapa sudut pandang, termasuk hubungan linear dan nonlinear antara filsafat dan pendidikan. Dari sudut pandang linear diberikan contoh 3 aliran filsafat terhadap pendidikan yaitu idealisme, realisme, dan pragmatisme kemudian menelaahnya terhadap aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya. Selanjutnya beliau mencoba memberi gambaran yang lebih luas dengan menganalisis hubungan antara filsafat dan pendidikan yang nonlinear untuk melihat apa dan bagaimana filsafat pendidikan itu.

Dengan review tersebut, penulis akan mencoba mencari jawaban dari pertanyaan awal kenapa makalah ini dibuat. Harapannya adalah, mereview pandangan atau referensi yang ada dapat memberikan wawasan kepada penuli tentang filsafat dan filsafat pendidikan itu sendiri. Keterbatasan adalah motivasi utama dalam ikhtiar saya untuk menulis makalah ini.

Sudut pandang pertama mengatakan bahwa filsafat pendidikan dapat tersusun karena adanya hubungan linear antara filsafat dan pendidikan. Misal, aliran filsaat idealisme menjadi filsafat pendidikan idealisme, aliran realisme menjadi filsafat pendidikan realisme, dan aliran pragmatisme menjadi filsafat pendidikan pragmatisme.

Idealisme memandang kenyataan dan kebenaran sesuatu pada hakekatnya sama kualitasnya dengan hal-hal yang spritual atau ide-ide. Pendidikan yang menitik-beratkan pada idealisme akan merumuskan tujuan pendidikan sebagai pencapaian manusia yang berkepribadian mulia dan memiliki taraf kerohanian yang tinggi dan ideal.

Jika yang digunakan sebagai pegangan adalah aliran realisme maka tujuan pendidikan akan dirumuskan sebagai upaya pengembangan potensi-potensi yang ada pada peserta didik. Karena menurut realisme, yang dimaksud dengan hakekat itu berada pada benda, bukan sesuatu yang lepas dari pemiliknya.

Bagi pendidikan yang berlandaskan pragmatisme, rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai adalah peserta didik yang berilmu pengetahuan banyak dan berguna. Karena menurut pragmatisme, kenyataan dan kebenaran itu pada hakekatnya adalah hal-hal yang berfungsi atau berguna.

Secara ontologi, maka makna filsafat pendidikan pragmatisme akan mendeskripsikan bahwa kenyataan itu bukanlah sesuatu yang mutlak. Pragmatisme meyatakan bahwa kenyataan itu selalu dalam proses menjadi: it is the process of the making. Oleh karena itu, jawaban dari apa pendidikan itu, bukanlah sesuatu yang tetap selama-lamanya, melainkan perlu dihayati dan diinterpretasikan dari waktu ke waktu.

Pertanyaan tentang pengetahuan yang bagaimana (epistemologi) yang perlu diberikan kepada peserta didik? Jawabannya bukanlah pengetahuan yang abstrak, melainkan yang berhubungan dengan pengalaman. Pertanyaan selanjutnya mengenai nilai-nilai bagaiman yang perlu dijadikan pegangan dalam pelaksanaan pendidikan? Maka jawabannya bukanlah hal-hal yang bersifat ideal, melainkan yang lebih mengarah pada hal-hal instrumental. Misal, nilai-nilai yang mau diajarkan seperti kejujuran, keadilan dan lain-lain hendaknya dihindari pada pengajaran yang bersifat verbal, namun sedapat mungkin hal tersebut ditunjukkan dengan contoh-contoh yang nyata terutama yang lazim ditemui.

Tinjauan dari aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi ini terhadap aliran idealisme dan realisme pun sama halnya dengan contoh dari aliran pragmatis di atas. Akan terdapat perbedaan secara mendasar dari ketiga aliran ini.

Bahasan berikut ini akan melihat dari sudut pandang nonliner antara filsafat dan pendidikan. Tinjauan nonlinear perlu ditampilkan bila membicarakan filsafat dalam ruang lingkup permasalahan pendidikan. Misal, bagaimana pendidikan dapat mengembangkan konsep yang mencerminkan jawaban atas pertanyaan tentang tantangan teknologi komunikasi dan informasi sekarang ini.

Jawaban yang dicari dan dikembangkan dari pertanyaan itu tidaklah sederhana karena harus ditelaah dulu makna teknologi informasi dan komunikasi, kondisi pendidikan dan pengembangan konsep yang relevan.
Dengan adanya perangkat komunikasidan teknologi informasi sekarang ini, tentu saja manusia akan merasa kebanjiran berbagai informasi dan pengetahuan lainnya. Sehingga, peserta didik perlu disiapkan agar mampu menghadapi banjir informasi tersebut. Peserta didik diharapkan bukan hanya sebagai penerima melainkan juga sebagai orang yang mampu menyeleksi mana yang perlu diketahui dan dipelajari. Dalam konteks ini, peserta didik diharapkan memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri. Ini adalah pemikiran dari aspek ontologi.

