Filosofi dari perkenalan adalah mengenal pikiran dari orang
tersebut, tidak hanya mengenal fisiknya. Namun ternyata, secara alamiah,
perkenalan cenderung lebih mengarah pada penilaian, bukan hanya sekedar
mengidentifikasi. Dan ini merupakan langkah yang sangat jauh jika ingin menuju
pada perkenalan pikiran.
Mengapa demikian? Awal dari perkenalan adalah proses
mengidentifikasi. Misalkan, ketika sedang duduk di tempat parkir dan lewatlah
seorang wanita, itulah perkenalan itu. Tidak perlu mencari tahu siapa namanya,
tinggal di mana atau berapa umurnya, kita sudah kenal dia sebagai wanita cantik
yang sering lewat di tempat parkir. Dan pada saat itulah, segala bentuk
penilaian terhadapnya akan muncul. Mungkin dari cara berpakaiannya, gaya
berjalannya, warna bajunya, bahan celananya, walaupun cara kita menilai dan
instrumen yang digunakan belum diketahui kevalidannya. Inilah
kesewenang-wenangan sesaat manusia.
Di saat yang berbeda, sebelum bertemu wanita tersebut,
dirinya mengalami beberapa pilihan hidup. Saat pengisin KRS, terdapat beberapa
pilihan mata kuliah yang akan diambilnya. Hanya dengan membaca daftar mata
kuliah yang tersedia, dirinya telah mengenal mata kuliah-mata kuliah tersebut. Walaupun
belum pernah mengikuti kuliah tersebut. Dan secara otomatis pula, dirinya dapat
menilai seperti apa mata kuliah-mata kuliah tersebut berdasarkan pengalaman dan
informasi yang pernah diperoleh. Penilaian dari kesewenang-wenangan sesaat
inilah yang digunakan untuk mengisi lembar KRS tersebut.
Dalam hidup, kita tidak mengharapkan sesuatu yang tidak
jelas. Selalu berharap ada kejelasan terutama pada saat memilih. Kehidupan adalah
perjalanan dalam memilih. Dalam memilih tentunya pula dimulai dengan penilaian.
Dan sebagian besar penilaian berasal dari penilaian sewenang-wenang sesaat seperti
contoh-contoh di atas. Dan ternyata, kebenaran dari penilaian itu sangat
subjektif. Seakan-akan, saat kita berkenalan bahkan saat saling bertukar
pikiran pun, penilaian dan perkenalan itu juga sangat subjektif. Kita mencoba
menilai secara objektif apa yang kita nilai padahal itu juga tetap penilaian
objektif menurut kita sendiri. Subjektif!
Penilaian, selain menggunakan pikiran juga menggunaka alat
filsafat lainnya yaitu hati. Suasana hati pada saat kita mengenalnya akan
memberikan penilaian yang berbeda pula pada saat berbeda dikemudian hari walau
dengan objek yang sama. Apakah sedang bahagia, sedih, marah, atau merupakan
seleranya, harapannya, ataupun idolanya, memberikan kontribusi pada penilaian
saat perkenalan itu.
Apakah penilaian selama ini benar adanya? Apakah tidak
diperlukan pembenaran atas penilaian yang salah? Tak dapat dibayangkan betapa
banyaknya penilaian subjektif kita yang tanpa disengaja telah tercipta.
Berdosakah kita?
Yandri Soeyono
NIM : 12709251058
Pendidikan Matematika
Kelas C