Jika informasi yang masuk adalah ilmu, maka begitu banyak ilmu yang membanjiri peserta didik kita, sehingga ilmu itu jangan hanya dilihat sebagai pengetahuan saja, tetapi harus mampu dimanfaatkan. Jadi makna belajar bukanlah hanya sebatas maintainance learning tetapi sebagai innovative learning. Ini adalah dari sisi epistemologi.

Selanjutnya aspek aksiologi yang perlu diperhatikan adalah kedua teknologi tersebut telah menghasilkan suatu budaya. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan adalah apakah budaya baru itu sudah seyogyanya diterima atau tidak, sesuai aspek positif dan negatif yang ditimbulkan.




BAB III

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Pada bab terdahulu telah diuraikan beberapa contoh aliran dalam filsafat yang memiliki hubungan linear dengan pendidikan, yaitu idealisme yang menjadi filsafat pendidikan idealisme, filsafat realisme menjadi filsafat pendidikan realisme, dan filsafat pragmatisme menjadi filsafat pendidikan pragmatisme. Pada bab ini akan dibahas beberapa aliran filsafat pendidikan lainnya sebagai gambaran yang lebih jelas hubungan antara filsafat dan pendidikan.

Ada dua kelompok besar filsafat pendidikan, yaitu filsafat pendidikan “progresif” dan filsafat pendidikan “ Konservatif”. Yang pertama didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau. Yang kedua didsari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme, dan sebagainya.

Berikut aliran-aliran dalam filsafat pendidikan:      
1.      Filsafat Pendidikan Materialisme
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural.
Beberapa tokoh yang beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach
2.      Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Filsafat ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas.
Beberapa tokoh dalam aliran ini : Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich
3.      Filsafat Pendidikan Progresivisme
Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatugerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff
4.      Filsafat Pendidikan esensialisme
Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda.
Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
5.      Filsafat Pendidikan Perenialisme
Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji.
Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler
6.      Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.
Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.

Dari bahasan sekilas tentang beberapa aliran di atas, tentunya jika dilihat dari aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya akan memiliki perbedaan yang mendasar antara aliran yang satu dengan lainnya. Dan jika diimplementasikan pada pendidikan atau sistem pendidikan yang ada akan menjadi filosofi atau ideologi atau pedoman dalam pelaksanaannya.


BAB IV
KESIMPULAN

Pengalaman yang kita miliki adalah filsafat. Mengapa? Karena pengalaman yang kita alami akan menjadi pengetahuan bagi diri kita masing-masing. Pengalaman itu akan menjadi ilmu baru dengan dimensi berpikir intensif dan ekstensif yang berbeda dari tiap individu.

Penulis mengatakan hal di atas karena tanpa mempelajari Filsafat terlebih dahulu, namun ternyata, apa yang penulis lakukan (mengajar) adalah bagian dari filsafat yang telah diuraikan sebelumnya.

Dan pengalaman yang saya peroleh (karena berlatar belakang Matematika Murni) telah membentuk pola saya dalam meyakini pendidikan matematika, cara mengajar matematika di kelas, dan bagaimana menilai proses dan memberikan nilai-nilai kepada peserta didik. Penulis akui hal tersebut.

Secara pribadi, hubungan dan manfaat serta kedudukan filsafat dalam matematika maupun pendidikan matematika telah terlihat dengan cukup jelas dengan merefleksikan apa yang telah penulis lakukan sebelum ini dan dibandingkan dengan ilmu baru yang penulis dapatkan pada perkuliahan Filsafat Ilmu dan ikhtiar penyusunan makalah ini. Bahkan saat ini, penulis bisa menggolongkan diri sendiri ke dalam aliran filsafat pendidikan yang ada.

Mengikuti dunia pendidikan beberapa tahun ini, di Indonesia bahkan secara umum di dunia, terjadi perubahan paradigma dalam sistem pendidikan yang ada di tiap negara. Dan secara filsafat pastinya terjadi perubahan aliran yang dijadikan acuan. Dan bagi para guru selaku ujung tombak pendidikan yang berinteraksi secara langsung dengan peserta didik, seyogyanya mengenal, memahami, menerima, dan ikut mengimplementasikan perubahan paradigma yang ada. Dan filsafat akan membantu guru untuk mengenal, memahami, dan mengimplementasikan paradigma yang diharapkan dalam langkah nyata metode dan model pembelajaran di kelas.

Filsafat dan pendidikan memiliki hubungan timbal balik yang saling mengisi. Dengan berfilsafat, guru akan dapat melihat masalah dari tempat yang lebih tinggi secara keseluruhan, dapat mengontrol, inilah manfaat dari olah pikir yang refleksif. Filsafat adalah otak dan hati dari suatu bentuk tubuh yang dalam hal ini adalah sistem pendidikan.



DAFTAR PUSTAKA

Bernadib, Imam., 2002, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta, Adicipta Karya Nusa
Soegiono, H., Muis, Tamsil., 2012, Filsafat Pendidikan Teori dan Praktek, Surabaya, Remaja Rosdakarya



5:49 PM